Chereads / Love or Lust / Chapter 22 - Sisa Dua Butir

Chapter 22 - Sisa Dua Butir

Soraya mengambil napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Dia masih ragu untuk menghubungi Liam dan mengatakan kondisinya, karena dia tahu betul bagaimana perasaan di hatinya akan ketidaktahanan dirinya dalam mengontrol pikiran kotor itu. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk kembali pergi mandi dan mengguyur dirinya dengan air dingin.

Belum sempat dia melepaskan pakaiannya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Sebuah panggilan telepon dari Liam, dia terkejut melihat nama lelaki itu muncul beserta foto profilnya. Panggilan telepon melalui aplikasi Watsap.

Seketika itu pula detak jantungnya berdegup semakin cepat, memompa aliran darahnya dengan begitu deras ke seluruh tubuh. Untuk di awal, napasnya sempat terhenti beberapa detik lalu terengah akibat ritme jantung yang tidak beraturan tadi.

Jari jempolnya ragu, antara ingin menerima panggilan itu atau mengabaikannya. Soraya mengambil napas panjang lalu sambil sekali embus, jempolnya menggeser tombol hijau untuk menerima telepon itu.

"Hallo?" ucapnya pelan dan penuh hati-hati, lalu perlahan duduk di bibir tempat tidurnya.

Kedua matanya jauh memandangi langit cerah dari luar pintu kaca balkon kamarnya. Matahari terlihat sangat bersemangat memancarkan sinarnya. Berbeda dengan semangatnya yang kembang-kempis saat itu.

Di seberang telepon sana, Liam tidak bicara banyak seperti biasanya. "Kamu di mana?" tanya lelaki itu.

Dengan perlahan, Liam membelokan kemudi setirnya memasuki basemen gedung apartemen Soraya. Begitu wanita di seberang telepon sana mengatakan jika dia sedang di kamarnya, Liam merasa lega. Bersamaan saat matanya mendapati kendaraan bermotor Soraya terparkir indah pada tempat khusus motor. Sama saat tadi pagi dia ke sini, tidak berubah.

"Bukakan pintu, aku sudah di bawah." Liam langsung memutuskan sambungan teleponnya.

Tidak sampai dua menit, langkah kaki Liam sudah membawanya tepat berada di depan pintu apartemen Soraya. Baru saja jemarinya hendak menekan tombol bel, pintu di depannya sudah bergerak terbuka ke arah dalam. Sosok Soraya muncul dari balik pintu.

"Bukannya kamu punya kunci pintu ini?" Sorata menatap lekat kedua bola mata lelaki di hadapannya.

"Iya, memang punya. Tapi aku memerlukan izin lagi untuk menggunakannya."

Mendengar jawaban lelaki itu, Soraya langsung berbalik dan melangkah masuk, membiarkan pintunya terbuka. Dengan gesit, Liam mengikuti langkah kaki Soraya memasuki sepetak ruangan yang menjadi tempat tinggal Soraya selama bertahun-tahun belakangan ini.

"Kamu baru pulang jalan ya? Padahal aku bawain makanan ini," tebak Liam yang melihat Soraya berpakaian rapi.

Wanita yang melenggang di depannya itu mengenakan celana jeans dan juga kemeja berlengan panjang berwarna putih. Liam juga melihat sebuah jaket berbahan leather tergeletak di atas sofa di ruang televisi, lengkap dengan sebuah waistbag yang sering Soraya kenakan jika sedang jalan-jalan bersamanya.

"Aku belum makan." Soraya menjawab tanpa menoleh lalu kembali berkata, "aku mau mandi."

"Oke!" jawab Liam santai, seolah kemarin malam tidak terjadi apa pun di antara mereka berdua.

Soraya langsung memasuki kamar mandinya dan tidak menutup pintu kamar. Membiarkan terbuka begitu saja. Sedangkan Liam langsung meletakkan sebuah bungkusan makanan yang ia bawa dan juga sebuket bunga mawar yang hampir layu karena sempat beberapa jam pengap di dalam mobil.

Sebisa mungkin, Liam berusaha santai dan tetap tenang menghadapi sikap dingin Soraya kali ini. Begitu pula wanita itu, dia memang sengaja tidak ingin menoleh memandangi wajah Liam sesaat sebelum memasuki kamar mandi. Padahal saat di dalam kamar mandi, tangannya langsung ditempelkan tepat di bagian dadanya, merasakan degup jantungnya yang semakin kuat dengan ritme yang tidak teratur.

"Apa yang harus aku lakukan nanti?" gumam Soraya pada dirinya sendiri.

***

Lima menit berlalu, Soraya masih betah berada di dalam kamar mandinya. Bergelut dengan pemikirannya sambil membersihkan rambutnya. Kini kepalanya terasa semakin berat dengan gejolak nafsunya yang semakin tinggi. Berkali-kali dia mencoba menguatkan diri agar tidak terbawa suasana nantinya.

Lain hal dengan Liam yang sekejap berinisiatif untuk masuk ke dalam kamar Soraya, meninggalkan sofa empuk itu dengan televisi yang masih menyala. Liam merebahkan dirinya di atas ranjang, mencari posisi terenaknya, tadi malam tidurnya terasa kurang nyenyak.

