[Kinan, sebentar lagi saya akan menjemputmu. Bersiaplah.]
"Baik."
Jam sudah menunjukan pukul enam pagi saat Benji menghubungi. Indira sudah berpakaian rapi lengkap dengan jaket bomber dan celana jeans-nya. Dia sudah siap sejak dini hari. Indira sudah merasa tidak sabar untuk segera melanjutkan misi.
Di depan Puskesmas Koja Indira menunggui Benji, sama seperti kemarin. Tampak jalanan raya di hadapannya ramai kendaraan dan manusia berlalu lalang seperti biasa. Debu dan asap kendaraan bersatu mengambang di udara membuat Indira menutupi hidung dan mulutnya dengan sapu tangan. Bola mata Indira mengamati setiap pergerakan di sana tanpa memancing kecurigaan. Misi berbahaya ini membuat dia secara otomat selalu waspada.
Indira berdiri sambil memainkan kaki, tetapi berhenti sesaat setelah kedatangan segerombolan pria berpenampilan preman.
"Dia orangnya, Bang!" Seorang bocah lusuh kisaran usia enam belasan menunjuk wajah Indira geram.
Indira menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. Bocah copet? Batinnya. Rupanya bocah itu membawa serta kawan-kawannya. Mungkin dia ingin membalas dendam karena tempo hari telah dipukuli Indira.
Terlihat tiga orang pria itu memotong jarak dengannya. "Jadi, lo yang udah mukulin kawan gue?" tanya salah satunya.
Indira menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil menyeringai kesal. Kenapa mereka harus datang di saat seperti ini? Sial! Batinnya. Indira melenggak. "Iya, kenapa emang? Masalah?" Indira berkacak pinggang dengan sorot mata membeliak. Dia tidak gentar meski berhadapan dengan tiga orang sekaligus.
"Sialan! Lo mau mau mati?" bentak seorang pria yang bertato lebih banyak dengan geram. Dia Yanto, ketua geng preman dan copet di kawasan Koja. Wajahnya sudah tidak asing lagi bagi Indira. Karena pria itu sudah dua kali merasakan dinginnya ubin jeruji penjara.
"Cih!" Indira merasa geli mendengarnya. "Bego! Harusnya gue yang nanya gitu. Lo udah bosan hidup?" ceketuknya acuh tak acuh.
"Dasar pelacur!" Pria itu pun tiba-tiba saja melayangkan dua pukulan bertubi ke wajah Indira. Namun, gadis itu dengan sigap menangkis serangan Yanto lalu mencengkram kuat dan memelintir lengan preman tersebut ke belakang. Kemudian tendangan keras pun Indira labuhkan pada punggung Yanto. Brugh!
"Argh!" Setelah melihat kawan mereka jatuh tersungkur, kedua pria lainnya pun menyerang dengan bersamaan. Pergelutan tegang berlanjut panas. Hal itu menjadi tontonan banyak orang.
Tubuh Indira lentur berkeluk-keluk dengan lincah hingga tak satupun terjangan dan hantaman mendarat mujur pada badannya. Berbeda dengan kedua pria yang tadi menyerbunya lebih dahulu. Mereka tampak kelelahan karena terlalu banyak mengerahkan tenaga. Gerakan Indira terlalu cepat untuk bisa dihindari. Tubuh ramping dan mata jeli menjadi kekuatannya. Sehingga membuat gadis itu bisa bergerak dengan lihai tanpa merasakan kesulitan.
Tiba saat Indira menyambar kaki preman yang hendak melayangkan tendangan. Segera dia tangkis lalu diangkat ke atas dengan sekaligus hingga terjengkang. "Ark! Uhuk Uhuk...." Preman itu menggeliat kesakitan akibat punggungnya mendarat dengan keras di tanah berkerikil.
