Chereads / BRIPKA INDIRA / Chapter 4 - 3. Balapan

Chapter 4 - 3. Balapan

Derritt!

Decit ban memekik tajam saat mobil yang ditunggangi Indira menikung tanpa merendahkan kecepatan. Tujuannya hanya satu, yaitu kemenangan. Dia harus menjadi juara.

Lihai tangan gadis itu memainkan setir. Mobil meliuk-liuk melewati setiap tikungan gedung itu dengan lancar. Indira melakukan drift berkali-kali hingga membuat kepulan asap di ban mobilnya.

Seluruh tubuh Indira seirama menyatu dengan kendaraannya. Simponi pun tercipta dengan seimbang. Kendaraan garang itu jinak di tangannya.

Mata Indira tajam melihat ke depan. Dia ingin segera menyelesaikan balapan ini. Tibalah dia di lantai bawah. Indira lekas menggeser tuas di samping kursi kemudi lalu menginjak pedal gas dalam. Mobilnya melesat menuju pelataran.

[Turn left!]

[Turn left!]

[Turn left!]

GPS yang telah diatur untuk menunjukan jalur balapan itu berbunyi.

Indira mengikuti tanda panah yang berada di monitor. Jalanan umum Jakarta masih cukup ramai. Namun, itu tak jadi kendala. Indira kembali menekan pedal gas yang seketika mengeluarkan dahaman keras.

Pumpuman konsentrasi terpecah kala tiba-tiba ada pembalap lain yang akan menyalitnya.

Pambalap berkulit hitam tertawa cukup keras mengejek. Dia Liben, pemuda berumur dua puluh tahunan. Dia seorang pembalap liar. "Goodbye bitchs!" serunya lalu terbahak. Mobilnya melewati Indira.

Namun, Indira tak terpancing. Kembali dia fokus ke jalanan. Dia mencoba mengejar Liben yang telah berhasil mendahuluinya. Indira tidak boleh kalah. Hanya itu mantra yang dia lafalkan dalam benak. Hingga akhirnya Indira dapat menyejajarkan mobilnya dengan Liben.

"Damn it! What are you doing?" Liben kesal. Dia menyenggolkan moncong mobilnya pada badan mobil Indira. Saling singgung pun tak terelakan. Indira dan Liben mencoba mempertahankan lajur mereka untuk menjadi nomor satu. "Menyingkirlah wanita gila!" teriak Liben kesal.

Indira sedikit menjauh dari sisi mobil Liben untuk mengambil ancang-ancang. Kemudian dia menabrakan bagian samping kendaraannya ke mobil BMW M satu kustom itu dengan keras hingga Liben kehilangan kendali lajunya. Indira mengacungkan jari tengahnya kepada Liben sambil tersenyum meremehkan.

"Aaa!" jerit Liben geram kala mobilnya keluar dari jalur. Mobil itu berputar-putar sebelum akhirnya berhenti dan mesinnya mati. Mobilnya rusak. "Anjing!" makinya gusar.

Berhasil menyingkirkan Liben, Indira kembali memacu mobilnya dengan perasaan puas. Namun, dua mobil Bugatti Veyron kembar mengapitnya. Ruang gerak Indira jadi terbatas. Dia menoleh ke kanan dan kirinya. Ternyata bukan hanya mobilnya yang berwarna sama, tetapi pengemudinya pun dua orang muda mudi kembar. Indira menebak, usia kedua gadis itu masih delapan belasan. Kentara terlihat dari gaya urakannya yang masih feminim. Keduanya serta mobil mereka seperti disirami cat merah muda. Dari mulai rambut hingga outfit pun berwarna senada. 'Dasar ababil.' Batin Indira sambil tersenyum tipis.

"Fay, gimana?" teriaknya bertanya pada saudara kembarnya. Mereka tampak menggunakan alat komunikasi yang dipasang pada daun telinga masing-masing.

"Finish her, Feyna!" sahut Fay sambil tersenyum angkuh.

"Let's do it, Twin!" Feyna melirik tajam Indira.

Mereka memepet mobil Indira hingga benar-benar terhimpit. Brugh! "Oh shit!" Indira berusaha sekeras mungkin mempertahankan setirnya.

Indira benar-benar kesulitan untuk melepaskan diri dari gencetan Fay dan Feyna. Kedua kembar bar-bar itu lumayan tangguh. Namun, mereka pengecut. Beraninya main keroyokan. Indira mencoba menambah laju kecepatannya, tetapi tak berhasil. Mobil si kembar semakin erat menempel pada kendaraannya. Indira melirik kakak beradik tersebut yang tampak bahagia melihatnya kesulitan. Mereka tertawa senang.

Otak Indira berpikir cepat untuk bisa melepaskan diri. Lalu sebuah ide pun muncul di kepala. Indira kembali menggeser tuas di samping jok kemudi, kemudian menginjak pedal gas dalam hingga speedometer-nya terus menanjak sampai kecepatan teratas. Dia eratkan genggaman kedua tangannya kuat pada setir. Pedal gas terus dia pijak dengan sekuat tenaga. Mobilnya pun meraung keras lalu perlahan mendahului gadis kembar itu. Pelan tapi pasti, Indira pun dapat melepaskan diri dari apitan keduanya. Dia pun mendahului mereka. 

