Setelah Bara selesai dengan makanannya, Cecil membawa laki-laki itu untuk duduk berdua di teras depan. Ibunya sudah kembali tidur. Entah kenapa Cecil berpikir kesehatan ibunya akhir-akhir ini semakin menurun. Padahal jika dilihat dari apa yang Cecil beri dan ibunya konsumsi, harusnya kesehatan wanita itu sedikit membaik. Namun ini tidak ada hasil yang positif.
"Kapan Ibu kontrol ke rumah sakit lagi?" tanya Bara yang kini sedang memperhatikan Cecil.
"Minggu depan, Mas." jawab Cecil sambil menunduk.
Ibunya akan kontrol minggu depan. Tapi uangnya belum cukup. Gajinya sebagai kasir di minimarket juga tidak banyak membantu. Hanya menambah sedikit saja. Apalagi juga sudah dibelikan untuk keperluan ibunya.
"Aku temenin ya."
Cecil mengangkat wajah dan memandang Bara dengan pandangan serius. "Gak usah, Mas."
Bara menghela napas. Cecil masih saja suka menolak bantuannya. "Aku gak terima penolakan, Ce."
Bibir Cecil membentuk garis lurus. "Aku nggak mau ngerepotin kamu."
Bara menggeleng. "Aku nggak merasa kerepotan sama sekali."
"Yaudah..."
Bara tersenyum puas. Tangannya terangkat untuk mengacak rambut hitam gadisnya. Bibir Cecil mengerucut sambil membenarkan rambutnya yang berantakan karena ulah Bara.
***
"Tante masak apa?"
Kinan tengah berada di dapur. Iva ikut bergabung untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh kakak ibunya itu. Sebenarnya Iva anti dengan urusan dapur begini. Baginya dapur itu kotor. Tidak cocok untuk gadis steril sepertinya.
"Ini, masak telur balado kesukaan Om kamu. Eh, Va, Bara udah balik kantor apa belum ya? Coba deh kamu telpon. Tanyain."
Iva dengan semangat mengangguk dan berlalu menuju kamarnya untuk mengambil ponsel. Dengan senyum terkembang lebar Iva mendial nomor Bara. Sudah berkali-kali dia coba namun tidak diangkat. Iva kembali mencoba. Kali ini diangkat, senyum Iva semakin lebar saat suara Bara menyahut di seberang sana.
"Halo?"
"Bar, kamu di mana? Masih di kantor?" tanya Iva.
"Ah, sakit!"
"Diem dulu makanya."
"Sakit, Mas. Minggir dulu."
"Berdarah."
"Tuh, kan, lecet."
Senyum Iva seketika lenyap. Iva mengenal suara yang bicara di seberang sana. Seseorang yang saat ini bersama Bara, Iva tahu, Cecilia.
Tangan Iva mengepal. Dengan perasaan kesal dimatikannya sambungan telepon. Berbagai pikiran negatif berkelebat di kepala Iva. Sedang apa Bara dan Cecil di sana? Apa yang mereka bahas? Bukan, apa yang tengah mereka lakukan sampai bicara begitu.
Iva meremas ponselnya dan melemparkan ke atas kasur. "Sial. Aku harus bergerak cepat. Rupanya perempuan itu tidak kapok setelah tadi aku ancam! Awas saja."
Di lain tempat, Bara tengah mengusap jari Cecil yang tadi sempat terjepit. Gadis itu meringis saat Bara menekan kapas pada bagian yang berdarah. Bisa-bisa Cecil teledor.
"Nggak bisa diem." komentar Bara yang membuat Cecil semakin menekuk wajahnya.
"Ngapain sih sampai kejepit gini?"
Cecil meringis, "mau nutup lemari tadi, kekencangan, taunya jariku di sana. Ya gitu."
Bara berdecak dan geleng-geleng kepala. "Ceroboh."
Beberapa menit lalu Cecil pamit untuk ke dalam rumah saat ibunya memanggil. Ibunya meminta diambilkan selimut di lemari karena selimut yang dipakainya terlalu tipis. Wanita itu merasa lebih kedinginan sore ini. Cecil yang memang ceroboh harus mengalami luka kecil seperti ini.
"Lagian kecil gini. Mas aja lebay."
Bara menghela napas. "Bagi aku, kamu itu berharga, nggak boleh lecet sedikitpun."
Cecil memukul lengan Bara yang berada di atas meja. "Gombal!"