Chereads / BRIPKA INDIRA / Chapter 3 - 2. Test Drive

Chapter 3 - 2. Test Drive

[Hallo!]

"Tuan Benji, ini saya Kinanti." Indira menghubungi Benji untuk meminta pekerjaan.

[Kinanti! Gimana kabarmu? Apa ada yang bisa kubantu?]

"Tuan, saya membutuhkan pekerjaan. Saya belum membayar kosan selama enam bulan dan barusan Ibu kos menagih sambil marah-marah. Katanya kalo saya enggak bayar dalam waktu satu minggu, saya akan diusir. Tolong Tuan Benji, saya enggak mempunyai keluarga. Saya sebatangkara," keluhnya. Indira tersenyum tipis. 'Siapa yang akan menolak menolong gadis yang menyedihkan.' Batinnya.

[Ya Tuhan. Oke Kinanti, kamu di mana sekarang?]

"Saya di Koja Uka, kosan saya."

[Kebetulan saya sedang di Rumbia, saya ke situ sekarang.]

"Baik, Tuan."

[Jangan memanggilku Tuan, panggil saja Bang Benji.]

"Baik, Bang Benji."

[Baiklah, tunggu saya.] Sambungan telepon pun terputus.

Indira bersiap. Dia mengenakan celana jeans biru ketat dan t-shirt berwarna hitam serta jaket bomber pakis hijau. Indira terlihat berbeda, dengan rambut pendek yang dicat marun.

Indira telah berdiri di dekat Puskesmas Koja yang tak jauh dari indekosnya. Dia terus memainkan gadget-nya, terus menghubungi Benji. Benji sepakat untuk menjemput Indira di sana.

Hanya butuh waktu lima belas menit, Benji pun sampai. "Kinanti!" panggilnya sambil membuka kaca jendela mobilnya

Indira pun mendekati mobil lalu naik. Sepersekian detik kemudian, mobil pun kembali melaju. "Gimana, Tuan? Eh- maksud saya Bang Benji, apa udah ada pekerjaan untuk saya?"

Benji yang fokus menyetir pun menyahut, "Gini Kinanti-"

"Panggil Kinan saja," sela Indira.

"Gini Kinan." Benji memperbaiki ucapannya. "Ada, tapi ini pekerjaan berat."

"Maksudnya?"

"Kalo kamu serius mau pekerjaan ini, datang saja nanti malam ke gedung bekas pabrik di Cilincing Utara. Untuk lebih jelasnya, nanti saya share location-nya."

"Baiklah."

"Kinan, ini pekerjaan berbahaya," peringat Benji.

"Enggak makan dan telat bayar kosan juga bahaya, Bang."

Benji hanya menggelengkan kepala. "Oke, aku akan mengantarmu pulang. Di mana kosanmu?"

"Komp Uka, Rt enam belas, di dekat pasar."

"Baiklah."

Benji mengantarkan Indira pulang ke indekosnya lalu pergi. Sesampainya di indekos, Indira pun menghubungi Dwi Sutoyo atasannya untuk melapor. Dering pertama panggilannya langsung diangkat. "Nanti malam saya akan ke Cilincing untuk mengambil pekerjaan." Segera dia matikan setelah laporannya selesai.

Sedikit lelah menggunakan karakter Kinanti yang agak feminim. Itu sama sekali bukan dirinya. Namun, demi kelancaran misi, dia rela melakukannya walaupun terkadang geli sendiri.

Indira membuka jaket bombernya lalu tiduran di lantai. Kipas angin tak lupa dia nyalakan. Suasana komplek Uka memang seperti ini. Gersang dan saat malam datang, akan ada banyak nyamuk yang menggigiti, tak peduli meski ada obat penangkalnya. Itu tidak mempan.

Hingga tiba saat dia mendengar orang menjerit dari luar indekosnya. Indira bergegas keluar. Rupanya ada copet. Segera Indira berlari sekencang mungkin untuk mengejarnya. Copet itu berlari ke arah gangan sempit yang diapit dinding-dinding rumah. Gangan selebar setengah meter dan meliuk-liuk itu cukup menyulitkannya untuk berlari kencang. Hingga tiba di jalur cukup lurus, Indira mempercepat lajunya lalu melompat ke atas tubuh si copet yang tengah berlari dengan sekuat tenaga. Bruk!

Copet itu jatuh tertelungkup setelah mendapatkan tendangan keras pada punggungnya.