Sisa satu lagi. Indira ingin menyelesaikan semua ini dengan cepat sebelum Benji datang. Dia bertarung satu lawan satu. Preman itu terus mengarahkan kepalan tangan dan hentakan kaki ke arah Indira tanpa kenal menyerah. Sampai ketika Indira menedang bokong pria itu dengan keras. Hampir saja kepalanya masuk ke dalam wajan penjual gorengan yang berisi minyak panas kalau sampai kerahnya tidak ditarik Indira. Namun, setelah keterkejutan itu, kembali preman itu berusaha melumpuhkan Indira.
Indira yang telah gemas pun memukul dada pria itu bertubi-tubi lalu menggetik jakun lawannya dengan satu jentikan keras hingga preman itu tersentak kesakitan. Dia teronggok di hadapan sambil memegangi lehernya yang ngilu dengan terbatuk.
"Kurang ajar!" seru Yanto kala melihat kedua temannya kalah. Dia pun mengeluarkan Kujang* dari sakunya. Yanto mencoba menikamkan benda tajam itu pada tubuh Indira. Namun, dengan cepat Indira dapat menghindar. Pertarungan tangan kosong dan bersenjata pun terjadi dengan tidak seimbang. Sehingga tiba saat kujang milik Yanto berhasil mengenai lengan Indira. Srett!
Dia menendang perut preman itu dengan keras hingga terjungkal, lalu Indira mundur beberapa langkah. Dia memegangi pangkal lengannya yang tersayat. "Argh! Sialan," lirih Indira sambil meringis kesakitan.
Indira melepaskan jaket bombernya lalu membuang sembarangan. Dia dan Yanto memasang kuda-kuda saling berhadapan. Indira mengepalkan kedua tangannya kuat sebelum menyerang. Kemudian dengan penuh ketenangan Indira pun meladeni Yanto. Ketelitian menjadi kunci utama. Begitu brutalnya preman itu menebaskan kujang ke arah tubuh kurus Indira. Wajahnya bengis haus akan kemenangan. Yanto sangat ingin menghabisi Indira. Siapapun yang berani mengusik tahtanya, dia harus mati. Prinsip Yanto.
Sampai saat Indira berhasil merebut senjata tajam itu dari tangan Yanto. Indira pun melakukan gerakan kilat menyarat perut dan betis lawannya tersebut dalam sepersekian detik. Slash!
"Argh!" erang Yanto. Cairan kental berwarna merah pekat menyembul keluar dari setiap luka terbuka. Sepertinya sayatan Indira cukup dalam hingga membuat Yanto tumbang sambil pringas-pringis nyeri.
Maniknya menatap tajam Yanto yang tergeletak bersimbah darah. Napas Indira sudah memburu kala menghampiri preman yang telah terkapar tak berdaya. Kemudian dia menjambak kerah baju Yanto dengan kasar.
"A-ampun," pinta Yanto sambil menyatukan kedua tangan dengan tubuh gemetar.
"Lo enggak akan mati karena luka itu. Tapi, kalo lo masih nyari gue, gue enggak akan bisa jamin lo bakal hidup sampe tahun depan," ucap Indira dengan berang. Dia pun melepaskan genggamannya dengan kasar. "Pergi!" geramnya membuat Yanto dan kedua temannya tersentak ngeri. Bocah copet yang sedari tadi menonton pun segera membantu Yanto untuk berdiri. "Ayo, Bang." Dia memapahnya pergi.
Beberapa warga yang menyaksikan pertarungan hebat itu segera menghampiri Indira.
"Kamu gapapa, Dek?"
"Neng, tangannya berdarah!"
"Ke Puskesmas dulu, obatin lukanya."
Ramai orang-orang yang peduli menghampirinya. Mereka terkagum-kagum melihat kemampuan bela diri Indira. Dia bahkan bisa mengalahkan tiga orang sekaligus. Namun, dampaknya cukup buruk. Indira harus menerima luka sayatan cukup dalam pada lengannya.
"Eu- enggak usah. Saya gapapa," jawab Indira. Dia pun memutuskan untuk kembali ke indekosnya. Indira membuka kaos hitam yang dikenakannya sambil terus berjalan. Dia gunakan kaos itu untuk menekan pendarahan di pangkal lengan. "Argh!" rintihnya sambil menggigit bibir. Perih dan nyeri seketika menyergap tubuh kala dia menyumpal luka tersebut.
