"Habis dari mana, Kak?"
Perempuan yang dipanggil 'Kak' itu menoleh dan tersenyum lembut saat matanya bersitubruk dengan mata wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa. "Dari minimarket depan, Bu. Ibu kenapa duduk di sini?" tanyanya mendekat dan duduk di sebelah sang ibu.
"Dari tadi nggak bisa tidur karena kamu belum pulang, Kak. Ibu kira kamu nyari kerja tambahan lagi."
Perempuan itu tersenyum sambil menggeleng. "Nggak mungkin aku nyari kerja lagi. Nanti yang jagain Ibu siapa?"
Wanita paruh baya itu memandang sedih putrinya. Takdir seolah sedang menguji kehidupan mereka, menguji keluarga mereka. "Maafin Ibu ya, Kak. Ibu nggak bisa bantuin kamu nyari uang, Ibu malah nyusahin kamu. Ibu..."
"Bukan salah Ibu. Ini takdir, kan? Dan kita nggak bisa nyalahin takdir. Nanti Tuhan marah. Semua yang Tuhan kasih udah sepantasnya kita terima. Bukannya dulu Ayah sering berpetuah seperti itu?"
Cecilia, perempuan berusia 25 tahun itu mengusap lembut punggung tangan ibunya. "Aku bersyukur untuk waktu sekarang. Meski kita udah nggak sama-sama Ayah dan Indri lagi, tapi aku masih punya Ibu. Dan aku harap, Ibu mau bertahan sedikit lagi ya. Ibu akan sembuh. Setelah itu aku janji akan berusaha keras untuk memperbaiki kehidupan kita. Biar bisa kayak dulu lagi."
"Iya, Ibu akan bertahan demi kamu. Tapi janji juga, jangan bekerja terlalu keras. Ibu nggak mau kamu sakit. Janji?"
Cecil –sapaan akrab- mengangguk semangat. "Janji!"
Katanya, Tuhan tidak akan memberikan beban di luar batas kemampuan ciptaan-Nya. Tuhan tahu seberapa berat beban yang sanggup dipikul oleh makhluk-Nya. Oleh karena itu, setiap beban hidup yang dipikulnya terasa begitu berat, Cecil selalu meyakinkan diri bahwa dia kuat. Dia punya Tuhan yang tidak tidur. Dia punya Tuhan yang selalu ada untuknya.
***
"Baik, rapatnya kita sudahi sampai di sini. Saya ingin laporan perkembangan cabang perusahaan baru sudah ada di meja saya besok siang."
Suasana dalam ruang rapat seketika ricuh saat sang pimpinan telah hilang dibalik pintu. Semuanya tampak tegang. Aura bossy dari Bara –sang pimpinan- memang tidak bisa diabaikan. BY Corp maju pesat saat dipimpin oleh Bara. Laki-laki 30 tahun itu bahkan sanggup melebarkan sayap bisnis propertinya hingga ke berbagai kota besar di Indonesia dalam lima tahun. Sudah tercatat sembilan cabang perusahaan yang dimilikinya sekarang dan Bara masih belum puas. Rencananya kali ini cabang baru akan dibuka di Bali.
"Bang, kenapa aura lo kali ini beda sih?"
"Beda gimana?"
Bara duduk di sofa ruangannya bersama Iko –sekretarisnya- sambil menyandarkan punggung di sandaran sofa.
"Gue tau aura lo memang menakutkan. Tapi kali ini tiga kali lipat lebih menyeramkan. Kenapa sih? Cerita dong."
Bara dan Iko dibesarkan dalam ruang lingkup yang sama. Rumah bertetangga. Ibu mereka bersahabat karena dalam satu lingkar arisan yang sama dan masih banyak lagi. Jadi tidak heran kalau Bara dan Iko bisa bicara sesantai ini jika hanya berdua atau berada di luar kantor. Iko bekerja di sini juga karena paksaan dari Bara. Padahal laki-laki 23 tahun itu masih ingin menikmati masa bebasnya. Bara saja yang keterlaluan mengajaknya hidup monoton seperti ini.
"Lo ada masalah apa sih, Bang? Cerita ke gue." tanya Iko yang membuat Bara menatap sekretarisnya itu dengan pandangan serius.
"Iva ngehubungi gue."