Liam melemparkan kunci mobilnya dengan kesal ke atas kasur. Bersamaan dengan tubuhnya yang juga sengaja ia hempaskan ke sana. Dirinya begitu kesal, geram bahkan menggerutu sejak dirinya keluar dari mobil hingga kini memejamkan kedua matanya.
Berkali-kali Liam mengembuskan napasnya dengan kasar. Berharap dengan embusan itu, pikirannya menjadi lebih tenang tetapi, nyatanya dia salah. Otaknya malah semakin terasa pening. Jantungnya pun berdetak tidak beraturan, sungguh perasaan yang aneh.
Tangannya kini merogoh saku celana, mengambil sebuah benda tipis elektronik berwarna hitam yang lumayan canggih dan berkelas, AiPhone. Ia membuka kedua kelopak matanya, menatapi layar benda tipis itu dengan seksama. Kedua jempolnya sudah dengan lincah menekan-nekan sesuatu pada layarnya. Mungkin dia sedang memeriksa sesuatu pada ponsel itu.
Bukan, Liam bukan sedang memeriksa, melainkan sedang merangkai beberapa kalimat yang ada dalam pikirannya. Rencananya ia akan mengirimkan kalimat tersebut kepada Soraya, tetapi urung ia lakukan. Kini jempolnya malah dengan cepat menekan tanda delete pada papan huruf yang muncul otomatis.
Liam ragu mengirimkan pesan pada Soraya, padahal ia berniat untuk meminta maaf karena kelancangannya dalam berkata-kata. "Dasar goblok! Bego! Tolol! Ngapain ini mulut jadi lancar banget gitu sih? Nggak sopan!" Liam merutuki dirinya sendiri lalu menjauhkan ponsel itu dari pandangannya, tetapi tetap dalam genggaman tangannya.
Sekali lagi ia mengembuskan napas dengan berat, kemudian larut dalam jutaan pemikirannya sendiri sambil memejamkan mata.
***
Reyhan memasuki mobilnya, lalu membuka minuman kaleng yang baru saja ia beli. Sambil menelan isi minuman bersoda itu, kedua matanya sibuk memerhatikan seorang wanita yang masih berada dalam mini market. Tepat di depan meja kasir bersama teman wanitanya.
Salah seorang wanita yang tadinya sempat dengan sengaja ia sentuh tangannya saat membuka lemari pendingin. Reyhan masih ingat betul bagaimana ekspresi sang wanita tersebut. Bingung sekaligus malu, membuat Reyhan terkekeh geli saat mengingatnya.
"Oh iya, Roni 'kan kenal sama mereka berdua." Reyhan bermonolog.
Kedua matanya masih lekat memerhatikan kedua wanita yang belum dikenalnya itu. Kemudian dia kembali keluar dari mobil begitu melihat kedua wanita itu selesai melakukan transaksi pembayarannya.
"Hai, temennya Roni ya?" tegur Reyhan santai saat kedua wanita itu keluar dari mini market.
Siapa lagi kedua wanita yang dihadang Reyhan itu kalau bukan Erna dan Ceril. Mereka berdua serempak menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Reyhan. Kebetulan Erna memarkirkan kendaraan bermotornya tepat di samping mobil Reyhan, membuat sang lelaki itu lebih mudah untuk menyapa.
"Rumahnya deket sini ya?" tanya Reyhan lagi.
Begitulah Reyhan, lelaki playboy cap tengil. Pertanyaan tak bermutu pun mampu ia ucapkan dengan percaya dirinya. Dan hanya dengan pertanyaan itulah, Ceril merasa hatinya merasakan perasaan yang aneh. Sepertinya Ceril merasakan getaran yang berbeda.
"Iya, deket sini." Ceril menyahuti sambil meletakan kantong belanjaannya pada motor Erna. Sedangkan wanita yang satu itu sibuk mencari kunci motornya yang entah berada di mana.
"Kenapa?" celetuk Reyhan yang menyadari jika Erna terlihat agak panik saat ini.
"Kunci motornya ... aku lupa di mana meletakkannya!" Erna mulai benar-benar panik. Kedua tangannya sejak tadi terus mencoba meraba kantong celananya lalu membuka tas waistbag-nya.
"Loh, tadi bukannya kamu kantongin, Na?" Ceril mulai panik.
"Enggak ada, Cer!"
Erna terus mencari sampai akhirnya dia membongkar isi tasnya, tetapi tetap saja kunci itu tidak ditemukan. Bulir-bulir keringat dingin sudah muncul di kening dan beberapa bagian lain pada Erna. Dia mulai terlihat frustasi, hingga Reyhan berinisiatif menawarkan untuk mengantar mereka pulang.
"Bagaimana kalau aku yang antar kalian pulang? Sementara motornya titipkan Roni dulu, kamu punya kunci cadangan, 'kan?" tanya Reyhan pada Erna.
