Chereads / Introvert Boss & Mad Secretaries / Chapter 4 - Anak Baru & Cinta

Chapter 4 - Anak Baru & Cinta

Suasana pagi di kelas sebelas sudah ramai dengan para siswa dan siswi yang sudah berdatangan. Arvita dan Mira masih sibuk membicarakan beberapa soal kimia yang membuat mereka sedikit berdebat memikirkan jawaban apa yang benar.

Wali kelas mereka sekaligus guru kimia, Bu Ida masuk dengan pembawaan yang berwibawa. Tapi ada pemadangan yang berbeda dari biasanya, Bu Ida tidak datang sendiri. Seorang laki-laki dengan paras yang tampan mengikuti langkahnya.

Para siswi dan siswa berdecak kagum, anak laki-laki dengan tubuh tinggi dan proporsional ditambah dengan wajah blasteran yang terlihat jelas. Bahkan rambutnya pun berwarna cokelat gelap, dan hidungnya yang kelewat mancung, bagaikan menara sutet.

Tapi ada yang aneh dengan pandangan anak laki-laki tersebut terlihat datar, dingin, angkuh. Ditambah dengan wajahnya yang terlalu dewasa.

Kali ini ia sudah berdiri di depan kelas, entah apa yang dilihat olehnya. Arvita hanya bisa melihat sebuah sikap acuh dan tidak peduli yang ditunjukkan oleh pria tersebut.

"Anak-anak, Selamat Pagi." Sapa Bu Ida dengan ramah seperti biasanya, sontak semua muridnya membalas sapaan guru kimia tersebut.

"Ibu mau perkenalkan siswa baru di kelas kita, perkenalkan namanya Benjamin Armand Dirk Eugenius." Jelas Bu Ida, dan tampak sulit mengucapkan nama dari si anak baru.

"Panggil saja Armand.. ya kan Armand?" Bu Ida tersenyum terlalu lebar, tapi tidak lama menutup senyumnya karena Armand hanya terdiam dan berdeham pelan.

Langsung saja semua murid di kelas menjadi sibuk dan berbisik-bisik, Armand tampak diam dan tidak menyapa. Semua murid masih saja memandanginya, dan masih terus berharap bisa mendengarkan suara anak murid baru tersebut.

"Armand? Kamu bisa sapa teman baru kamu, silahkan." Ucap Bu Ida, melirik ke arahnya. Armand hanya sedikit menaikkan dagunya, tiba-tiba saja terjadi keheningan dan semua mata menatap padanya.

"Halo.. semua.." Ucap Armand datar, dan suaranya terdengar amat berat.

Bu Ida hanya bisa tersenyum aneh melihat sikap Armand. "Anak-anak, Armand sebelumnya tinggal di luar negeri. Jadi Ibu harap, kalian bisa bantu Armand untuk penyesuaian ya, Dan nak Armand kamu jangan malu untuk bertanya dengan saya atau teman-teman baru kamu."

Lagi dan lagi... Armand tidak menunjukkan ekspresi apapun, masih tampak tidak peduli dengan semua penjelasan Bu Ida.

"Armand, kamu bisa duduk di bangku yang kosong di sana." Ucap Bu Ida menunjuk ke arah belakang kursi Arvita dan Mira. Armand pun dengan santai langsung berjalan ke arah tempat duduknya, padahal semua mata masih saja melihat padanya terutama para siswi wanita.

Kantin SMA 01X sudah terlihat sangat ramai, Arvita sudah membeli banyak makan siang yang sudah ia letakkan di atas mejanya. Mira hanya membawa beberapa buah dan sekotak susu.

"Lo yakin cuman makan itu doang Mir?" Tanya Arvita memandang aneh makan siang temannya.

Mira mengangguk, dan mulai memakan potongan buahnya. "Gue lagi diet.. kemarin abis makan bakso pak kumis. Berat badan gue langsung naik sekilo." Ucap Mira mendramatisir keadaannya.

