Chereads / BRIPKA INDIRA / Chapter 6 - 5. Tugas

Chapter 6 - 5. Tugas

"Tugasmu mengirimkan paket ini ke Kampung Baru. Pastikan si penerima membuka paketnya sebelum kamu kembali. Yang paling penting, jangan pulang sebelum dia membuka paket ini. Paham?" tutur Setan. 

Indira pun menganggukan kepala tanpa keraguan. Ini adalah tugas pertamanya sebagai seorang kurir mafia. Indira tidak boleh sampai gagal. Dia harus selalu berhati-hati dalam menjalankan misi ini. Semua demi keberhasilan misi. Demi menumpas gembong kejahatan yang telah banyak merugikan rakyat dan negara. Karena pada kenyataannya, organisasi rahasia ini juga turut andil dalam berbagai aksi pelanggaran hukum di Indonesia.

Indira dan Setan sedang berada di sebuah rumah mewah di bilangan Cilincing, Jakarta Utara. Sepertinya ini adalah markas lain R. Rumah megah berlatarkan putih itu tampak indah dibaluti ornamen klasik bergaya Belanda.

"Untuk alamat lengkapnya, saya sudah mengatur GPS di mobil yang akan kamu pakai. Kamu hanya tinggal mengikuti arahannya saja."

"Baik, saya mengerti." ___ "Tapi, kalo boleh tau, isi paket ini apa?"

Setan beranjak dari duduknya diikuti Indira. "Kamu enggak diizinkan untuk mempertanyakan apapun. Tugasmu hanya mengantarkannya saja." Dia yang hendak pergi kembali berbalik. "Paket itu untuk orang yang bernama Baron."

Indira yang sudah paham pun segera berangkat menuju Kampung Baru, Kebayoran Lama. Dia menyetir dengan kecepatan sedang. Manik legamnya fokus memperhatikan GPS dan jalanan yang padat merayap. Jarak Cilincing ke Kebayoran Lama cukup jauh. Durasi perjalanannya hampir satu jam setengah, itu pun apa bila jalanan lancar tanpa kemacetan. Namun, sepertinya hari ini nasib Indira tengah sial. Jalanan kota Jakarta sedang amat tidak bersahabat.

Geraman kendaraan berpadu dengan bising klakson yang terus menerus dibunyikan, memekakan gendang telinga Indira. Namun, itu tidak membuat dia gila. Indira sudah terbiasa. Sepuluh tahun dia bergumul dengan ramai, ribut kota Jakarta. Dari mulai kuliah hingga kini menjadi seorang Polisi. 

Tiba kala mobil di depannya melaju, Indira pun menginjak pedal gasnya dengan tidak sabaran. Namun, dia tidak menyadari lampu sen kiri pada pengendara bermotor di sisi kanannya.

"Woi!" Seorang Ojol menampar kap mobil Indira. Dia yang hendak memotong pun merasa kagok karena melaju bersamaan dan hampir bersenggolan.

Indira melambaikan tangan sebagai permintaan maaf. "Ya Allah," gumamnya sambil menghirup napas dalam.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam, Indira pun sampai di tempat tujuan. Dia menepikan mobilnya di depan sebuah gerbang rumah tua berwarna usang yang sudah mengelupas. Ah, ternyata bener ini tempatnya. Indira pun turun dari mobil. "Permisi!" Dia ngetuk-ngetukan gembok yang mengunci gerbang berkarat tersebut. Rumah tua yang kusam dengan halaman yang sudah ditumbuhi ilalang itu tampak menyeramkan dan angker. Namun, Indira tidak takut akan dedemit dan hal-hal semacam itu. Dia lebih waspada terhadap manusia. Karena menurutnya, manusia lebih berbahaya daripada makhluk halus. Dedemit hanya bisa menyurup ke tubuh manusia, tetapi tidak membunuh. Sedangkan manusia, bisa melakukan apa saja. Saking kejamnya, manusia bisa menguliti bahkan mencincang habis jasad sesamanya. Sadis.

