Chereads / Love or Lust / Chapter 18 - Anak Baik-Baik

Chapter 18 - Anak Baik-Baik

Kehidupan di ibu kota memang sangat keras. Itu yang Soraya rasakan. Pergaulannya memang terlalu bebas, tetapi saat mengenal Liam dia menjadi lebih terkontrol. Dia sadar, memang tidak ada wanita yang seperti dirinya. Jika pun ada, itu hanya segelintir. Buka mata, Jakarta keras!

Soraya ingat betul saat di mana dia mengenal seksualitas untuk pertama kalinya, hingga membuatnya kecanduan seperti saat ini. Dan kejadian tadi siang benar-benar membuatnya sadar, jika dia memang bersalah.

Wanita itu tidak sekuat apa yang terlihat. Dia lemah, sama seperti wanita kebanyakan, tetapi dia pandai menyembunyikan perasaannya itu. Dia cerdas membohongi dirinya sendiri dan dia cerdik untuk mengalihkan nafsunya pada yang lain.

Berkali-kali dia mengembuskan napas sembari menenangkan pikiran. Membuka kedua mata lalu memandangi langit-langit kamar, kilasan demi kilasan kalimat yang Ceril lontarkan padanya, benar-benar begitu membekas dalam ingatan. Terngiang di telinganya.

Tidak ada yang salah dengan umpatan Ceril saat itu. Terlepas dia mengetahui permainan Soraya dengan Liam ataupun tidak. Semua benar. Soraya memang bukan wanita baik-baik. Itu benar adanya. Dia bukan teman yang baik untuk Liam.

Soraya bangkit dari kasur menuju meja riasnya, memandangi pantulan dirinya sendiri sambil melepaskan satu per satu pakaiannya yang menutupi tubuh hingga tersisa pakaian dalamnya saja. Tubuhnya penuh dengan cakaran. Kuku Ceril memberikan banyak jejak di sana.

Kering. Goresan luka itu sudah mengering lama, yang tersisa hanya bekas dan juga rasa perih yang ada. Soraya terlalu bodoh untuk tidak meneruskan kegiatan terapinya beberapa bulan yang lalu, dia malah memilih untuk melanjutkan kenikmatan biologisnya, melampiaskannya pada Liam yang jelas saja mau menerimanya. Bodoh.

Soraya menatap pantulan dirinya sendiri dengan nanar lalu berbisik, "Tidak ada wanita terbodoh di dunia ini selain kamu, Aya! Kamu yang paling hina." Dia bermonolog.

Seketika itu pula air matanya kembali muncul dan terjun bebas melewati pipinya. Kelopak matanya kini kembali terasa panas. Soraya merutuki dirinya dalam hati. Segala macam sumpah serapah tertahan pada tenggorokannya, tidak mampu dia lafalkan dengan jelas.

Bukan Reyhan yang ada dalam benaknya saat ini, melainkan Liam. Teman berbagi suka dan dukanya, teman berbagi selimut dan ranjang yang menghangatkannya. Dia benar-benar membutuhkan Liam, bukan Reyhan.

Dengan tertatih, Soraya melangkah menuju kamar mandi. Membasahi dirinya di bawah pancuran air sambil meratapi nasibnya. Duduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya, menangis. Dalam hati dia berharap, semoga Liam tidak mengambil hati atas perkataannya tadi.

***

"Hallo, Ma? Aku malam ini nginap di rumah Erna. Kedua orang tuanya pergi keluar kota," ucap Ceril pada ibunya, Rosa, melalui sambungan telepon.

Rosa menginzinkannya dan juga memberitahukan padanya, bahwa beberapa saat yang lalu Liam datang ke rumah mencarinya.

"Oh ya? Trus sekarang masih ada di sana?" tanya Ceril.

Ibunya itu lalu mengatakan, bahwa Liam di sana menunggu anaknya hingga berjam-jam. Semenjak matahari mulai terbenam hingga menjelang larut malam.

"Trus dia ada ngomong apa aja sama Mama?" tanya Ceril lagi.

Ceril tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu, sebab Rosa pun tidak tahu, mengapa Liam mau duduk berlama-lama menunggu anak gadisnya.

