Bara mengucek mata saat dirasanya seseorang menimpa tubuhnya. Napas orang tersebut teratur. Bara ingat dia tidur sendiri, kenapa sekarang ada orang lain bersamanya? Dengan mata setengah mengantuk, Bara duduk dan langsung melotot kaget saat Iva tidur di ranjang yang sama dengannya.
Sialan, umpat Bara kesal.
Bara mengusap kasar wajahnya. Matanya melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Cukup lama dia tertidur dan cukup lelap juga sampai Bara tidak sadar ada yang bergabung dengannya di atas ranjang.
"Bangun!"
Iva yang di panggil dengan suara keras begitu sama sekali tidak terusik. Malah perempuan itu semakin mempererat pejaman matanya. Bara hapal kelakuan Iva. Mereka bersama bukan hitungan hari. Mereka tumbuh bersama dari kecil. Maka dari itu Bara tahu apakah Iva bena-benar tidur atau tidak.
"Ivana!"
Iva mengalah pada pendiriannya. Dengan ogah-ogahan dia bangkit duduk bersampingan dengan Bara. "Kamu keganggu sama aku ya?" tanyanya sambil tersenyum ramah membuat Bara mendengkus.
"Kenapa kamu bisa di sini?"
"Tadi Tante nyuruh aku nganter makan malam buat kamu. Kunci juga Tante yang ngasih."
Bara meremas rambutnya kesal. Ibunya benar-benar ya. Bara kan malas berurusan dengan Iva. Kenapa juga ibunya menyuruh Iva ke sini? Biasanya juga Bara pulang sendiri jika ingin makan malam masakan ibunya. Atau laki-laki itu akan membeli makanan di luar jika terlalu malas untuk pulang. Apalagi sekarang ada Iva di rumah orangtuanya, Bara semakin punya alasan besar untuk tidak pulang ke sana.
"Keluar."
Iva beranjak dari atas ranjang mengikuti Bara memasuki kamar mandi. Bara yang mendapat perlakuan seperti itu tentu saja kesal bukan main. "Kamu tuli, hah?! Pintu keluar di sana!"
Iva tertawa. "Sebentar, aku mau cuci muka dulu."
Bara mencoba meredam emosinya dengan menghela napas berkali-kali. "Jangan memancing emosiku, Ivana! Kamu akan menyesal kalau aku sampai berlaku kasar." Desis Bara yang membuat Iva tersenyum tipis.
"Oke. Aku tunggu kamu di meja makan. Kita makan malam sama-sama."
"Aku tidak lapar. Keluar!"
Dengan pasrah Iva keluar dari kamar Bara. Niatnya ingin menggoda Bara pupus sudah. Padahal dia sudah jauh-jauh ke sini dan merelakan istirahatnya demi bertemu dan berduaan dengan Bara, sepupu tercintanya.
***
Masih seperti kemarin, Bara akan selalu memikirkan gadis pujaannya. Bagaimana cara agar Cecil bahagia. Untung saja keduanya sudah berbaikan. Meski Cecil belum mengiyakan ajakannya untuk kembali bersama, tetapi gadis itu tidak lagi menolak kehadiran Bara di rumahnya. Seperti saat ini, Bara tengah duduk di ruang tamu di rumah Cecil. Ibu Cecil tengah tertidur setelah minum obat, jadi mereka punya waktu berduaan untuk berbicara.
"Kapan mau main ke rumah lagi? Mama rindu sama kamu."
Cecil tersenyum tipis mendengar ucapan Bara. Bagaimana mungkin ibu Bara rindu padanya, jika setiap hari wanita paruh baya itu ke sini menjenguk Cecil dan ibunya. Jangan lupakan bawaan Kinan –ibu Bara- yang begitu banyak. Meskipun kebutuhan pokok mereka tercukupi dari pemberian Kinan, bukan berarti Cecil tidak akan bekerja. Gadis itu tetap akan bekerja. Karena dia harus mencari uang untuk pengobatan ibunya.
"Mama Mas atau Mas yang rindu?" tanya Cecil terkekeh.
Bara tersenyum lebar. "Jual nama Mama sesekali nggak masalah." Jawabnya membuat tawa Cecil berderai.
"Mama Mas sering ke sini malahan. Nggak pernah absen sehari aja."
Bara mengernyit, "serius kamu?" tanyanya meyakinkan. Cecil mengangguk mantap.
"Ngapain Mama ke sini?"
"Biasa, habis borong isi supermarket langsung di bawa ke sini."
Bara tertawa. Satu tangannya meraih jemari Cecil. "Makasih."
"Untuk apa?" tanya Cecil balas menggenggam jemari Bara.
"Karena kamu masih mau ngasih aku kesempatan buat dekat lagi sama kamu."
Cecil mencibir, "tapi tetap ya belum aku terima." Ujarnya.
Bara tersenyum lembut sambil mengelus punggung tangan Cecil di genggamannya. "Aku bakal nunggu sampai kamu mau membuka hati lagi buat aku."
Cecil menggeleng. "Hati aku dari dulu udah kamu ambil alih seutuhnya, Mas. Hanya saja sekarang aku masih ingin kita seperti ini. Jika kamu ragu dan menemukan gadis lain di luar sana, maka kamu tidak perlu memikirkan aku. Karena kita tidak terikat apapun."