Setelah membersihkan wajahku dari kamar mandi, aku segera pergi menuju ruanganku. Aku berjalan dengan menunduk menuju ruanganku.
Dug
Aku meringis saat keningku menabrak sesuatu, aku mengusap keningku yang terasa sakit. "Kamu tidak apa-apa?"
Suara bass milik seseorang membuatku menengadahkan kepalaku dan tepat di hadapanku ada Aiden, dia menatapku dengan tatapan kekhawatirannya. Aku tak sanggup lagi menompang kesakitan ini, aku segera memeluknya tanpa perduli ini di area kantor.
"Ada apa Neta?" bisiknya mengusap punggungku.
Aku tak mampu mengeluarkan suaraku, aku hanya bisa mengeluarkan tangisanku sejadi-jadinya di dada Aiden. Pria yang selama ini menemaniku,,
"Ada apa, Sayang?" ucapnya dengan lembut.
Aku melepaskan pelukannya dan mengusap air mataku. Aku yakin saat ini wajahku sudah tak berbentuk lagi. Aku merasakan tangan lembut mengusap pipiku yang basah. "Tenanglah semuanya baik-baik saja," ucapnya membuatku tersenyum manis.
"Maafkan aku pak Aiden," ucapku saat sadar dimana posisi kami saat ini. Aku segera menjauhkan tubuhku dari Aiden dan memohon ijin untuk pergi menuju ruanganku.
Aku tau Aiden masih menatapku dengan kebingungannya, tetapi sudahlah. Aku tidak mungkin mengatakan semuanya pada dia kalau pria itu adalah sepupunya sendiri. Sepupu yang begitu dekat dengannya.
Aku mendaratkan pantatku di kursi kebesaranku dan sedikit memperbaiki tatanan make upku yang sudah terhapus.
"Hey, loe kenapa?" Sonya menyembulkan kepalanya dari balik kubikelnya yang kebetulan berdampingan denganku.
"Aku tidak apa-apa Sonya, hanya saja aku sedikit kecapean," jawabku.
"Loe sakit?" Tanyanya terdengar khawatir.
"Tidak, bukan begitu. Hanya sedikit kelelahan," jawabku secepat kilat sebelum dia menggemparkan divisi marketing dengan kekhawatirannya.
"Lebih baik loe istirahat, mau gue buatkan teh hangat?" aku menggelengkan kepalaku dan mengucapkan kata terima kasih. Diapun akhirnya memilih kembali duduk di kursinya.
Bayangan itu kembali menghantuiku, bayangan saat dia mengungkungku. Tangannya menyentuh wajahku, kata-katanya dan suaranya yang selalu mengusik pendengaranku.
Ya Tuhan,, kenapa harus seperti ini?
Kenapa di saat hidupku sudah tentram dan kembali damai bersama Aiden dan Regan, dia datang. Kenapa dia dengan mudahnya kembali mendominasiku, kenapa dia begitu cepat mengambil alih seluruh perhatianku. Tuhan, aku sungguh tak sanggup lagi dengan semua ini. Aku mengusap wajahku gusar, hingga lamunanku buyar saat mendengar suara pesan masuk ke handphoneku.
Aiden
Kamu baik-baik saja kan? Aku sungguh tidak tenang dan sangat khawatir. Kamu pergi begitu saja,,
Aku sadar sikapku tadi sungguh keterlaluan hingga membuat Aiden khawatir padaku. Aku segera membalas pesan Aiden dan mengatakan kalau aku baik-baik saja, tadi hanya teringat Regan saja. Setelah membalas pesan dari Aiden, aku kembali fokus pada pekerjaanku. Aku berusaha menepis semua bayangan itu dari pikiranku dan mencoba terfokus pada pekerjaanku.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, itu tandanya aku harus segera pulang. Aku segera membereskan peralatan yang berserakan di atas meja dan segera menyambar tasku hingga sebuah pesan masuk. Aku segera membukanya dan ternyata itu pesan dari Aiden yang mengatakan dia lembur, karena ada meeting pukul setengah 6 bersama beberapa pemegang saham perusahaan. Akupun mengerti, dan akan pulang sendirian saja.
Akhir-akhir ini Aiden tampak sangat sibuk, hingga dia jarang datang ke rumah dan mengantarku pulang. Aku juga tak melihat Sonya, kemana dia. Biasanya kalau aku tidak pulang bersama Aiden, dia yang akan langsung mengajakku pulang bersama menggunakan bus atau taxi. Tetapi entah kemana anak itu sekarang.