"Ya udah kalau gitu, aku sama Erna mau ke mini market dulu. Bye, Ma!" Ceril segera memutuskan sambungan teleponnya.

Ceril memang sengaja mengalihkan panggilan telepon dari Liam, karena ia sudah bisa menebak bagaimana reaksi Liam begitu melihat teman wanitanya itu. Namun menurut Ceril, bukankah hal yang wajar jika ia seperti itu? Wajar dong sebagai kekasih cemburu?

"Nih, pake ini, tutupin pipi kamu." Erna memberikan sebuah masker untuk menutupi pipi Ceril yang masih nampak merah.

Dengan menggunakan motor skuter, kedua wanita itu pergi menuju sebuah mini market yang tak jauh dari wilayah rumah Erna. Rencananya, Ceril ingin membeli beberapa kaleng bir. Dia dan Erna sepakat untuk menghabiskan malam ini sambil berbincang hingga pagi menjelang, kebetulan besok tanggalan juga berwarna merah, ada libur nasional.

Mereka berdua memasuki mini market bersama, Erna melangkahkan kaki menuju rak tempat di mana berbagai macam camilan dijual. Sedangkan Ceril langsung menuju rak lemari pendingin, mencari minuman kaleng kesukaannya.

Ya, Ceril memang jago untuk urusan minum. Tak jarang dia dan Erna, beserta teman-temannya yang lain untuk pergi ke club, hanya untuk minum ataupun bersantai bersama. Apalagi club di daerah Kemang, siapa yang tidak kenal dengan Ceril, ratu dansa. Begitu kira-kira.

Saat tangan Ceril sudah menggenggam kenop lemari pendingin, sebuah tangan lainnya ikut menopang dan menarik kenop lemari pendingin tersebut. Betapa terkejutnya Ceril dan segera menoleh, mencari tahu siapa pemilik tangan itu. Seorang lelaki, tampan dan juga berdada bidang. Itu terlihat jelas dari postur tubuhnya, ditutupi selembar kaos yang dikenakannya.

"Ah, maaf!" tegur sopan lelaki itu pada Ceril, membuatnya tersenyum tipis.

Lelaki itu langsung mengulurkan tangannya, mengambil kaleng minuman bersoda lalu mengangguk pelan tanda berpamitan. Ceril masih berdiri mematung di tempatnya, menatap punggung lelaki yang semakin menjauh itu.

"Siapa, Cer?" tanya Erna tiba-tiba dari belakangnya. Dia sedikit bingung melihat temannya yang tidah biasanya terpaku diam membisu.

"Oh, nggak kenal." Ceril mengedikkan bahunya lalu mengambil beberapa kaleng bir non-alcohol dan membuatnya ke dalam keranjang yang Erna bawa.

Setelah semua yang mereka berdua perlukan sudah masuk ke dalam keranjang, mereka segera menuju ke meja kasir. Kebetulan saat itu yang menjaga kasir adalah salah satu teman Erna.

Di depan kedua wanita itu, lelaki yang sebelumnya menyentuh tangan Ceril sedang melakukan pembayarannya, membuat kedua wanita tersebut saling berbisik. Bisikan itu memicu sang lelaki untuk menoleh ke belakang lalu tersenyum.

"Loh, kalian berdua enggak clubbing?" tanya sang kasir yang bernama Roni.

"Enggak, Ron. Di rumah aja, jadi anak baik-baik dulu," celetuk Erna yang kemudian dicubit oleh Ceril.

Ceril merasa malu atas jawaban Erna, lagi-lagi lelaki itu menoleh ke belakang dan tersenyum. Mungkin ia hanya ingin memastikan jika memang benar kedua wanita di belakangnyalah yang sedang diajak mengobrol oleh sang kasir.

"Totalnya 26 ribu rupiah, Rey." Roni mengatakan jumlah belanjaan Reyhan. Ya, lelaki itu adalah Reyhan, teman Roni sewaktu kuliah.

Reyhan kemudian memberikan selembar uang berwarna biru, menyelesaikan transaksi pembayarannya kemudian berpamitan pergi pada Roni.