"Kamu siapa?" tanya seorang pria dari arah dalam sambil berjalan ke arahnya.

"Saya diutus, Tuan R, untuk mengantar paket kepada Baron."

"Paket?" Pria dengan perawakan pendek kurus itu tampak bingung.

Indira mengeluarkan paket tersebut dari mobil. "Ini." Dia mengacungkan kotak kecil berwarna kuning di tangannya ke udara.

Teg. Pria dewasa itu terdiam cukup lama. Mimik wajahnya sukar ditebak. Entah apa yang tengah dia pikirkan. Namun, Indira yakin bahwa itu bukanlah hal sembarangan.

"Boleh saya masuk?" tanya Indira yang menyadarkan pria itu dari lamunan.

Pria tersebut tampak menghela napas panjang sebelum menyahut, "Sebentar." Dia pun membukakan gerbang rumahnya untuk Indira.

Indira mengamati ekspresi aneh pria itu penuh curiga. Ada apa dengannya? Batinnya. Namun, Indira tidak menanyakannya. Dia khawatir akan memantik kecurigaan. Indira amat menjaga setiap tutur katanya karena orang-orang R tengah sangat sensitif setelah kematian Reno.

Indira pun dipersilahkan masuk. Gadis itu berjalan sambil memperhatikan sekeliling. Ya Allah, ini rumah? Pikirnya.

"Tunggu di sini," ujar pria itu terdengar seperti perintah.

Indira duduk di sofa usang. Dia sedikit meregangkan otot-otot tubuhnya untuk menghilangkan penat. Kemudian pusatnya tertuju pada benda di tangan. Indira pun menimbang-nimbang dus kecil yang dibawanya. Cukup berat, apa isinya? gumam Indira di dalam hati. Mungkinkah ini narkoba?

Lalu Indira mengarahkan pandangannya ke arah lain hingga yang dapat terlihat. Ternyata bukan hanya halamannya saja yang berantakan, tetapi bagian dalamnya juga tak kalah amburadul. Ya Allah, ini rumah atau kandang ayam? Bau banget. Gimana mereka bisa makan dan tidur di tempat seperti ini? Batin Indira.

Hingga tiga puluh menit kemudian. Indira sudah merasa muak berada di sana. Dia ingin segera menyelesaikan tugas dan pergi. Namun, orang tadi lama sekali tak kunjung kembali. Apa yang sedang dia lakukan? Mungkinkah pria itu sedang memanggilkan Baron?

Tiba saat dia keluar dari kamar. "Tolong berikan surat ini kepada Tuan Besar." Pria empat puluhan tahunan itu menyerahkan sepucuk surat.

"Apa ini? Dan mana Baron? Saya belum boleh pulang kalo Baron enggak membuka paketnya di depan saya."

"Saya Baron," jawab pria itu sambil tersenyum kecut.

"O-oh." Indira mengkolang-kalingkan kepalanya.

Baron sudah berganti pakaian dengan koko. Dia juga sudah mandi dan melaksanakan Salat Taubat. Kini Baron telah siap melakukan tugas terakhirnya. Baron pun membuka paket itu yang ternyata berisi senjata api jenis G-dua Combat dan sebuah surat kecil. Terlihat Baron membacanya.

"Untuk apa senjata itu?" tanya Indira.

Pertanyaan Indira mengalihkan Baron dari surat kecil di tangannya. "Kamu enggak tau apa artinya paket kuning ini?"

Indira menggeleng dengan ragu.

"Kamu pasti anak baru?"

Indira menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil tersenyum canggung. "I-iya."

"Kenapa kamu mengambil pekerjaan ini? Kamu masih muda dan cantik. Kamu bisa menjadi SPG di Mall atau pelayan Cafe."

Tentu saja untuk meringkus bandit psikopat gila itu. Indira menjawab dalam hati. "Saya enggak memiliki ijazah dan saya butuh uang untuk hidup."