"Iya, rasanya aku punya. Tapi mungkin harus aku cari dulu di rumah." Erna memberi alasan.
Ceril sempat menolak niat Reyhan untuk mengantarkan mereka pulang, sedikit berdebat dengan Erna. Walaupun pada akhirnya Ceril pasrah lalu Erna menitipkan motornya ada Roni, untuk diambil ke esokan harinya.
Dalam perjalanan, mereka bertiga hening. Tidak berkata apa-apa. Ceril yang duduk di depan, di samping Reyhan merasa risih. Sedangkan Erna yang duduk di belakang sesekali dia tersenyum tipis melihat temannya itu.
Bagaimana Erna tidak tersenyum jika melihat temannya itu menjadi salah tingkah? Ya, Ceril memang terlihat sedang salah tingkah saat ini. Tidak biasanya wanita itu menjadi lebih pendiam dan kesannya sedang menjaga image-nya.
"Oh, iya, kenalkan, namaku Reyhan," ucap Reyhan sembari mengulurkan tangan kanannya pada Ceril. Dengan tangan kirinya yang masih memegang kemudi setir.
"Oh, aku Ceril. Dan dia Erna." Ceril menyahuti malu-malu lalu menjabat tangan lelaki yang baru saja dikenalnya. Sedangkan Erna hanya menyahut dengan sapaan, tetapi tidak berjabat tangan.
"Ngomong-ngomong, makasih ya udah mau direpotin nganter ke rumah." Ceril kembali membuka suara, lalu menoleh pada Reyhan.
Lelaki itu hanya menoleh sekilas lalu tersenyum tipis. Kemudian Erna segera menunjukkan arah jalan menuju ke rumahnya. Sesekali Ceril menoleh, menatap wajah Reyhan di bawah cahaya remang lampu jalanan. Dia merasakan jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya. Aneh tetapi dia berusaha untuk tetap tenang.
"Makasih ya," ucap Erna saat Reyhan meangkatkan kantong barang belanjaannya hingga ke depan rumah.
"No problem." Reyhan mengembangkan senyuman terbaiknya. Tidak banyak kata yang diucapkan setelahnya, Reyhan langsung berpamitan untuk pulang.
Dalam perjalanan pulang, entah mengapa jiwa playboy Reyhan kembali muncul. Dengan sengaja, Reyhan kembali mendatangi Roni di mini market, tempat awal mula ia bertemu dengan Ceril.
"Ron, dua cewek tadi temen elu, 'kan?" tegur Reyhan to the point saat sudah berada di depan meja kasir temannya.
Roni menatap Reyhan dengan wajah yang bingung, merasa aneh dengan pertanyaan temannya yang satu itu. Roni hanya menjawab dengan anggukan kepalanya.
"Elu punya nomer teleponnya? Tadi gue lupa minta." Reyhan menggebu.
"Jangan macam-macam deh, Rey!" hardik Roni sambil berlalu. Lelaki yang satu ini sangat mengetahui bagaimana perilaku temannya.
Roni mengerti maksud Reyhan yang ingin mendekati kedua wanita tadi. Roni memang tidak terlalu akrab dengan Ceril dan Erna, hanya saja, ia memang memiliki nomor telepon Erna. Karena dulu, Erna pernah meminta nomornya dan bertukar pesan, untuk menanyakan beberapa produk di mini marketnya.
"Gue cuman mau kenalan aja," jawab Reyhan memelas, membuat Roni sedikit jengah dengan temannya itu.
Bukan hanya sekali ini saja Reyhan meminta bantuan Roni untuk berkenalan dengan para wanita. Sudah hampir tidak terhitung jumlahnya. Begitu pula dengan Soraya, pertama kali Reyhan melihat Soraya waktu itu juga di mini market ini. Hanya saja, Reyhan berusaha sendiri mendekatinya karena Roni tidak mengenal Soraya.
"Dulu-dulu juga begitu. Alasan lu selalu aja buat kenalan, ujung-ujungnya pasti lu pacarin trus lu cicipin." Roni mulai blak-blakan.
"Ssstt, lu jangan hancurin pasaran gue dong! Sekali ini aja, Ron!" Reyhan memelas sambil mengikuti ke mana pun langkah kaki Roni bergerak.
Reyhan terus saja memelas pada Roni, mengeluarkan berbagai cara agar bisa mendapatkan salah satu nomor telepon wanita yang diincarnya. Setelah beberapa kali memohon dan membuntuti Roni, akhirnya pertahanan itu runtuh juga.
"Ayolah, Ron. Sekali ini saja."
"Iya iya, oke! Gue cuman punya nomor Erna, lu mau nomor dia?"
Sejenak Reyhan berpikir, lalu menerima nomor yang diberikan oleh Roni. Karena ia pikir, ia bisa mendapatkan nomer Ceril dengan bertanya kepada Erna.