Aku baru keluar dari dalam lift dan berjalan menuju lobby kantor. Tetapi langkahku terhenti saat melihat hujan begitu deras di luar sana. Aku tak tau harus bagaimana karena aku tidak membawa payung, aku juga tidak mungkin menunggu di sini. Kasian Regan pasti sedang menungguku.
Aku terpaksa menerobos hujan dengan menggunakan tasku sebagai pelindung kepala, tetapi tetap saja badanku terguyur hujan karena hujannya sangat deras. Aku terus berlari menyusuri trotoar untuk mencapai halte dan menunggu bus.
"Ahh !!" belum sampai ke halte bus, aku terpekik karena sebuah mobil mewah melewat dan gendangan air yang dilaluinya mecipratiku hingga seluruh pakaianku kotor terkena genangan air kotor itu dan terasa sangat dingin menembus ke dalam tubuhku.
Mobil mewah itu terlihat berhenti di depanku, dan tak lama sang empu turun dari dalam mobil menggunakan payung hitam dan kacamata hitam bertengker di hidung mancungnya. Aku semakin mengepal kuat saat melihat siapa pelakunya, dia adalah tuan Davero yang begitu angkuh dan sombong.
"Upz, sorry Agneta. Aku sungguh tak sengaja," ucapnya dengan polos saat sudah berdiri di depanku.
Aku hanya mendengus kesal tanpa ingin menjawab pertanyaannya, aku segera beranjak pergi dari sini dan mandi untuk membersihkan tubuhku dari genangan air kotor ini.
"Agneta!" aku tersentak saat pergelangan tanganku di cekal olehnya. Segera aku menepisnya dan memegang pergelangan tanganku sendiri. "Masuklah, aku akan mengantarmu,"
"Tidak perlu Pak, terima kasih. Saya permisi." Aku bergegas pergi tetapi lagi-lagi dia mencengkram tanganku.
"Aku tidak bertanya, aku memerintahmu Agneta!" tatapannya penuh intimidasi membuatku sulit untuk berkutik. Untuk sekedar menelan salivaku sendiri saja rasanya sangat sulit. "Cepat naiklah ke Dalam mobil!" ucapnya penuh penekanan yang tak terbantahkan.
Akupun pasrah dan segera memasuki mobil mewahnya, dia mengikutiku memasuki mobilnya. Dia melempar payungnya ke jok belakang dan mulai mengemudikan mobilnya. Dadaku terasa berdetak sangat cepat, bahkan terasa sangat menyesakkan. Entah apa yang aku rasakan, tetapi rasanya tetap sama seperti 5 tahun yang lalu. Tetap berdetak cepat dan darahku berdesir hebat, padahal di sisi lain aku begitu membencinya.
Yah, aku membencinya...
"Eh?" aku tersentak saat sesuatu menyentuh pipiku. Ternyata dia hendak mengusap pipiku dengan tissue.
"Sorry, sejak tadi kamu melamun. Aku hanya ingin membersihkan noda di leher dan pipi kamu," ucapnya membuatku segera mengambil tissue yang baru dari tempat tissue dan segera mengusap pipi dan leherku. Dia terlihat menghela nafasya dan membuang tissue itu asal.
"So, kemana aku harus mengantarmu?" ucapnya memecah keheningan.
"Sampai perempatan depan saja."
"Bukan jalannya, tapi rumahmu. Aku tidak suka menurunkan seorang wanita di pinggir jalan, aku lebih suka mengantarnya hingga tempat tinggalnya," ucapannya membuatku jijik. Bilang saja kamu ingin tidur bersama wanita yang kamu antar itu, sialan !!
"Sekarang kemana lagi?"
"Aku turun di sini saja." Aku tidak ingin dia sampai mengetahui dimana tempat tinggalku.
"Baiklah kalau kamu tidak mengatakannya, berarti kita pulang ke apartementku."
"APA???" aku terpekik kaget mendengar penuturannya yang sangat santai.
" Cepat katakan Agneta, kalau kamu tidak mengatakannya aku akan membawamu pulang ke apartementku." Dia melirik ke arahku dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Kanan." Jawabku sinis, dan lihatlah dia menyeringai puas membuatku muak. Aku berharap Regan masih di rumah Sonya, aku tidak ingin dia bertemu Regan. Aku belum siap,,
"Sekarang kemana?"