Baron tersenyum miris. "Kamu tau? Sekali kamu masuk ke lingkaran hitam ini, kamu enggak akan pernah bisa keluar."

"Saya sudah memikirkannya." Lalu Indira pun terdiam.

Baron tampak mengambil napas kembali, tetapi seperti amat berat. "Sudah sepuluh tahun saya bekerja untuk R. Alasannya sama sepertimu, karena saya butuh uang dan enggak berpendidikan. Dulu saya seorang copet di Pasar Minggu, tapi suatu hari saya tertangkap warga dan hampir saja akan dibakar. Lalu R menolong saya. Dia melepaskan saya dari penghakiman warga dan memberi saya pekerjaan, hingga saya bisa menyekolahkan kedua anak-anak saya. Dulu R enggak seperti sekarang. Dia sudah banyak berubah." Pria itu terlihat menghapus bulir air hangat yang menyembul di sudut matanya.

"Maksudnya?"

"Enggak, bukan apa-apa," sangkalnya sambil tersenyum dengan dipaksakan.

Hening cukup lama.

Baron duduk di kursi depan Indira. Matanya tampak menunduk dengan berkaca. Ketal terasa kesedihannya. Indira semakin bingung melihatnya. Ada apa? Tanyanya di dalam hati. "Bang," panggil Indira seraya menatap intens kepala Baron yang tertunduk.

"Berhentilah selagi kamu masih mempunyai kesempatan." Baron melenggakan kepala menatap Indira.

"Maaf, tapi saya enggak bisa."

Baron tersenyum, tetapi tampak jelas gurat kesedihan di raut wajahnya. "Semua keputusan ada di tanganmu," ucapnya. "Sampaikan permintaan maaf saya kepada Tuan Besar. Katakan padanya bahwa saya selalu setia sampai akhir." Terlihat dia menghela napas mengumpulkan keberanian.

Kemudian dengan gerakan cepat, Baron mengarahkan pistol ke pelipisnya tanpa mampu Indira cegah. Lalu….

Dor!

Darah Baron menyembur ke berbagai arah hingga mengenai badan dan wajah Indira. Dia jatuh tergeletak dengan mata melotot dan kepala bolong akibat ditembus peluru. Sementara tangan Indira yang hendak meraih pistol pun mengambang di udara sambil tertegun dengan mata menjenggil. Dia kalah cepat. 

Seketika hawa dingin bak menyelimuti tubuh lalu lenyap. Tubuhnya membeku karena syok. Indira terperenyak kembali ke posisi duduk semula. "A-ada apa ini?" Indira tergemap dengan mata membelalang. Dia mengelap sembarangan wajahnya yang sudah memerah karena rona bercampur darah.

Beberapa saat kemudian, indira sudah bisa mengendalikan diri. Dia fokus. Indira tidak lagi berketakutan. Dia pun mengelap darah yang melumuri wajahnya dengan sapu tangan, lalu bergegas mengambil dus paket tadi yang tergeletak di atas meja. Indira mengambil surat di tangan Baron lalu membacanya.

Kamu telah gagal melaksanakan tugas. Akibat kegagalanmu, saya harus berurusan dengan Polisi. Kamu pasti masih ingat kesepakatan kita. Tunjukan kesetiaanmu.

Begitulah isi surat di dalam paket itu.

Biadab. Satu kata yang kini muncul di benak Indira. R sungguh kejam. Pria itu benar-benar telah semena-mena mempermainkan hidup orang lain. Dia memerintahkan anak buahnya untuk bunuh diri atas dasar kesetiaan. R benar-benar sesat. Bukan hanya jalan yang ditempuhnya saja yang sesat, tetapi setiap peraturannya juga tidak manusiawi. Sepertinya dia sudah gila. Psikopat itu benar-benar sudah tidak waras. Indira mengepalkan tangannya kuat membuat kertas itu lusuh di genggamannya. Kemudian Indira memutuskan untuk menggeledah rumah Baron. Mungkin dia akan menemukan sesuatu yang penting di sana. Indira tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia masuk ke kamar dengan pintu terbuka di sisi lorong. Indira membuka semua lemari bahkan mengecek kolong dipan serta atas ranjang. Tiba saat Indira menggeser sebuah lukisan di dinding. Di sana dia menemukan sesuatu.

