Chereads / BRIPKA INDIRA / Chapter 7 - 6. Bengis

Chapter 7 - 6. Bengis

"Gimana?" 

"Selesai. Sebelum meninggal, Baron menyuruh saya untuk menyerahkan surat ini kepada Anda." Indira pun memangkas jarak untuk memberikan wasiat terakhir Baron kepada R.

"Apa ini?"

"Itu amanat terakhirnya. Baron menyuruh saya untuk memberikannya." Indira kembali ke tempat duduknya semula.

"Oh." R memasukan surat itu ke saku jasnya.

Indira tak dapat menyembunyikan kekesalannya. "Kenapa?"

"Hmm? Apa kamu takut akan bernasib sepertinya?" tanya R dingin dengan suara rendahnya yang khas.

"Saya nggak takut mati, tapi kenapa kesetiaan padamu harus dibuktikan dengan cara seperti itu?"

"Kinanti." R terkekeh tawar. "Nggak ada yang akan bisa lepas dari ikatan Cakrawala Pribumi. Hanya ada dua jenis kematian bagi kami, yaitu mati secara terhormat atau mati seperti pengecut."

"Bukankah peraturanmu itu yang terlalu pengecut? Anda nggak menerima kegagalan." Indira menyeringai miring. "Maaf, Tuan. Tapi nggak ada satupun manusia di dunia ini yang nggak pernah gagal. Peraturanmu itu nggak masuk akal. Lama-lama Anda akan kehabisan anak buah kalo terus begitu."

R malah tergelak. Dia tak menyangka gadis yang tampak penurut ini akan berbicara sebanyak itu. "Kamu benar-benar berani. Saya suka semangatmu. Berkobar-kobar seperti api!"

"Terima kasih, Tuan. Saya merasa tersanjung mendengarnya."

R tersenyum dingin di balik topeng. "Kamu pasti pernah mendengar peribahasa 'Bermain air basah, bermain api letup, bermain pisau luka'."

Indira tampak pusat mendengarkan dan itu cukup menarik bagi sang boss mafia tersebut.

"Kinan, nggak ada yang nggak berrisiko di dunia ini. Bisnisku ini, bisnis kotor. Persaingannya juga secara kotor. Kamu pasti paham maksud saya." Di luar sana ada banyak orang yang ingin merobohkan piramida kokoh Cakrawala Pribumi. 

Butuh usaha besar bagi Cakrawala Pribumi untuk sampai di titik ini. Beberapa organisasi mafia lain pun siap menggantikan posisinya bila sampai organisasi mereka tumbang. Maka dari itu R amat waspada. Dia berusaha keras mempertahankan kekuasaannya. Satu kegagalan saja bisa berakibat fatal. R tidak mau apa yang sudah susah payah dia bangun harus hancur begitu saja.

"Ironi."

"Hidup memang penuh ironi." R menyeringai miring.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan cepat pada daun pintu, lalu seseorang pun masuk. "Tuan, kita diserang!" lapornya.

"Apa?!" R terkaget-kaget lantas terperanjat dengan air muka geram.

Indira terpelengak seraya gegas berdiri. Seketika terdengar suara berondongan peluru bertubi-tubi di lantai bawah.

Segera R yang gusar pun keluar dari ruangan kerja diikuti Indira dan Heri-anggota Cakrawala Pribumi yang barusan melapor. Indira sungguh tidak menduga sebelumnya kalau rumah bos mafia paling berbahaya di negara I akan diserang. Dia sangat ingin tahu siapa yang berani membuat masalah dengan R.

Dari lantai atas dapat terlihat huru hara di bawah sana. Tak disangka kalau para pelayan cantik yang mengurusi rumah mewah itu juga ternyata pandai menggunakan senjata dan bertarung. Namun, itu masuk akal mengingat apa status R saat ini. Pria itu memiliki banyak musuh dan sudah pasti membutuhkan penjagaan ketat. Tapi yang menjadi tanda tanya besar bagi Indira ialah, siapa pasukan yang berani menyerang sarang sang bos mafia ini? 

'Siapa mereka?' Benak Indira. Di dasar sana benar-benar kacau, terjadi bentrokan senjata; api dan tajam serta perkelahian tangan kosong.

"Bedebah!" R tampak mencengkeram geram pagar kayu di depannya dengan gemetar.

Indira dapat melihat uap amarah dari tubuh pria itu.

"Sekarang giliranmu, Kinan. Buktikan kesetiaanmu," titah R pada Indira.