"Masuk gapura di depan,"
"Kamu tinggal di pemukiman?" tanyanya mengernyitkan dahinya saat memasukkan mobil mewahnya ke gapura.
"Kamu pikir aku akan tinggal dimana, di apartement atau perumahan mewah," sindirku.
Dia terlihat mengernyit menatap jalanan yang becek, rusak dan kotor. Aku tau dia tidak akan mau ke tempat seperti ini, dan aku berharap dia kapok mengantarku pulang.
"Berhenti di rumah cat coklat itu," ucapku dan diapun menghentikan mobilnya di depan rumah itu.
"Kamu tinggal di rumah ini?" tanyanya kembali tersentak.
"Iya Tuan Davero, ini rumah saya. Istana saya," ucapku bergegas menuruni mobil tanpa mengucapkan terima kasih. Toh dia sendiri yang ingin memaksaku.
Aku berjalan menuju pintu rumah dan memasukan kunci ke lubang kunci. "Disini sangat kotor," gumaman itu membuatku tersentak dan segera berbalik ternyata manusia gila itu mengikutiku.
"Sedang apa kau?"
"Aku?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri membuatku memutar bola mataku malas.
"Ia kau tuan Davero, sedang apa kau disini. Kenapa tidak langsung pergi?" ucapku dengan tajam.
"Aku sudah mengantarmu jauh-jauh, apa tidak ada ucapan terima kasih dan menyuguhkan teh untukku," ucapnya santai dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
"Terima kasih, sekarang pulanglah. Aku tidak punya stok teh di rumah," ucapku berusaha mengusirnya secara halus.
"Air putihpun tak masalah, tidak mungkin tidak ada stok air putihkan!" ucapnya santai dan sangat menyebalkan membuatku kalah telak. Manusia arrogant ini membuatku ingin menjambaknya, dia selalu saja semaunya.
"Apa kita hanya akan mengobrol di luar seperti ini?" Aku mendengus kesal dan membuka pintu, meladeni manusia satu ini hanya akan membuat emosiku naik.
Dia begitu saja nyelonong masuk dan duduk di sofa. "Di sini lebih segar dan wangi daripada di luar rumah," ucapnya menompang sebelah kakinya.
Aku tak menanggapinya dan terus berjalan memasuki rumah untuk memberinya air. Aku ambil air kran saja agar dia sakit perut dan kapok ke sini lagi. Tetapi bagaimana kalau malah menyebabkan infeksi ke ususnya karena air tidak bersih. Nanti malah aku juga yang di tuntut meracuni anak orang.
Akhirnya aku memilih air galon higienis untuk di suguhkan kepadanya. Tak ada teh untuk dia, kecuali dia memetik sendiri pucuk tehnya.
"Ini, cepat habiskan dan pulang," ucapku menyimpan gelas itu di atas meja di depan dia.
"Oke, aku akan pergi setelah minuman ini habis," ucapnya menyeringai. "Ngomong-ngomong sudah berapa lama kamu tinggal di sini? Kenapa pindah dari Semarang?"
"Bukan urusanmu," ucapku sinis dan duduk di hadapannya.
"Aku ini atasanmu, sudah sewajarnya aku mengetahui tentang karyawanku. Aku tidak mau mempunyai karyawan yang tidak jelas seperti teroris. Yang ada perusahaanku akan bangkrut." Aku melongo mendengar penuturannya. Adakah yang bisa membantuku menjambak pria satu ini dan menendangnya dari rumahku.
"Anda bisa menanyakan itu langsung ke bagian SDM," ucapku.
"Aku ingin menanyakannya langsung pada setiap karyawan. Data bisa saja di manipulasi." Ya Tuhan, aku lelah berbicara dengan pria menyebalkan ini.
"Aku tinggal di sini sudah 5 tahun lamanya, tetapi baru bergabung di perusahaan anda sekitar 3 tahun yang lalu. Alasan saya pindah dari Semarang bukan urusan anda," ucapku panjang lebar.
"Kamu tidak berubah." Senyumannya membuatku bingung, apa maksudnya.
Apalagi tatapannya, ya Tuhan tatapannya selalu mengintimidasiku dan membuatku tak bisa berkutik. Tidak lagi Agneta, jangan jatuh pada lubang yang sama. Aku segera memalingkan pandanganku ke arah lain.
"Aku selalu suka melihatmu berbicara panjang lebar, kamu terlihat sangat menggemaskan." Ucapannya mampu membuatku gugup.
Kenapa seperti ini,,,
"Bundaaa,"
Deg