"Nyiksa banget sih Mir, cuman naik sekilo aja langsung diet." Sindir Vita.

"Hhh... kalau gue kaya lo. Makan banyak tapi gak naik berat badan. Gue juga mau." Balas Mira. Dan Arvita hanya membalas dengan memutar bola matanya.

"Eh.. liat tuh anak baru. Dia duduk sendirian aja disana. Cakep sih, tapi kok kayanya sombong ya." Ucap Mira menunjuk ke arah belakang Arvita.

Arvita langsung sedikit menoleh, makanan masih memenuhi mulutnya, hanya terdengar suara gumamman yang tidak jelas.

"Ha??" Mira yang tidak mengerti apa ucapan Arvita, hanya bisa terdiam dan masih saja Arvita bergumam dengan mulut yang penuh dengan makanan. Vita pun mengambil air mineral, dan meminumnya dengan cepat.

"Maksud gue, bukan urusan gue." Jawab Arvita singkat, dan kembali dengan makanannya.

"Ngomong-ngomong, lo udah kerjain proposalnya? Tugas dari Bu Ida minggu kemarin."

"Udah, tinggal dikumpulin aja. Lo sendiri?" Mira balik bertanya.

"Udah dong... Kirain lo belum. Kalau ada yang kurang jelas, tanya aja ke gue." Uval Arvita sedikit menyombong.

"Eh.. tapi aneh gak sih?" Mira masih saja menatap ke arah Armand, dan Mira semakin mendekatkan wajahnya ke arah Vita.

"Apa yang aneh?" Vita pun ikut memajukan wajahnya memandangi wajah Mira dengan amat dekat,

"Kenapa? Bedak lo ketebelan ya?" Tebak Arvita asal saja.

"Arrggh Vit, bukan soal gue!! Maksud gue anak baru itu!"Ucap Mira kesal, dan langsung saja memegangi pipinya.

"Mmm... masih aja bahas dia?"

"Kenapa dia harus masuk SMA kita, kenapa dia gak pilih aja sekolah swasta. Liat deh, dari penampilannya aja. Keliatan banget anak borju kan. Terus kok kayanya usianya gak sepantaran gitu ya? Apa karena dia bule kali ya? Lo tau kan kalau di film-film barat. Cowo sama cewenya kelihatan lebih tua.... belum lagi...." Ucap Mira dengan panjang dan lebar.

Sudah hampir dua menit Mira berceloteh panjang, dan Arvita sudah mulai bosan mendengar cerita temannya tersebut.

"Ihh...STOP!!! itu bukan urusan gue. Dan gue juga gak mau tau soal..." Arvita terhenti dari perkataannya, matanya tidak lagi memandangi wajah Mira.

Matanya memandang seseorang yang berada dibalik punggung Mira. Mira yang sadar langsung saja ikut menoleh ke belakangnya, pipi Mira langsung merona merah.

Bagaimana tidak, Fadli pria idaman Mira sudah berdiri di belakangnya. Fadli memandang Mira dan Arvita bergantian.

"Fadli? Eh.. ada apa?" Mira mengucapkan dengan tergagap, bahkan tanpa ia sadari ia mulai merapikan rambutnya yang sebenarnya sudah sangat rapi.

"Hai... Maaf ya. Gue harap gue gak ganggu kalian berdua." Ucap Fadli, siswa populer dengan keahlian basketnya yang memukau para siswi SMA 01X.

"Enggak.. engak kok." Mira mengucapkan dengan lantang, membuat Arvita sedikit geli dan terheran melihat reaksi temannya yang terlalu berlebihan. Fadli memegangi punuk lehernya, dan dari raut wajahnya tampak malu untuk mengatakan sesuatu.

Arvita yang sadar, bahwa dia hanyalah sebuah obat nyamuk. Langung saja bangkit dari kursinya, dan mulai membawa nampan makanannya.