Indira pun mengangguk paham dengan rona wajah yang langsung menggelap. Gegas dia melompati pagar pembatas lalu bergelantungan sebelum mendarat di lantai dasar. Di sana Indira sudah disambut oleh serangan musuh bersenjata tajam. Fokus dia melakukan perlawanan. Tubuhnya yang lentur pun menggeliang menghindari tikaman bertubi-tubi dua orang rivalnya.

Tangan dan kakinya begitu lincah menangkis serta menyerang. Wajah Indira tidak menunjukan mimik berarti. Dia begitu pusat pada pertempuran, tapi tidak sampai membunuh mereka. Habis menumbangkan beberapa musuh, Indira kembali dihampiri lawan yang lain. 

Hingga tiba kala dia terdesak. Indira lengah kala menyambar senjata api yang terlihat mengarah tepat pada sosok R di lantai dua. Dia terlambat menyadari serangan dari arah belakang. Indira pun terkena tusukan pada bagian sisi perutnya.

Bles!

"Argh!" Indira mundur dengan tergesa seraya memasang kuda-kuda, waspada. Sebelah tangannya tampak memegangi luka. "Sialan," keluhnya kala melihat darah menyembul keluar dari tubuhnya. Pakaian gadis itu telah basah oleh eritrosit* yang bercampur keringat.

Tampak tiga orang pria di hadapan Indira memegang parang, celurit, dan sabit siap menghabisinya.

"Ah!" Indira yang hendak maju pun malah terlutut. Sakit akibat tusukan parang itu sungguh menyakitinya. Indira seketika lumpuh tersungkur.

Hingga tiba kala bantuan datang. Peluru membuncah menghujami para lawannya hingga tumbang. Indira melihat Setan dan gerombolan anak buahnya yang baru saja tiba. Dia dapat melihat betapa kejamnya mereka menghabisi musuh-musuhnya.

Setan begitu membabi buta menghajar mereka menggunakan kerambit. Habis lawan ditikam dan disayatnya dengan bengis. Tiba kala Setan berhadapan dengan ketua penyerangan. Dia begitu cakap menghindari serangan serta membalas balik. Tubuhnya tampak tak merasakan sakit kala mendapatkan hantaman bertubi-tubi dari rivalnya. Hingga sampai dia dapat menusuk perut sang lawan. 

Jleb!

"Arkh!" Ketua Penyerangan itu tersentak kesakitan seraya memuntahkan darah.

Setan yang gelap mata karena amarah pun mendorong tubuh pria yang ditusuknya hingga menghantam dinding. Kemudian dia menggerakan kerambit yang menancap itu hingga membuat si korban mengeluarkan erangan kesakitan. Setan menyukai jeritan tersebut. Dia memejamkan mata sambil tersenyum iblis. Suara kesakitan itu terdengar merdu baginya. 

Kemudian Setan pun mencabut senjata tajamnya itu dengan sekali tarikan lalu memasukan tangannya ke dalam perut pria yang sudah tak berdaya tersebut. 

"Arkh! Aaaaaaaa!" Ketua Penyerangan itu mengerih sembari menggeliat tak berdaya.

Setan yang belum merasa puas pun langsung menarik keluar isi di dalam perut pria itu. Usus sang ketua penyerangan tersebut segera terburai keluar seiring dengan kelajatan lalu semua tanda kehidupannya, lenyap. Dia pun terkapar tak bernyawa.

Indira memejamkan mata kala nuraninya tak kuasa melihat kebrutalan di sana. Begitu biadabnya mereka. Tidak bisakah mereka memenggal kepalanya saja? Sungguh tidak perlu sampai menyiksanya begitu. Bengis dan tidak manusiawi.

Usai, Indira pun mendapatkan perawatan. Tak disangka, semua pelayan perempuan itu ternyata juga mahir melakukan tindakan medis. Mereka bahkan bisa menjahit luka dan memiliki ramuan aneh. Tubuh Indira lekas bugar setelah meminum obat tersebut.

"Kinan, lukamu lumayan dalam. Tuan, memberikanmu cuti satu minggu untuk beristirahat." Setan.

"Nggak, Bang. Saya gapapa, saya baik-baik saja." Indira tidak mau membuang waktu. Dia sudah gemas ingin segera mengetahui segalanya tentang Cakrawala Pribumi.

Setan pun menekan pelan luka Indira yang sudah dijahit dan dibalut kain kasa.