Napas keduanya sama engos-ngosan usai kerja-kejaran. Indira menghampiri sang copet lalu mengambil dompet curian itu. Dia berdiri. "Sana pergi! Mumpung saya lagi baik." Copet itu terlihat masih anak-anak. Usianya kisaran enam belas tahunan, karena itulah Indira melepaskannya.

"Setan! Kenapa kamu ikut campur!" teriak copet itu geram.

Indira yang hendak pergi pun berbalik. Dia melihat copet itu memasang kuda-kuda siap untuk melawannya.

"Bocah tolol! Apa kamu pikir bisa melawanku?" desis Indira kesal. Sudah dibaikin malah minta dihajar. Keluhnya dalam hati.

"Aaa!" Bocah itu berteriak sambil terus berusaha memukul tubuh Indira. Kemampuan bertarungnya yang payah, membuat bocah itu kesal sendiri karena tak mampu menyentuh tubuh mbak-mbak di hadapannya. "Sial!" teriaknya tak mau menyerah.

Indira tak pernah menganggap remeh siapapun, termasuk bocah ini. Fokus, dia meladeni bocah itu berkelahi. Sepertinya, copet kecil ini memang harus diberi pelajaran. Indira pun menangkap kedua tangan bocah copet itu, lalu menggenggamnya erat. Kemudian menampari wajahnya bolak balik berkali-kali. Entah berapa banyak.

Bocah itu mencoba melawan dengan menendangi kaki Indira, tetapi Indira tak bergeming. Hingga akhirnya sang copet pun menyerah. "Ampun! Ampun! Ampuni saya, Mbak!"

Indira menghentikan tamparannya lalu melepaskan cekalan tangannya. "Puas kamu sekarang! Masih penasaran?" sewot Indira kesal.

"Enggak, Mbak. Ampun, saya kapok." Bocah dekil itu menangis sambil memegangi kedua pipinya yang panas dan terasa sakit. Dia gemetar.

"Cepat pergi! Sebelum saya berubah pikiran!" sentak Indira.

Bocah itu tersentak kaget lalu dengan gemetar dia memaksakan diri untuk berlari.

Indira menepiskan debu pada celana dan bajunya. "Cih, bocah bodoh. Malah pengin dihajar," keluhnya. Indira berjongkok, melihat sejenak pelindung kaki yang melindungi tulang keringnya. "Kamu sangat berguna." Dia tersenyum sambil mengelus pelindung kaki yang dia dapatkan dari guru silatnya.

"Copet!"

"Copet!"

"Copet!"

Segerombolan warga berlari sambil berteriak kencang.

"Telat," gerutu Indira.

Mereka menghampiri Indira. "Mbak, lihat copet lari ke sini, enggak? Dia pake kaos hitam lusuh dan jeans pendek."

"Dia udah lari jauh," jawab Indira. "Nih, dompet yang dicopetnya."

Seorang ibu-ibu menerobos masuk ke dalam kumpulan pengejar copet itu lalu mengambil dompet di tangan Indira. "Dompet saya." Dia memeluk sejenak lalu mengecek isinya dengan napas memburu usai berlari. "Alhamdulillah isinya masih utuh. Makasih, Mbak." Ibu itu tersenyum senang.

"Sama-sama, Bu." Indira pergi dari sana. Dia menghiraukan pujian kagum bapak-bapak karena telah berhasil merebut dompet dari seorang bocah copet. Menurut mereka itu adalah hal luar biasa karena lari sang copet yang cukup cepat. Namun, menurut Indira sendiri, itu merupakan hal sepele. Dia seorang polisi terlatih, wajar saja bila dia bisa dengan mudah mengalahkan copet yang masih bocah tersebut.

Terlalu bersemangat hingga Indira terlambat menyadari bahwa dia mengejar copet tanpa mengenakan alas kaki. "Astagfirullahaladzim." Dia bergegas kembali ke indekosnya.

Jam menunjukan pukul empat sore. Indira keluar dari indekos kala mendengar suara tukang sate berseru menjajakan dagangannya. "Satenya, Bang. Lima belas tusuk." Tampak hanya baru Indira seorang yang memesan.

"Dira, Ketua menyuruhmu untuk ke Kantor sebelum berangkat," ucap Tukang Sate itu yang ternyata seorang intel yang menyamar. Dia penghubung antara Indira dan Sutoyo, selama misi ini berlangsung. Dia berbicara pelan sambil menunduk.

Indira menggosok hidungnya. "Saya enggak bisa."

Sate pun matang lalu dibungkus dengan rapi. Intel itu menyerahkan pada Indira. "Ketua, menyuruhku untuk menyerahkan itu padamu. Bawa."