"Mir, gue pindah sebentar ya. Kalian berdua aja ngobrolnya, biar lebih leluasa." Ucap Arvita. Mira pun tersenyum lebar, dan dalam hatinya ia sangat menyetujui keputusan temannya. Kapan lagi dia bisa berdua dengan Fadli, siswa yang sudah lama ia sukai.

"Tunggu Vit!!" Ucap Fadli tiba-tiba. Mira dan Arvita langsung memandangi Fadli dengan bingung. "Gue mau ngomong sama lo Vit, lo ada waktu gak? Sebentar aja." Tanya Fadli tampak malu.

"Gue? Tapi.. tapi.. bukannya lo mau ngomong sama Mira ya?" Arvita balik bertanya, sepotong ayam masih menempel pada mulutnya. Membuat pertanyaannya seperti mengambang dalam udara.

"Mira? Hah...? Enggak kok, gue mau ngomong sama lo Vit. Please.. gue mohon, sebentar aja kok." Fadli menunjukkan wajah memelasnya.

Arvita dan Fadli, sudah berada di belakang sekolah. Sebuah ruang kosong yang dulu digunakan sebagai ruang laboratorium, dan saat ini ruang tersebut sudah tidak digunakan.

Beberapa peralatan sekolah yang sudah tidak digunakan, banyak tergeletak tidak terurus. Ruangan tersebut tempat yang pas untuk Fadli agar bisa berbicara lebih intim pada Arvita.

"Jadi?? Apa yang mau lo omongin sama gue? Bahkan Mira saja, gak bisa ikut sama gue?" Tanya Arvita, dan ia tidak nyaman dengan situasinya saat ini. Karena hanya ada dia dan Fadli dalam ruangan tersebut.

"Vita, gue.. gue mau bilang. Kalau selama ini gue menyimpan rasa sama lo. Perhatian yang lo kasi selama ini.."

"Tunggu... Apa?? Perhatian?? Ahh.... lo salah paham selama ini."

Arvita kembali mengingat, Mira yang tidak berani dan meminta tolong pada dirinya agar mengirimkan barang untuk Fadil.

"Fadli lo selama ini tau kan, gue ini hanya kurir!! Perantara!! Selama ini gue hanya menyampaikan apa yang Mira siapin buat lo. Dari barang, makanan itu semua dari Mira!! Dan lo tau itu kan." Vita mencoba memperjelas.

"Iya gue tau Vita, tapi gue gak ada perasaan apapun sama Mira. Kalaupun semua pemberian itu Mira yang kasi, tetep gue gak ada perasaan sama sekali sama dia. Karena gue udah suka sama lo dari kelas sepuluh." Fadli memperjelas dan meraih tangan Vita.

"Ahh?? Enggak! Ini sama sekali gak bener. Mira suka sama lo Fadli!" Bantah Arvita.

"Dan lo Vita? Lo suka kan sama gue?" Fadli masih saja tidak melepaskan tangan Vita.

"HH??? Kenapa lo bisa berpikir sampai kesitu Fad? Gue gak suka lo Fadli, dan gue harap lo bisa lebih milih Mira yang jelas sudah suka sama lo." Ucap Vita, dan melepaskan paksa genggaman tangan Fadli.

Arvita pun sudah membalikkan badannya, dan sudah ingin cepat berlari ke arah luar ruangan.

"Vita!! Kalaupun lo nolak gue!! Gue juga gak bisa terima Mira. Karena gue juga gak cinta sama dia!!" Teriak Fadli cukup kencang. Vita sudah membuka pintu lab, baru saja ia melangkahkan beberapa langkah kakinya untuk keluar.

Sampai ia tersadar dan melihat Mira yang sedang berdiri di balik tembok ruangan tersebut.

"Mira??"

