Menjadi tulang punggung keluarga bukanlah hal yang mudah untuk gadis seperti Cecil. Dulu dia terbiasa hidup enak. Mau apa-apa tinggal bilang ke ayah atau ibunya. Sekarang semuanya harus dia lalui dengan kerja keras. Cecil memulai hari ini dengan senyum yang mengembang cerah. Baginya hidup tidak melulu mengenai harta dan harta tidak melulu tentang uang.
Jika dulu Cecil anti sosial, maka semenjak ditinggal oleh ayahnya, hidup gadis itu harus semakin berkembang. Cecil banyak bertemu dengan orang-orang baru. Membuatnya terbiasa berinteraksi dengan mereka.
"Ce, nanti aku izin siang ya. Ada acara keluarga."
Cecil hanya mengangguk saja. Baginya pekerjaan ini cukup membantu untuk menambah uang demi pengobatan ibunya. Harta yang dulu keluarga Cecil miliki perlahan surut karena biaya pengobatan sang ibu tidaklah murah. Bahkan beberapa kali Kinan ikut membantu membayar. Meski awalnya Cecil menolak, namun Kinan memaksa. Kesehatan ibunya jauh lebih penting saat ini.
"Halo?" Cecil mengangkat panggilan dari nomor baru yang masuk ke ponselnya.
"Iya, saya. Mbak siapa?" tanya Cecil saat seseorang di seberang sana menanyainya.
"Saya nggak bisa sekarang, Mbak. Saya sedang bekerja."
Panggilan terputus ketika seseorang di seberang sana mengatakan akan menunggu Cecil sehabis bekerja.
Dahi Cecil mengerut, pasalnya suara yang tadi menelponnya tidak asing. Tapi Cecil juga tidak bisa menerka-nerka.
***
"Capek ya?"
Cecil menggeleng. "Enggak kok. Nyari uang menyenangkan kalo kita ikhlas." ucap Cecil membuat ibunya tersenyum lembut.
"Nggak nyangka ya anak manja Ibu dan Ayah ini bisa mandiri juga." ujar ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Bu, hidup terus berlanjut. Kita nggak bisa selalu bergantung pada apa yang kita punya saat ini. Dari pengalaman keluarga, aku belajar bahwa apa yang kita miliki tidak ada yang abadi."
"Maafkan Ibu ya, Kak, karena jadi beban buat kamu."
Cecil kembali menggeleng. "Ibu bukan beban buat aku. Ibu adalah tanggung jawabku sekarang. Udah ah, melow mulu. Ayo makan."
Cecil mulai menyuapi ibunya dengan telaten. Wanita paruh baya itu makan dengan lahap membuat Cecil senang. Ibunya makan bukan karena lapar. Wanita itu hanya ingin mengurangi sedikit rasa lelah putrinya walau hanya dengan makan lahap. Karena melihat senyum di bibir mungil Cecil adalah hal terindah bagi ibunya.
"Kamu juga makan, Kak."
Cecil mengangguk, "Ibu duluan."
Setelah selesai dengan makanan untuk ibunya, Cecil juga mulai memakan makanannya. Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. Pikiran Cecil kembali menerawang pada kejadian beberapa menit yang lalu. Di mana ada seorang perempuan yang sangat Cecil kenal. Perempuan yang pernah membuatnya salah paham pada kekasihnya, Bara.
Menghela napas, Cecil memakan makanannya dengan lahap. Dia lapar setelah seharian bekerja. Menjadi kasir di salah satu minimarket di depan komplek perumahannya memang cukup membantu. Namun Cecil sering kali kelelahan karena kadang harus menggantikan shift kerja temannya. Bukannya Cecil sok baik, hanya saja dia orang yang tidak tegaan saat ada seseorang yang memohon bantuannya.
Ponsel Cecil berdering, nama Bara tertera di layarnya membuat senyum Cecil mengembang.
"Angkat." kata ibunya yang diangguki Cecil.
"Halo, Mas..."
"..."
"Udah, ini baru aja selesai makan sama Ibu. Kenapa?"
"..."
"Nggak ngerepotin?"
"..."
"Yudah kalo gitu. Mas hati-hati."
Bara mengabari ingin ke rumah Cecil untuk makan bersama. Padahal gadis itu sudah selesai makan, namun dia tidak menolak karena Bara ingin ditemani makan oleh Cecil saja kalau begitu.