Indira menyerahkan uang sambil menerima bungkusan. "Apa ini?" Jarinya dengan cekatan meraba. "Pelacak?"

Intel itu hanya mengangguk karena kedatangan beberapa pembeli. Indira bergegas pergi dari sana. Dia mengamati benda bulat pipih seperti kancing baju itu dengan seksama. 'Aku enggak bisa membawa ini. Terlalu berbahaya. Di sana mungkin akan ada R dan penjagaannya pasti akan sangat ketat.' Batinnya.

Ponselnya berdering. Indira segera mengangkatnya. "Saya mau kamu selalu membawa benda itu ke mana pun kamu pergi. Agar kami selalu mengetahui di mana posisimu. Ini perintah!" Tut tut tut!

Indira menggenggam erat ponselnya. Dia kesal. Sudah Indira katakan, dia ingin menjalankan misi ini seorang diri hingga tuntas. Biarkan dia menjalankan seluruh rencananya. Indira tidak mau misinya dicampuri oleh siapapun. Dia mampu melakukan semua ini sendiri. Nanti, suatu saat dia akan meminta bantuan, pasti. Namun, saat itu ialah saat R akan diringkus dan diadili. Indira tidak mau diganggu.

Gegas Indira bersiap untuk pergi. Dia tidak membawa senjata apa pun. Selepas Magrib, Indira menaiki Kwk nol dua di belakang pasar inpres. Salah satu mode angkutan umum yang akan mengantarkannya menuju daerah Cilincing. Indira mengirim chat kepada Benji. [Bang, saya udah di angkot.]

Beberapa detik kemudian, share location dari Benji pun tiba. Indira membaca peta di layar ponselnya dengan teliti. Dia tahu daerah ini. Ini dekat kantor Kecamatan Cilincing. Angkutan pun diberhentikan setelah sampai di dekat tempat tujuan. Tak lupa dia membayar ongkos. Saat itu jam di tangannya sudah menunjukan pukul tujuh kurang. Malam telah menyelimuti langit Jakarta dengan sempurna.

Indira mencaduk. Dia melihat gedung tua tersebut dari atas hingga bawah. Kemudian menatap layar ponselnya. Setelah dia yakin, Indira pun memasuki pelataran gedung. Namun, sesaat sebelum sampai di depan gerbang, Indira segera membuang pelacak ke parit di sebelahnya dengan cepat secara diam-diam. Beruntung dia dapat melihat penjagaan ketat dari sana.

Indira pun melenggang dengan santai.

"Berhenti!" Seorang pria bertubuh kekar mencegat lajunya. "Kamu siapa?"

"Saya, Kinan. Teman Bang Benji."

"Benji?" heran pria itu karena Benji belum memberitahukan apapun pasal Indira.

"Coba saja tanyakan." Indira.

Penjaga gerbang itu pun menelepon Benji untuk menanyakan. Tampak dia menganggup-anggip paham. Selesai menelepon dia kembali menghampiri Indira. "Kamu boleh masuk."

Indira paham, dia pun kembali mengayunkan langkahnya yang kembali tercekal.

"Tunggu! Kamu harus melakukan cek body dahulu." Pria itu memeriksa seluruh tubuh Indira menggunakan alat detektor. "Bersih. Kamu boleh masuk."

Indira pun meninggalkan pos penjagaan. Tanah pamah di pelataran gedung tampak tak terawat dipenuhi ilalang di setiap sisinya. Namun, gedung itu terlihat sangat ramai dengan anak-anak muda. Ada banyak mobil mewah terparkir di bagian dalam gedungnya. [Bang, saya sudah di dalam. Abang di mana?] Dia kembali mengirim chat kepada Benji.

Tak selang lama, balasan pesannya pun datang. [Saya di atap gedung. Kamu ke sini saja menaiki lift. Lift-nya sudah diperbaiki dan bisa berfungsi dengan baik.]

Indira pun memasuki gedung usang tersebut. Menelusuri lorong yang ramai muda mudi berlalu lalang. Dia masuk ke dalam lift. Beberapa waktu kemudian, dia sampai di lantai terakhir, lalu menaiki tangga untuk ke atap gedung. Mengejutkan. Suasana di sana cukup ramai. Atap yang luas itu di sulap menjadi mini bar outdoor. Suara bising EDM racikan DJ Joana menggema seirama lampu yang berkelap-kelip bak mengikuti tempo musik. Aktif yang menari di lantai dansa. Sesekali mereka bersorak, tampak menyenangkan.

