Chapter 46 - Aku

"Aku adalah orang biasa yang lahir di sebuah desa kecil. Aku memiliki beberapa saudara. Namun, kau tahu aku adalah salah satu yang tidak diperjuangkan. Mungkin karena aku adalah alasan mengapa ayahku terpaksa menikahi ibuku.

Aku beruntung mengenal Tuhan secara pribadi. Aku berjuang untuk mendapatkan pendidikan dengan mengerjakan semua pekerjaan yang bisa aku lakukan. Tak peduli itu pekerjaan kasar maupun halus. Sayangnya, uang yang aku dapatkan tetap saja terbatas. Aku hanya mempu mengenyam pendidikan di unversitas dengan biaya murah.

Sebenarnya aku berharap seseorang menolongku, namun kenyataan berkata lain dan memaksaku untuk tak mengharapkan siapa pun. Semua orang hanya peduli pada masalah mereka bukan masalah kita. Saat aku lihat bagaimana orang tuaku berjuang untuk pendidikan anak-anak mereka yang lain, aku sakit hati dan hanya bisa menangis.

Suatu hari aku meminjam buku dari seorang saudara. Ia bilang, bukunya harus dalam keadaaan baik dan tidak bercacat setelah aku pinjam. Ia memberi sampul agar tanganku yang kotor tak menodai buku-buku tersebut. Sebenarnya aku muak dengan kata-kantanya. Ingin aku lemparkan dan aku buang ke tong sampah buku-buku itu. Tapi, Tuhan membisikan agar aku membawanya pulang dan bersikap tetap manis.

Di rumah buku itu hanya tergeletak rapi selama satu tahun tanpa pernah aku sentuh sedikit pun.

"Hmmmm", Ficaso berdeham.

"Bagaimana dengan saudara yang lain?"

"Aku tak mengenal mereka. Aku sangat menyedihkan bagi mereka. Lihatah wajahku, aku tak tampak seperti mereka yang bemata sipit dan pucat. Ditambah, aku ini hanya anak yang berjuang ntuk mendapatkan sekolah dengan bekerja siang malam. Apa yang bisa dibanggakan dariku?"

Jacob mengamat-amati wajahku. "Kau terlihat cantik karena wajahmu berbeda"

"Terimakasih Jacob. Aku mulai bisa menerima bahwa aku berbeda sejak aku menyelesaikan pendidikanku. Aku tak lagi menyalahkan wajahku yang tak pucat. Tuhan seperti memberitahuku, wajah ini yang membawaku diterima di sebuah sekolah asing. Dari situlah hidupku mulai membaik.

Sayang, tempat itu ternyata memiliki seorang direktur wanita yang bengis. Sang suami adalah seorang pengusaha kaya raya. Ia menghadiahkan sekolah itu untuk istri tercintanya sebagai boneka. Ia memperlakukan kami dengan sangat kejam. Satu dua bulan selalu saja ada yang kabur dari tempat itu karena tak tahan.

Ia adalah seorang wanita cantik yang hanya bisa baik kepada media dan orang-orang yang meguntungkannya.

Suatu hari terjadilah krisis. Suami si direktur tiba-tiba mengalami kebangkrutan luar biasa. Saham mereka anjlok hanya dalam semalam. Sekolah tak lagi menerima bantuan dari perusahaan-perusahaan itu.

Defisit angggaran terjadi. Dalam keadaan bangkrut,direktur wanita memaksa kami bekerja tapa gaji sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Aku geram dan menemui suami dari pemilik sekolah itu. Aku mengadakan taruhan besar kepadanya.

Jika aku bisa mendapatkan banyak investor, aku ingin istrinya dipecat dari sekolah dan sekolah itu beralih tangan darinya.

Dalam keadaan bangkrut tentu saja, laki-laki itu menyetunjuinya. Lagi pula, sekolah itu menjadi satu-satunya sumber kehidupan mereka yang tersisa.

TAku berhasil mendapat banyak investor. Sekolah itu selamat. Sekolah itu beralih dibawah kendaliku kepadaku. Sebagai ganti, aku harus menyerahkan sejumlah uang dari investor kepada mereka. Semua baik, sampai kejadian Fianka menimpa ku.

"Aku turut menyesal."

Aku menggeleng, "Aku tak pernah menyesal Jacob. Meskipun orang tuaku tak baik, aku tetap menghormati mereka. Aku tetap mengirimkan sejumlah uang kepada mereka. Meski mereka tak pernah bertanya, aku dimana dan apa yang aku kerjakan.

Aku juga tak memiliki dendam pada mereka sama sekali. Bagitu juga dengan mantan direktur yang menyiksa kami. Aku sudah memaafkan semunya. Karena dengan begitu Tuhan akan membuka jalan bagi kita."

Jacob menghela nafas membenarkan perkataanku. "Bagimana dengan manta kekasihmu yang bernama Carl itu?"

"Carl bukan kekasihku. Ia menyukaiku, tai aku tak menyukainya. Hari tu, ia pergi dan tak pernah kembali. Menurut berita, pesawat yang ia tumpangi meledak dan semua meninggal. Ibunya beserta keluarga besarnya membenciku karena akulah yang memintanya pulang ke Indonesia. Siapa sangka ia selamat. Seorang wanita menyelamatkannya. Wanita itu adalah dalang dari peristiwa pembajakan pesawat. Ia menjadi suami dari wanita itu dan sepertinya memutuskan mengabdi pada oraganisasi mereka"

"Wanita itu merebutnya darimu?"

Tanpa sadar, Ficaso sudah berada disisikku dan memengang keningku.

"Sangat dingin. Dia mulai kehilangan kesadaran."katanya pada Jacob.

"Tenanglah, aku baik-baik saja."

Di sisi lain, Bayi kecil yang Arna gendong mulai menangis.

"Kita tak punya susu formula untuk anak ini.", kata FIcaso. Mendengar hal itu, aku diam-diam menyesal telah mengeringkan semua ASI ku.

Ficaso menggedor-gedor pintu. "Ini sangat tebal. Kita harus temukan cara, agar penjaga di depan merespon kita dan membuka pintu ini."

Aku semakin lemah.

Tuhan jika ini akhir dari hidupku, aku tak menyesel sama sekali. Sebaliknya, aku berterima kasih. Aku mendapatkan pengalaman hidup yang jauh lebih menarik dari yang lain.

Ficaso mendekat perlahan dengan menahan sakit di lengannya. Ia meletakkan jari-jari memerikasa keningku. "Dingin!" Sahutnya. Ia menyingkapkan tangan ku dari perut.

"Sakit?" .

Aku menggeleng. Ia tahu aku berbohong. Wajahku terlalu pucat. Aku semakin tidak merespon pada pertanyaan -pertanyaan kecil yang di ajukannya. Ia memperhatikan nafasku yang semakin berat.

"Dehidrasi! Mungkin pendarahan dalam juga!..Oh My God, you gonna be die!" teriaknya pada Arna setelah melihat bekas jahitan di perutku.