Tidak lama berselang, Soraya yang keluar dari dalam kamar mandi terkejut melihat Liam yang sudah memejamkan mata di atas ranjang ternyamannya, tetapi dia mencoba untuk mengontrol dirinya. Dia melangkah acuh tak acuh, sesekali melirik lelaki itu yang terlihat pulas.

Soraya masih mengenakan jubah mandinya, membuka lemari lalu mencari pakaian yang hendak dia kenakan. Baru saja dia mendapatkan sepasang kaos dan juga celana pendeknya tiba-tiba sepasang tangan sudah melingkari perut datarnya dan mendekap erat.

"Aku merindukan kamu," bisik Liam yang sudah menyematkan wajahnya pada ceruk leher wanita dalam dekapannya itu. Hingga handuk yang membalut rambut di kepala wanita itu terjatuh begitu saja,

"Liam ... jangan memulai," balas Soraya berbisik.

Namun, Liam malah semakin mengeratkan dekapannya, bahkan kini tangan kanannya sudah menyelip masuk ke celah jubah mandi itu, menyentuh langsung permukaan kulit bagian perut wanita itu.

Hangat, itu yang Soraya rasakan dari jemari dan telapak tangan Liam yang menyentuhnya. Seketika Soraya memejamkan matanya, merasakan gerakan kehangatan itu. Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka saling membalas kehangatan itu tetapi saat ini rasa itu benar-benar muncul dalam benak Soraya. Dia juga merindukan Liam, tetapi malu untuk mengakuinya langsung.

"Kenapa nafsu kamu nggak pernah padam?" tanya Soraya di saat lelaki ini mulau mencecap ceruk lehernya dengan lahap. Tanpa memedulikan Soraya yang berusaha mengelak.

"Karena cuman kamu yang mampu bikin aku puas ... dengan semua yang melekat pada tubuh kamu ini." Dia terus melakukan kegiatannya di sana. Sedangkan Soraya mencoba menahan sebuah gelenyar aneh yang muncul kala itu. Menahan mulutnya agar tidak meloloskan sebuah respon memalukan yang dapat membuatnya semakin liar bergerak.

Namun, Soraya selalu menikmati apa yang Liam lakukan padanya. Sentuhan yang lelaki itu berikan begitu lembut dan nyata, bukan sekedar kata-kata. Keahliannya dalam menyentuh serta memanjakan tubuh, membuat Soraya terbang melayang, melupakan sejenak persoalan dirinya yang begitu pelik. Soraya sungguh menikmatinya.

Liam tidak mau diam, ia terus menjamah perlahan tubuh mulus Soraya hingga akhirnya wanita itu luluh juga. Liam berhasil membuat wanita dalam kungkungannya melenguh sesekali hanya dengan cecapan dan sentuhan jemarinya. Dan tanpa kata, Liam mencoba menggiring Soraya hingga ke atas ranjang, membuat wanita itu dengan suka rela menyerahkan tubuhnya.

Kini Liam sudah berada di atas wanita itu, mencecap bibir ranum yang manis dan selalu berhasil menggodanya. Liam sungguh tergila-gila dengan tubuh temannya yang satu ini. Bukan karena putih mulus, tetapi karena lekukan yang dihasilkannya saat Liam menyapu bersih tubuh itu. Membayangkannya saja sudah membuat Liam bernafsu, apalagi menikmatinya seperti saat ini.

Perlahan Liam menarik tali jubah yang Soraya kenakan, dengan kedua bibir mereka yang masih menempel. Kini Soraya sudah mulai membalas setiap gerakan bibirnya. Ada sedikit senyuman yang mengembang pada kedua sudut pipi Liam, ia senang, sebab sepertinya Soraya sudah melupakan kejadian menyebalkan tadi malam.

Lelaki itu benar-benar memanjakan Soraya, sungguh membuat Soraya mabuk dan memejamkan matanya lebih rapat. Mulut wanita itu terus meracau pelan dengan jemarinya yang sudah menyelip masuk ke sela rambut belakang Liam. Dan gerakan itu membuat Liam semakin bergairah.

Benar kata orang, jika gairah sudah membara maka amarah sebesar apa pun akan segera mereda, tersirami dengan api asmara. Seperti kedua insan manusia ini, yang melupakan emosi bahkan tujuan hidupnya hanya untuk mereguk madu dalam manisnya kenikmatan sekejap.

"Kenapa kamu selalu begini? Aku nggak sanggup kalau begini terus ...," ucap wanita itu lirih. Kedua matanya masih terkatup rapat, tetapi tidak dengan sang pria, Liam memandangi wanita di bawahnya itu dengan seksama. Selalu seperti itu.

Bahkan Liam hanya sesekali mengedipkan matanya, agar tidak perih. Sebab ia tidak ingin melewatkan pemandangan di depannya, walau hanya sekejap. Dan mulai saat itu, ia menyadari bahwa dirinya tidak bisa jauh dari Soraya. Wanita itu sungguh bisa menekan amarahnya, menghentikan rasa kesalnya bahkan wanita itu selalu membuatnya puas.

Bukan karena di atas ranjang, tetapi hanya karena ekspresi wajahnya. Liam benar-benar hanyut dalam permainannya sendiri.

***