"Pelacur sialan!"

"Bangke!"

Keduanya memaki Indira dengan penuh amarah. Fay dan Feyna amat kesal. Lalu mereka pun mencoba hal yang sama. Yakni menambah kecepatan mobilnya hingga maksimal. Namun, sayang. Karena kurangnya waspada, mereka pun kehilangan kendali hingga mobil keduanya saling bertabrakan. Laka lantas tak bisa dihindari. Mobil keduanya terpental lalu berguling-guling di jalanan padat lancar tersebut, mengakibatkan kendaraan di belakang mengerem mendadak. Mobil sport mewah itu pun hancur.

Pusat Indira terus tertuju pada arah GPS pada layar. Kemudian dia melihat kaca spion tengah dan kanan, kirinya. Tak ada lagi lawan. Hanya dirinya seorang. Mobilnya pun melesat di jalanan kota dengan leluasa.

GPS mengarahkan Indira kembali menuju Jalan Sungai Landak. Di mana garis start bermula. Jalan lurus dengan lajur vertikal. Tiga kilometer tersisa kala mobil Indira ditabrak dari arah belakang. Indira tersentak kaget. "Astagfirullahaladzim." Dia melirik kaca spion tengahnya. Tampak mobil Ferrari California T kuning berada tepat di belakangnya. Indira menajamkan matanya lalu kembali menambah kecepatan kendaraannya hingga garis finish pun tampak.

Dua mobil itu beradu kecepatan dengan sengit setelah jarak mereka sejajar. Mereka saling mendahului tanpa ada yang mau mengalah. Hingga tiba di dekat garis akhir. Indira menginjak pedal gasnya kuat dengan kedua manik yang pusat melihat ke depan. "Bismillahirohmanirohim," bisiknya. "Ayolah." Laju mobil keduanya setara. "Harus menang, harus menang," ucapnya menyemangati diri sendiri. Sampai tiba dia melakukan drift untuk menyentuh garis finish lalu memasuki pelataran gedung tanpa mengurangi lajunya.

Mobil kuning yang kagok pun membanting setir hingga akhirnya berputar dan berhenti di atas trotoar.

Sorak sorai menyambut kedatangan Indira. Mobilnya pun langsung dikerubungi. Indira turun dari mobil sambil tersenyum puas dengan napas memburu. Jantungnya masih berdentum hebat efek ketar ketirnya balapan. Akhirnya dia tiba sebagai pemenang. "Woh!" pekiknya dengan mengangkat kedua tangannya.

Senyum Indira seketika lenyap kala melihat keadaan tubuh mobil itu. "Ya Allah," ucapnya sambil membelalakan kedua mata.

"Kinan! What happened to my car?" Benji menghampiri Indira. Dia bersimpuh menyentuh goresan dan penyok pada badan kendaraannya. "Kinan!" Wajahnya tampak sedih gunda gulana. Tubuh mobil seharga tiga koma enam miliar itu rusak parah. Andai saja Benji tak berhutang nyawa, mungkin telah dibunuhnya gadis itu.

"Maaf, Bang. Saya enggak sengaja," sesal Indira. Hatinya pun menangis melihat mobil setampan itu penyok dan dipenuhi lecet seperti ini.

"Wow! Selamat! You win," ujar Setan yang menghampirinya sambil bertepuk tangan dengan gembira.

"Terima kasih," balas Indira.

"Ikuti saya," ajak Setan.

Indira pun mengekor mengikuti Setan meninggalkan Benji. Dia kembali dibawa ke ruangan di atap gedung untuk bertemu R. Indira merasa agak gugup. Dia merasa takut bertemu dengan R. Takut amarahnya tidak bisa dikendalikan. Dia yakin R adalah dalang dibalik kematian Reno. Psikopat gila itulah dalang atas kematian tunangannya.

Sampai di ruangan itu, Setan mempersilakan Indira duduk di sofa. "Dia pemenangnya, Tuan," lapornya.

R tampak menganggukan kepala. Kemudian manik hitamnya fokus menatap wanita berambut bondol di hadapan. "Apa kamu sanggup mengemban tugas berat?"

"Sanggup, Tuan," tegas Indira.

R memperbaiki duduknya lalu mendehem sebelum akhirnya berkata, "Kegagalan dibayar nyawa. Bagaimana?"

Dingin dan kejam. Itulah kesan Indira terhadap R pada obrolan serius ini. Pria di depannya ini sungguh berbahaya. Membuat Indira selalu waspada. "Saya yakin enggak akan pernah gagal, Tuan."

"Mmm." R mengetuk-ngetukkan jarinya lambat pada tangan sofa. "Kamu tau? Setiap orang yang ingin bekerja untuk saya selalu mengatakan itu. Tapi, mereka selalu berakhir dengan kegagalan." Dia tersenyum dibalik topeng hitamnya. "Saya enggak suka penjilat. Buktikan saja."