Hanya kata tersebut yang bisa Arvita ucapkan, ia sudah bingung harus menjelaskan apa pada temannya. Harusnya Mira tidak perlu mengikuti mereka berdua.

Harusnya Mira juga tidak perlu mendengar ucapan dan pernyataan cinta Fadli. Mata Mira sudah berkaca-kaca, wajahnya memerah dan tangannya sudah ia kepal dengan erat.

"Mir.. Mira..." Panggil Arvita ragu dan amat pelan, tidak lama Fadli pun ikut keluar dari ruangan. Dia pun sama terkejutnya dengan Vita, melihat Mira yang sudah berdiri di depan ruangan.

Sesaat Mira menatap Fadli dan Arvita, dengan tatapan penuh kebencian dan amarah. Setelahnya Mira pun langsung berlari meninggalkan mereka berdua. Fadli menarik tangan Arvita, seakan ingin menahan Arvita untuk tidak mengejar Mira.

"Vita, biarin aja Mira. Biar dia tau, jadi kamu gak perlu merasa terbebani ataupun gak enak. Kamu nolak aku, karena kamu gak enak kan sama Mira."

"Lo udah GILA YA FADLI!!"

Ucap Arvita lantang dan dengan kasar melepas genggaman Fadli. Vita pun langsung pergi meninggalkan Fadli, dan terus mengejar Mira yang juga sudah berlari dengan cepat.

Arvita terus meneriakkan nama temannya, tapi Mira sudah lebih cepat menghilang diantara kerumunan siswa siswi.

Arvita terus berjalan dengan cepat hingga depan kelasnya, masih terus mencari-cari. Disaat yang bersamaan terdengar suara bel masuk, menandakan jam istirahat yang sudah berlalu.

Arvita membalikkan tubuhnya, dan berharap bisa mencegat Mira yang mungkin akan masuk kedalam kelas. Melangkah mundur hingga tanpa sengaja dirinya menghantam seseorang dengan keras.

Ia merasa dirinya didorong dengan keras oleh sosok yang baru saja bertubrukan dengan dirinya, ia pun terhempas dan mendarat dengan keras di lantai koridor sekolah.

Arvita mengerang sakit karena tersungkur dengan cepat dan cukup keras, Merasakan lututnya yang sedikit perih dan terluka karena menghantam lantai yang keras. Ia pun dengan susah payah berhasil bangkit seraya membersihkan dan merapikan seragam sekolahnya.

"Ahh... Gak perlu didorong sampai sebegitunya kali.." Keluhnya kesal.

Arvita pun tersadar ia menabrak seorang siswa, dan siswa tersebut ternyata si anak baru yang berada di kelasnya. Menatapnya dengan pandangan dingin, datar dan aneh.

"Maaf ya.. Tadi gue gak sengaja. Lo gak kenapa-kenapa kan?" Tanya Arvita dengan bingung, bukankah dia yang terjatuh. Armand hanya terdiam, pandangannya yang tajam seperti memperlihatkan keengganan untuk membalas ucapan Arvita.

Armand langsung saja berlalu tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan masuk ke dalam kelas. Vita hanya mendengus kesal, dan berusaha tidak peduli. Mira sudah berada pada tempat duduknya, dan masih mengacuhkan dirinya yang berusaha mendekatinya.

"Mir, gue bisa jelasin semuanya. Gue..."

"VIT. CUKUP!!!" Mira berteriak dengan lantang, langsung seisi kelas menjadi sunyi dan mereka berdua menjadi pusat perhatian. "Ini waktunya kita belajar, dan gue lagi gak mau diganggu."

"Ok, Mir. Tapi lo gak perlu teriak kaya tadi kali Mir." Jawab Arvita pelan, dan ia pun menjadi kesal dengan tingkah laku temannya.

Arvita dan Mira, walaupu mereka satu meja. Tapi hari itu mereka berdua lebih banyak diam, tidak ada sapaan atau candaan seperti biasanya.