Aku berjalan menuju pintu rumah dan memasukan kunci ke lubang kunci. "Disini sangat kotor," gumaman itu membuatku tersentak dan segera berbalik ternyata manusia gila itu mengikutiku.
"Sedang apa kau?"
"Aku?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri membuatku memutar bola mataku malas.
"Ia kau tuan Davero, sedang apa kau disini. Kenapa tidak langsung pergi?" ucapku dengan tajam.
"Aku sudah mengantarmu jauh-jauh, apa tidak ada ucapan terima kasih dan menyuguhkan teh untukku," ucapnya santai dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
"Terima kasih, sekarang pulanglah. Aku tidak punya stok teh di rumah," ucapku berusaha mengusirnya secara halus.
"Air putihpun tak masalah, tidak mungkin tidak ada stok air putihkan!" ucapnya santai dan sangat menyebalkan membuatku kalah telak. Manusia arrogant ini membuatku ingin menjambaknya, dia selalu saja semaunya.
"Apa kita hanya akan mengobrol di luar seperti ini?" Aku mendengus kesal dan membuka pintu, meladeni manusia satu ini hanya akan membuat emosiku naik.
Dia begitu saja nyelonong masuk dan duduk di sofa. "Di sini lebih segar dan wangi daripada di luar rumah," ucapnya menompang sebelah kakinya.
Aku tak menanggapinya dan terus berjalan memasuki rumah untuk memberinya air. Aku ambil air kran saja agar dia sakit perut dan kapok ke sini lagi. Tetapi bagaimana kalau malah menyebabkan infeksi ke ususnya karena air tidak bersih. Nanti malah aku juga yang di tuntut meracuni anak orang.
Akhirnya aku memilih air galon higienis untuk di suguhkan kepadanya. Tak ada teh untuk dia, kecuali dia memetik sendiri pucuk tehnya.
"Ini, cepat habiskan dan pulang," ucapku menyimpan gelas itu di atas meja di depan dia.
"Oke, aku akan pergi setelah minuman ini habis," ucapnya menyeringai. "Ngomong-ngomong sudah berapa lama kamu tinggal di sini? Kenapa pindah dari Semarang?"
"Bukan urusanmu," ucapku sinis dan duduk di hadapannya.
"Aku ini atasanmu, sudah sewajarnya aku mengetahui tentang karyawanku. Aku tidak mau mempunyai karyawan yang tidak jelas seperti teroris. Yang ada perusahaanku akan bangkrut." Aku melongo mendengar penuturannya. Adakah yang bisa membantuku menjambak pria satu ini dan menendangnya dari rumahku.
"Anda bisa menanyakan itu langsung ke bagian SDM," ucapku.
"Aku ingin menanyakannya langsung pada setiap karyawan. Data bisa saja di manipulasi." Ya Tuhan, aku lelah berbicara dengan pria menyebalkan ini.
"Aku tinggal di sini sudah 5 tahun lamanya, tetapi baru bergabung di perusahaan anda sekitar 3 tahun yang lalu. Alasan saya pindah dari Semarang bukan urusan anda," ucapku panjang lebar.
"Kamu tidak berubah." Senyumannya membuatku bingung, apa maksudnya.
Apalagi tatapannya, ya Tuhan tatapannya selalu mengintimidasiku dan membuatku tak bisa berkutik. Tidak lagi Agneta, jangan jatuh pada lubang yang sama. Aku segera memalingkan pandanganku ke arah lain.
"Aku selalu suka melihatmu berbicara panjang lebar, kamu terlihat sangat menggemaskan." Ucapannya mampu membuatku gugup.
Kenapa seperti ini,,,
"Bundaaa,"
Deg
Aku tersentak mendengar panggilan itu, Regan ya tuhan dia...
"Bunda." Aku melihat Regan berlari ke arahku dan memelukku.
"H-hai Sayang." Aku membalas pelukannya dan melirik Dave yang tengah memperhatikan kami.
"Bunda, tante Ilen gak ikut masuk kalena ada mobil di depan. Jadi dia ngantel Egan sampe depan," celotehnya.
"Anakmu?" pertanyaan itu menyadarkanku kalau di antara kami masih ada manusia lain. Regan terlihat melihat ke arah Davero, mereka saling menatap seakan ada sesuatu.
"Egan." Aku segera menyadarkannya, aku tidak ingin Dave menyadari kemiripannya. "Ayo salam sama Om," ucapku menekankan kata Om.
"Iya, Bunda." Regan berjalan mendekati Dave yang masih menatap Regan dengan intens, dan itu membuat jantungku berdetak dengan sangat kencang sekali, aku merasa jantungku ingin meloncat keluar dari tempatnya dengan berbagai ketakutan dan pemikiran. Aku tau tatapan itu penuh intimidasi dan teliti, semoga Dave tidak menyadari kemiripan itu.
"Hallo Om, namaku Egan." Regan mengucapnya dengan cengiran lebar khas anak kecil dengan pipi gembilnya. Dave terlihat masih terpaku di tempatnya menatap Regan, membuatku semakin cemas. Dia tampak tersentak saat Regan menyentuh tangannya untuk ia cium.
"Davero," ucapnya hingga tatapannya mengarah ke arahku. Aku masih berusaha menampilkan tatapan datar padanya.
"Kau sudah menikah?" tanyanya sedikit kaget dan tentu saja itu membuatku bernafas lega, sepertinya Dave tak menyadari kemiripan itu.
"Sepertinya bukan urusan anda," ucapku dengan tegas.
"Bunda, Egan ke kamal yah." Aku menganggukan kepalaku dan membiarkan Regan masuk ke dalam kamarnya. Itu lebih baik daripada dia terus berada di sini dan membuat pria itu semakin menaruh curiga.
"Agneta, apa kau sudah menikah?" tanyanya terdengar menggeram membuatku sedikit bingung dengan ekspresi yang di tunjukkannya.
"Bukan urusan anda!" jawabku. "Sepertinya anda harus pulang, Pak Wiratama, karena saya harus mengurusi putra saya."
Dia menatapku dengan tajam hingga akhirnya ia memalingkan wajahnya dan mengatakan akan pulang. Aku menatap pergerakannya yang berdiri dari duduknya dan berjalan keluar dari rumah ini. Aku mampu bernafas lega saat mendengar suara deru mobil menjauh. Aku merasa jantungku hampir keluar dari mulutku dan nyawaku hilang setengah. Tubuhku terasa lemas sekali.
Sampai kapan ini akan berlangsung? Lambat laun dia akan sadar siapa Regan. Aku belum siap untuk itu, Tuhan!!!
***