Tanktop putih yang dia kenakan juga tampak sudah dilumuri warna merah. Indira mempercepat langkahnya menuju indekos tanpa mempedulikan pandangan sekitar yang kebingungan melihatnya berdarah-darah.
Sesampainya di indekos, segera dia obati dan balut lukanya dengan teliti. "Untung enggak terlalu dalam," gumamnya.
Terdengar suara ketukan lalu pintu pun terbuka. "Neng, kamu kenapa? Kata para tetangga Eneng pulang sambil berdarah-darah. Kamu habis kecelakaan?" Bu Nunung pemilik indekos menyembul masuk tanpa permisi. Wajahnya tampak cemas kala menghampiri.
"Enggak apa-apa, kok, Bu. Hanya luka kecil."
"Ya ampun, tapi darahnya banyak banget, Neng. Mending Eneng ke Puskesmas saja. Ibu anterin, yah?" Bu Nunung melihat tanktop putih Indira yang sudah dipenuhi noda darah.
"Enggak, Bu. Ini masih oke, kok. Saya masih bisa ngobatinnya."
Bu Nunung hanya bisa diam sembari memperhatikan bagaimana Indira membalut lukanya. Dia tampak heran dengan keahlian Indira. Namun, Bu Nunung tidak sampai curiga. Dia hanya menganggap mungkin Indira sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri, karena Indira pernah hidup sebatang kara dijalanan.
"Ya udah, kalo Neng enggak mau dibawa ke Puskesmas. Ibu ke dalam lagi saja. Kalo perlu apa-apa, ke rumah saja."
"Iya, Bu."
Bu Nunung pun kembali ke rumahnya.
Drrett!
Ponsel Indira bergetar. Dia segera meraih benda pipih itu lalu mengangkatnya. "Hallo, Bang?"
[Kinan, kamu di mana? Aku udah di depan Puskesmas.] Suara Benji dari sambungan telepon.
"Maaf, Bang. Tadi ada masalah sedikit. Jadi, saya balik lagi ke kosan."
[Ya sudah, saya jemput kamu ke situ sekarang.]
"Oke, Bang."
Indira melepaskan singlet yang ternodai bercak darah. Lalu membuka lemari plastik untuk mengambil kembali pakaian bersih. Tak lupa dia seka terlebih dahulu sisa darah pada tubuhnya sebelum berganti pakaian. Indira memasukan semua pakaiannya yang terdapat bercak darah ke dalam kantong plastik hitam untuk dibuang. Dia juga memasukan jaket bomber hijau pakis yang telah koyak dengan lesu. "Sial! Padahal ini satu-satunya jaket kesayangan."
Ponselnya kembali bergetar. Satu pesan WA dari Benji telah masuk. [Aku udah sampai di depan kosanmu.]
Indira segera mempercepat berpakaiannya lalu keluar dari kosan. Dia segera menghampiri mobil Honda Civic hitam yang terparkir di depan gangan indekos. "Maaf kalo saya ngelama-lamain."
"No problem. Santai saja." Benji tersenyum bersahabat. "Ngomong-ngomong ada masalah apa sampai harus balik lagi ke kosan?"
"Masalah kecil, bukan apa-apa."
Benji dan Indira tidak memperpanjang. Mereka pun mengalihkan pembicaraan. Keduanya saling melemparkan gurauan. Suasana hangat pun tercipta. Kedekatan Indira dan Benji terpahat sempurna. Benji akan menjadi tumpuan Indira untuk berpijak supaya bisa lebih dekat lagi dengan R. Dia berencana untuk menjadi orang kepercayaan sang raja mafia dan Benji ialah kunci utamanya.
Beberapa saat kemudian, mereka pun sampai di tempat tujuan. Indira dan Benji berhenti di sebuah ladang kosong di kawasan Penjaringan. Di sana sudah ada Setan bersama dua orang anak buahnya menunggu. Mereka pun turun lalu menghampiri ketiga orang pria yang berdiri di dekat Toyota Vios merah.