"Baik, Tuan."

R menunjuk ke arah Setan. "Jelaskan padanya."

"Begini, besok ada tugas pengiriman barang ke Kebayoran Lama. Untuk detail tempatnya, nanti saya share location. Kamu hanya tinggal mengikuti GPS. Paham?"

"Paham, Tuan."

"Baiklah, sekarang kamu boleh pulang. Besok pagi saya akan menghubungimu," jelas Setan.

Indira pun pamit undur diri tanpa meninggalkan kecurigaan apapun. Namun, sebelum dia kembali ke indekos, Indira menghampiri Benji. Tampak pria itu masih sibuk dengan mobilnya. "Bang," panggilnya pelan.

Benji yang tengah mengecek bagian bawah mobil pun menghampirinya. "Gimana?"

"Maaf."

Benji menatap bingung. "Untuk?"

"Maaf karena saya sudah merusak mobilmu."

"Ah, sudahlah." Benji sudah bisa menerima kemalangan ini. Lagi pula kini Kinanti akan bekerja untuk R. Tidak sia-sia dia menceritakan tentang Kinanti pada R. Kini kepercayaan R pada Benji akan kembali bertambah. Benji berharap dia akan dapat menggeser posisi Setan. Persaingan untuk memperebutkan kepercayaan R itu kian sengit.

"Saya janji. Setelah mendapatkan bayaran nanti, saya akan mencicil untuk membayar biaya perbaikannya."

Benji menghirup napas pelan. "Jika itu akan membuatmu merasa lebih baik. Terserah."

"Ya udah, Bang. Saya pulang dulu. Besok saya dapet tugas pengiriman dari Boss."

"Saya antar."

"Tapi, kan, mobilnya?"

"Apa kamu pikir saya hanya punya satu yang seperti ini? Ya enggaklah. Saya ada beberapa mobil cadangan. Tenang saja."

"Oh, baiklah."

Pria berkulit hitam itu mengantarkan Indira pulang ke Komplek Uka. Kini jam telah menunjukan pukul empat dini hari. Indira benar-benar merasa amat lelah. Sesampainya di indekos. Indira tak langsung tidur. Dia menunggui waktu Subuh yang hanya tinggal beberapa menit lagi. Barulah, usai Subuh dia laksanakan. Indira pun merebahkan tubuh penatnya di atas kasur tipis.

Tubuhnya bak remuk. Pegal di seluruh persendian. Badan Indira terasa awut-awutan. Dia sungguh membutuhkan istirahat panjang. Semoga saja besok tubuhnya telah membaik, agar Indira bisa segera menjalankan misi ke tahap berikutnya.

Indira menatap kosong langit-langit kamarnya. Teringat kembali suasana balapan menegangkan tadi. Rasanya sulit dijelaskan. Indira sama sekali tidak takut akan kematian. Dia amat berani terus dan terus memacu kecepatan. Entah ini disebut keberanian atau keputusasaan. Namun, sepeninggalan Reno. Indira bekerja cukup keras. Dia selalu membenamkan diri pada pekerjaan. Tidak peduli meski tubuhnya meng-komplain ingin diistirahatkan. Indira akan acuhkan.

"Bang, apa Abang bahagia di sana? Beri aku petunjuk. Datanglah sekali-kali ke dalam mimpiku. Aku rindu," bisiknya dengan bulir air mata menggenangi pelupuk. Tiba-tiba saja ulu hatinya terasa nyeri. Napasnya sesak. Indira kembali larut dalam kesedihan setiap kali teringat almarhum tunangannya. Reno meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Pria itu bahkan tak pernah datang ke dalam mimpinya meski sekali. Padahal Indira sangat ingin bisa berjumpa dengannya meski hanya dalam alam ilusi.

Ini sudah tiga bulan kematian Reno. Namun, tidak sedikitpun Indira mampu melupakannya. Rindunya menyulam tanpa penawar. Rajutan kenangannya berurai enggan berhenti. Sepi tiada tepi menghampiri saat sunyi hatinya menghampiri. Serpihan ingatan tentang Reno menyapa. Terbayang kembali tentangnya yang telah tiada. "Ya Allah, berilah aku keikhlasan." Tiba-tiba dia merasa dingin dan sendirian. Indira benar-benar merasa kesepian. Kematian Reno telah menjadi pukulan keras untuknya. Kadang dia merasa semua ini mimpi. Indira masih sulit menerima kenyataan.

Namun, tiba-tiba saja amarahnya tersulut saat mengingat penyebab kematian kekasihnya tersebut. Tekad Indira untuk membalas dendam kian kuat. Dia sungguh ingin menjerat R dan mengadilinya. Pria jahat itu pantas mendapatkan hukuman mati. "Aku enggak akan berhenti sebelum bisa mengadilinya. Aku bersumpah akan memperjuangkan keadalian untukmu, Bang. Insyaallah."