"Argh!" Indira merintih seraya menggelepar-gelepar karena kesakitan. "Berengsek!" umpatnya marah.

Setan pun menghentikan aksinya lalu menggelengkan kepala. "Udah tau sakit. Masih aja sok kuat," ledeknya.

Sementara Indira hanya mampu mengatur napas seraya menikmati rasa sakitnya. 'Setan benar-benar kurang ajar.' Batin Indira kesal.

Indira kembali mendesah kecewa setiap kali mengingat dua hari kemarin. Kemudian fokusnya kembali terkunci pada jalanan di depan. Indira tengah dalam perjalanan menuju kampung halamannya di Sumedang. Tiba-tiba saja kemarin orang tuanya menyuruh Indira untuk segera pulang. Ada hal penting yang ingin mereka sampaikan.

Sampailah Indira di jalanan lurus dengan sisi kanan dan kirinya menghampar pesawahan luas serta bukit-bukit menjulang sebagai sumber kehidupan. Indira pun mematikan AC mobilnya lalu menurunkan jendela. Jam baru saja menunjukan pukul tujuh pagi. Tadi, sengaja Indira berangkat pukul setengah dua dini hari dari Jakarta. Dia tidak pernah mau melewatkan suasana ini setiap kali pulang ke kampung halaman.

Indira pun menghirup udara bersih yang menyegarkan itu dengan rileks. "Inilah yang selalu membuatku kangen pulang."

Jalanan aspal tampak mulus dan lengang, membuat siapapun akan terlena untuk memacu kecepatan. Namun, tidak dengan Indira. Dia menikmati segalanya dengan cara yang berbeda. Begitu pula dengan jalanan ini. Indira mengurangi kelajuan kendaraannya hingga kecepatan rendah. 

Tiba kala Mercedes Benz S-Class menyalitnya dengan sembarangan. Laju mobil Indra sempat oleng akibat kemunculannya yang mengejutkan. "Astagfirullahaladzim!" Dia mencoba mengendalikan setirnya lalu lekas menginjak pedal rem dengan kencang. Hingga decitan roda pun memekik kencang.

Segera Indira yang syok pun mengatur ritme napas yang tak beraturan setelah mobilnya benar-benar berhenti. "Ya Allah, yang nyetir tadi gegabah banget," keluhnya.

Setelah degup jantung dan pompaan rongga paru-parunya stabil, Indira pun kembali melanjutkan perjalanan. Hanya sisa lima menit lagi dari sana, karena jalanan besar itu sudah masuk wilayah perkampungannya.

Sampailah Indira di gapura selamat datang. Di sana terukir Dusun Betok, Desa Sukamenak. Jalanan kampung itu kecil dengan diapit rumah-rumah penduduk. Lebarnya hanya sebesar satu mobil saja.

Indira tak melepaskan senyuman selama menyusuri tempat kelahiran. Beberapa warga tampak menyapa dengan seringai ramah dan anggukan kesopanan. Indira pun tak ayal segera merespon hal tersebut dengan baik.

Tiba kala Indira sampai di depan gerbang rumahnya. Di halamannya sudah terparkir mobil lain, sehingga Indira pun memutuskan untuk memberhentikan kendaraannya di pinggir jalan di depan kediaman.

Gegas Indira turun lalu memasuki pelataran. "Mobil siapa ini? Kaya kenal?" gumamnya seraya menatap penasaran sedan hitam itu. 

Indira pun berlari kecil menuju selasar rumahnya. "Assalamualaikum." Pintu rumah Indira sudah terbuka lebar saat dia sampai.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Ayah, Ibu serta dua orang yang sama sekali tidak Indira kenal membalas salam.

"Jadi ini yang namanya Indira?" ucap seorang ibu yang berusia lima puluh tahunan. Dia adalah Risma Inaya-ibunda dari Abimana Rahardian Dewangga.

Hari ini Indira mendapatkan pinangan dari seorang pria asal Jakarta. Pria itu adalah pengusaha-pemilik Rahardian Toys yang merupakan pabrik mainan terbesar di ibu kota. Abimana tak sengaja melihat Indira saat menghadiri pengajian muda-mudi di kota B pada enam bulan yang lalu. Kemudian hari itu juga Abimana mencari tahu tentang Indira pada pengurus pengajian tersebut. Ketemu, tapi dia mendapatkan kabar yang mengecewakan. Saat itu Indira sudah menerima pinangan dari lelaki lain dan mereka akan menikah dalam waktu dekat. Maka dari itu Abimana pun mengurungkan niatnya.