"Ucok, mana?" tanya Benji pada Setan tanpa menyapa. Tampak kentara aura persaingan dari keduanya.
"Mulai sekarang, gue yang handle semua kerjaan Ucok. Tuan besar sudah enggak membutuhkannya," jelas Setan dengan santai.
Segera Benji mencengkram kerah kemeja hitam Setan dengan mata membeliak "Anjing! Gue tanya, mana Ucok?" pekiknya dengan penuh amarah.
Tampak kedua anak buah Setan hendak menangkap Benji. Namun, tertahan karena gerakan tangan sang atasan yang mengisyaratkan mereka untuk diam. Setan tersenyum miring. "Ucok kembali gagal menjalankan tugasnya dan Tuan Besar sudah bosan memberikan dia kesempatan. Jadi…." Setan memiringkan kepalanya lalu mengarahkan jari membentuk pistol ke arah kepala Benji. "Dor."
Benji termangu dengan telaga mata menggenang. Genggaman tangan pada kerah Setan pun melemah hingga terlepas. Tubuhnya sempat buncang, tetapi segera dia dapatkan kembali keseimbangan setelah dipegangi Indira.
Setan menatap senang Benji yang tampak tengah kalut. Orang-orang yang menentangnya satu persatu mulai disingkirkan. Kesempatan Setan untuk meraup rupiah lebih banyak lagi dari R kian terbuka lebar. Setan tersenyum penuh kemenangan. Kini hanya sisa satu lagi saingannya, yaitu Benji. Dia tinggal menyabotase kesalahan untuk pria berkulit hitam itu dan semuanya selesai. Mudah.
Sementara Indira yang cerdas dapat memahami situasi dengan cepat. Rupanya R baru saja menembak mati salah satu anak buahnya. Benar-benar keji dan enggak berperikemanusiaan. Dasar manusia biadab! Batin Indira.
Tiba-tiba saja kekecewaan dan rasa dukanya memantik kobaran amarah pada dada Benji hingga membuncah. Pria itu kembali meraih tubuh Setan lalu mengudarakan tinju kuat pada wajah lawannya tersebut. "Anjing! Ini semua gara-gara lo! Bangsat!" teriak Benji murka.
Setan yang tersungkur segera bangkit sambil mengelap darah di sudut bibirnya dengan kasar. Dua anak buahnya membentengi Setan dari Benji. Mereka siap untuk melakukan perlawanan.
"Mau apa kalian? Mau ngelawan gue? Gue enggak takut! Maju lo semua!" Benji melakukan kuda-kuda siap untuk menerima perlawanan.
Namun, Setan kembali mencegah mereka. Dia ingin fokus pada pekerjaannya. Urusan Benji bisa diselesaikan nanti. Yang terpenting kini, dia harus menjaga kepercayaan R padanya. "Tujuan gue ke sini bukan untuk ngelawan lo. Tapi, buat ngejemput anak itu. Kalo sampai dia terlambat, gue enggak bakalan bisa jamin keselamatannya. Lo paham itu, kan?"
Dada Benji sudah naik turun karena sesak. Dia meremas rambutnya frustasi. "Argh!"
"Kamu." Setan menunjuk Indira. "Ikuti saya."
Indira sempat melirik Benji. "Bang."
"Saya enggak apa-apa. Lebih baik kamu ikuti dia," ucapnya lemah.
Indira pun pergi, tetapi dia kembali melirik Benji sebelum masuk ke mobil merah di depannya. Terlihat pria berambut gimbal blondie panjang itu tertunduk pilu. Sepertinya Ucok adalah kawan karibnya dan kematian Ucok cukup membuat Benji terpukul. Hal itu membuat Indira merasa iba terhadap kerasnya kehidupan mereka. Di mana kematian ditentukan oleh berhasil atau gagalnya sebuah tugas. Sungguh ini adalah hukum yang tidak setimpal. Terlalu mahal mereka harus membayar kegagalan dengan satu nyawa. R sungguh kejam.