"Ini?" Indira menatap benda di tangannya membuntang. Dia ingat itu adalah gantungan ponsel Reno. Mereka membelinya sepasang saat berjalan-jalan di pameran, Sumedang. Gantungan kunci dari tali sepatu yang dibentuk beruang itu merupakan pemberian Indira untuk Reno. "Kenapa ini bisa ada di sini?" gumamnya.

Sesak dadanya bak dihantam dengan keras. Pumpumannya dipenuhi prasangka. Seketika Indira kesulitan menghela napas. Paru-parunya terasa kaku serta sakit di pangkal leher akibat luapan emosi yang muncul seketika. "Bang Reno," ucap Indira sambil mendekap dan memegangi dengan kencang boneka tersebut. Indira merosot ke lantai. Tubuhnya berguncang hebat karena isak. Pilu seketika menguasai diri. Indira kehilangan kendali. "Bang Reno," racaunya disela tangis. "Maafin Dira, Bang. Andai saja malam itu aku enggak terlambat, kamu pasti masih ada saat ini." Tangisnya kencang meraung-raung memenuhi seisi rumah. Indira tidak peduli bila akan ada yang mendengarnya. Dia hanya ingin meluapkan semua emosinya yang sudah tertahan cukup lama. Itu sungguh menyakitinya.

Dunia Indira tak lagi sama semenjak kepergian Reno. Wajahnya tidak seceria dulu dan semangatnya tak seperti pagi itu. Kehilangan orang yang dikasihi memang amat menyakitkan. Sulit dijelaskan bagaimana sakitnya. Mungkin seperti mengambang di kehampaan tanpa memiliki harapan. Diam dan terus melayang tanpa memiliki keinginan untuk melawan. Rasanya seperti separuh jiwa ini mati. Ingin segera menyusulnya, tetapi Tuhan belum menghendaki. Andai saja Indira memiliki satu kesempatan untuk memilih, dia ingin berada bersama Reno di sampingNya.

Pertama kalinya Indira memiliki kekasih dan merencanakan pernikahan, tetapi malah berakhir tragis. Tiga bulan lagi seharusnya adalah hari bahagia mereka berdua. Tanggal tiga agustus. Tanggal yang paling ditunggu keduanya. Hari yang akan menyatukan cinta mereka dalam ikatan Tuhan. Namun, nyatanya manusia hanya bisa berencana. Selebihnya, Tuhan yang menentukan. Sakit memang sakit, tetapi mau tidak mau Indira harus bisa mengikhlaskannya. Karena ini takdir Allah. Takdir memang terkadang menyakitkan. Namun, sebagai hamba yang taat, dia harus menerima semuanya dengan lapang dada.

Puas Indira melampiaskan semuanya, dia pun pergi dari sana membawa serta amarah dan kesedihannya. Indira kembali ke rumah mewah tadi pagi.

Indira pun menghadap Setan dengan wajah murung karena memendam kemarahan.

Setan tersenyum puas saat melihat penampilan Indira yang berantakan. Tampak darah telah mengering di pakaian Indira. Menandakan kalau gadis itu sudah menjalankan tugasnya dengan benar. "Bagus," puji Setan. Dia kembali tertawa kala melihat roman muka Indira. Sepertinya gadis itu marah. Lagi pula, siapa yang takkan marah diberikan tugas berat seperti itu tanpa diberitahu detail-nya. Setan hanya berpikir kalau Indira mungkin syok karena melihat orang bunuh diri di hadapannya.

"Baron meminta saya untuk memberikan surat ini kepada Tuan Besar."

"Sini, berikan saja pada saya. Biar saya yang akan menyampaikannya."

"Enggak. Saya harus mengantarkan ini sendiri."