Manik Indira menelusuri tempat tersebut mencari keberadaan Benji. Samar terdengar suara yang memanggilnya. "Kinan!" Terlihat Benji tertawa senang sambil berjalan menghampiri Indira. "Kamu sampai juga." Pria itu merangkulnya. "Ikuti aku."

Indira mengikuti langkah Benji tanpa berkomentar. Pria itu membawanya memasuki lorong. Indira tak menyangka akan ada lorong dan ruangan lain di atap gedung ini, meski dia tahu gedung ini memang sangat besar. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan kedap suara. "Saya akan memperkenalkan kamu pada Boss saya."

Cat di dalam ruangan itu tampak sangat bagus dan berkelas. Semua rapi dengan hiasan interior modern. Benji membawa Indira kembali memasuki pintu, lalu tibalah dia di sebuah ruangan mewah yang berwarna gading. Sopa merah panjang tampak mencolok. Seorang pria bertopeng dan berjas rapi tengah duduk mengobrol bersama dua orang pria berpakaian rapi lainnya.

"Tuan R. Ini Kinan yang tadi saya ceritakan." Rupanya Benji merupakan tangan kanan ke dua R.

R terlihat memperhatikan Indira dari atas hingga bawah. "Itu apa yang hitam di bawah hidungmu? Apa nori?"

Indira balas menatap intens R. Ingin rasanya dia menerkam pria itu lalu mencabik-cabiknya. Seorang psikopat gila yang telah membunuh Reno, kekasihnya. Namun, Indira masih waras. Dia masih bisa mengendalikan amarahnya. Ini bukan saat yang tepat. Sama saja dengan bunuh diri jika Indira menyerangnya sekarang. Sabar, akan ada saatnya. Batinnya menenangkan diri.

"Bukan Tuan, ini tahi lalat." Indira sengaja menggunakan tahi lalat palsu untuk menyempurnakan penyamarannya.

R tersenyum tipis di balik topeng lalu mengangguk. "Dia aku izinkan untuk test drive. Apa kamu mahir mengemudi?"

"Tuan bisa mencobanya sendiri."

R tertawa saat mendengar kalimat bersemangat dari Indira. "Bagus. Saya harap hasilnya enggak akan mengecewakan."

"Tuan enggak perlu cemas."

Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam.

"Show time!" seru DJ Joana bersemangat lalu musik pun dimatikan. Setan menaiki panggung. "Malam semua!"

Sorak sorai para penikmat pesta membalas sapaan Setan yang merupakan orang kepercayaan R.

"Malam ini kita mau ngadain balapan lagi. Pemenangnya akan mendapatkan hadiah istimewa yang akan diberikan langsung oleh Boss Besar kita!"

Riuh tepuk tangan dan teriakan senang memekakkan telinga.

"Yang tertarik, bersiaplah di mobil masing-masing."

Seketika keramaian pun berpindah. Bak riak air, mereka berjalan menuju arah yang sama.

Benji melemparkan kunci mobilnya ke arah Indira. "Pakai mobilku. Awas! Jangan sampai lecet."

Indira mengangguk paham lalu turun ke lantai di bawahnya, tempat perkumpulan orang yang suka kesenangan itu berkerumun. Di sana telah ada tujuh mobil mewah yang terparkir berjajar. Indira memencet tombol yang menggantung di kunci yang dipegangnya. Tiba saat mata tajam Ford Mustang berkedip. "Wow! Mas ganteng." Indira tersenyum senang. Segera dia pun masuk ke dalam mobil berwarna merah darah itu dengan tak dapat menyembunyikan kekagumannya. Lalu menurunkan jendelanya.

Benji menghampiri Indira menyembul dari jendela. "Gimana? Keren, kan?"

"It's so cool, Dude," puji Indira.

"That's right, Bro. This is my beloved." Benji tertawa penuh kebanggan.

"Okay, Guys! Balapan akan segera kita mulai. Are you ready?" teriak Setan.

"Yeah!" sahut semuanya berteriak serentak.

"Oke. Mesin sudah menyala semua. Lets do it!"

Deru mobil meraung-raung keras menyumbat indra pendengaran. Sungguh bising.

"Wwwooowww!" Sorakan kian ramai, tepuk tangan pun ikut memenuhi gedung usang tersebut.

"One!"

"Two!"

"Three!"

"Go!"

Jerit ban berdecit nyaring saat pedal gas diinjak sekaligus. Mobil-mobil sport mewah itu pun melaju menuruni gedung yang dipenuhi tikungan dengan kecepatan tinggi.