Datang kabar dari teman pengajian Abimana yang memberitahukan kalau rencana pernikahan Indira kandas, dikarenakan calon mempelai lelaki meninggal dunia. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Abimana pun gegas mengambil tindakan maju. Dia mengajak Risma-ibunya untuk melamar Indira. Lekas memberitahukan maksud baiknya kepada pengurus pengajian muda-mudi matang di Kampung Betok serta orang tua Indira, Abimana pun datang ke rumahnya hari ini.

Abimana tidak pandai merayu dan melontarkan kata-kata romantis. Dia hanya seorang pria kaku dengan segala keunikannya. Abimana amat tertutup kepada siapapun termasuk kepada sang ibunda. Dia amat jarang berbicara, tapi lebih dominan bertindak.

Indira memanggutkan kepala untuk kesopanan meski dengan senyuman canggung. Dia tidak mengerti dengan situasi saat ini dan siapa pria serta ibu-ibu fashionable di hadapan.

"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga." Aminah-ibunda Indira menghampiri lalu menggandeng putri semata wayangnya masuk. "Ayo masuk, Teh."

Tampak Taryana-ayah Indira meraih lembut tangan gadis itu saat anak dan istrinya berada dalam jangkauan. Kemudian Indira pun duduk di tengah-tengah ayah dan ibunya.

Indira tidak dapat menyembunyikan kebingungannya. "Bu, ini ada apa, ya?"

"Perkenalkan, ini Ibu Risma dan Abimana-anaknya. Mereka jauh-jauh datang dari Jakarta ke sini untuk melamarmu." Aminah.

Indira tergemap. Dia tidak menduga hal ini akan terjadi. "Bisa kita bicara sebentar?"

Aminah dan Taryana terlihat tidak enak hati kepada Risma dan Abimana terhadap respon sang anak. Aminah pun terkekeh kaku. "Kita bicara di dalam sebentar."

"Maaf, Bu. Ditinggal dulu sebentar. Silakan dinikmati kue-kuenya." Aminah beramah tamah.

"Kami tinggal sebentar, Bu." Taryana dengan sopan santun.

"Silakan." Risma tetap menunjukan kesantunan. Tak lepas lengkungan bibir selalu dia tampakan. Berbeda dengan Abimana, pria itu terlihat diam dengan mimik wajah sukar ditebak. Abimana seperti memperhatikan, tetapi tidak sedikitpun merespon. Pria itu terus saja diam seolah mempercayakan semua yang ingin dia katakan kepada ibunya.

Aminah pun segera membawa Indira masuk ke kamar diikuti suaminya.

"Saya nggak mau." Indira tampak gusar.

Aminah menggelengkan kepalanya dengan air muka kecewa. "Tiga hari yang lalu Mas Sugeng ngasih kabar kalo Abimana mau ke rumah untuk melamarmu."

"Lalu Ibu dan Ayah setuju begitu saja tanpa membicarakan terlebih dulu sama, Ira? Iya?" Indira masih mencintai Reno dan belum bisa melupakannya. Di dalam rongga hatinya masih terpatri erat nama Reno Siregar. Indira masih belum bisa membuka perasaan untuk cinta yang lain.

"Ra, jangan begitu kepada ibumu. Ibu begini karena mengkhawatirkanmu." Taryana.

Indira duduk di atas katilnya dengan kesal. Dia diam seraya memijat kening. "Ira, tetep nggak mau, Yah."

"Kenapa? Karena kamu belum bisa melupakan, Reno?"

"Ini baru tiga bulan setelah kepergiannya, Yah. Wajar kalo Ira belum bisa melupakannya."

"Ra, Abimana itu pria yang baik juga salih." Taryana mencoba menasihati putri satu-satunya. "Dia pemuda yang tampan dan karismatik. Kita nggak mempunyai alasan untuk menolaknya. Dia juga sudah usia matang dan mapan. Tolong pikirkan dulu sebelum membuat keputusan. Jangan sampai perasaan itu menggiringmu kepada kekufuran."

"Astagfirullahaladzim!" Indira menelungkupkan kedua telapak tangannya di wajah. Dia tampak salah tingkah bak memakan buah simalakama. Indira belum bisa menerima lelaki lain. Dia masih membutuhkan waktu sendiri. Tidak adakah yang mau mengerti?