"Apa kau yakin Dav, dia adalah gadis di masalalumu?" tanya Kay saat sudah berada di ruangan atasannya.
"Apa kau meragukanku, Kay?" tanya Dave dengan nada dingin.
"Bukan begitu," timpal Key.
"Apa kalian berdua sudah tidak betah bekerja denganku?" tanya Dave tanpa basa basi dengan aura gelapnya.
"Kau terlalu mengambil hati, BIG BOSS!" ucap Key dengan kekehannya.
"Mana bisa kami melawan Big Boss!" timpal Kay membuat sudut bibir Dave terangkat.
"Cari tau tentang kehidupan Agneta, siapa suaminya dan ayah kandung anaknya," ucap Dave membuat mereka berdua mengangguk pasti.
"Baiklah, kami akan laksanakan apapun perintah anda, Big Boss!" ucap mereka dengan kompak.
"Melihat kalian seperti ini, sungguh terlihat begitu manis dan menggemaskan," seringai Dave membuat Kay dan Key mencibir kesal.
"Kalau begitu kami permisi," ucap Kay yang di angguki Key.
Mereka berdua berjalan keluar dari ruangan Dave dan berpapasan dengan sang wakil direktur yang ruangannya tak jauh dari ruangan Dave.
"Hai," sapanya diiringi senyuman manisnya.
"Hai juga," sapa Key dengan senyumannya.
"Ada tugas lagi, hmm?" tanya Aiden.
"Begitulah, sepertinya Big Boss sedang tak bisa di ajak berkompromi," ucap Key membuat Aiden terkikik geli.
"Sepertinya wanita itu sangat spesial hingga mampu membuat moodnya berubah seperti itu. Dia seperti singa yang tengah kelaparan," kekeh Aiden.
"Benar sekali, bahkan beberapa kali kami di semprot olehnya, padahal kemarin tugas kami selesai." Kay ikut menimpali.
"Aku menggaji kalian bertiga bukan untuk bergosip di depan pintu ruanganku! Dan terang-terangan membicarakan aku!" ucapan penuh penekanan itu membuat Kay dan Key terlonjak kaget dan langsung berbalik ke sumber suara. Dave nampak berdiri dengan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
"Kami hanya-"
"Aku tak menyangka kalau kalian bertiga punya hobby menggosipkan atasan sendiri," ucap Dave membuat Kay, Key dan Aiden saling pandang.
"Kau terlalu menanggapi dengan serius," kekeh Aiden. "Kami begitu menyayangimu, Brother. Makanya kami membicarakanmu."
"Ck, manis sekali kata-katamu, Kakak Sepupu!" sindir Dave membuat Aiden semakin terkekeh.
"Sudahlah, aku ada perlu denganmu. Ini masalah kerjasama kita dengan perusahaan Mahya," ucap Aiden.
"Itu urusanmu, Aiden. Kau yang sudah mengambil alihnya, saat ini aku ingin keluar." Dave menjawab dengan tenang seraya melenggang pergi melewati mereka bertiga.
"Mr. Okta ingin bertemu denganmu langsung Dave. Ayolah jangan mana tanggung jawabmu," ucap Aiden menghentikan langkah kaki Dave.
"Apa Mr. Okta memiliki anak perempuan?" tanya Dave.
"Aku tidak tau, kenapa memangnya?" tanya Aiden.
"Kalau begitu lebih baik kamu saja yang menemuinya, sudah sering aku bertemu client seperti itu yang ujung-ujungnya memintaku mendekati putrinya." Dave menjawab dengan santai.
"Kau terlalu percaya diri," ucap Aiden.
"Aku memang selalu percaya diri," ucap Dave dengan tenang membuat Aiden mencibir kecil.
"Baiklah aku akan menemuinya kali ini," ucap Aiden.
"Itu lebih baik. Dan kalian berdua, cepatlah bergegas kerjakan apa yang aku minta," ucap Dave yang di angguki Kay dan Key.
Dave berlalu pergi meninggalkan mereka bertiga. Ia berjalan memasuki lift, tatapan tajamnya menatap satu titik di depannya. Pikirannya melayang memikirkan anak Agneta yang entah kenapa terus mengusik otak Dave.
***
Agneta baru saja menyelesaikan pekerjaannya, hari ini pekerjaannya begitu banyak sekali sampai ia melupakan makan siangnya padahal jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 2 siang. Agneta masuk ke dalam kamar mandi, dan membasuh wajahnya supaya tampak lebih fress. "Ke kantin di bawah gak apa-apa kali yah," gumamnya seraya mengeluarkan Iphonenya dan mengirim pesan pada Sonya kalau dia akan pergi mencari makan dulu.
Setelahnya, Agneta berjalan keluar dari kamar mandi. Dan dia memekik saat keningnya menabrak sesuatu yang keras saat membuka pintu kamar mandi. "Aduh," gumamnya mengusap keningnya sendiri.
"Apa keningmu tidak apa-apa?" pertanyaan itu membuat Agneta membelalak lebar dan menengadahkan kepalanya. Matanya melotot sempurna saat melihat sosok siapa yang berdiri di hadapannya itu dan baru saja ia tabrak.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Agneta dengan kebingungannya.
"Mencarimu," ucapnya mengedikkan bahunya.
"Apa ada pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak Davero?" tanya Agneta.
"Banyak," ucapnya dan mendorong Agneta masuk kembali ke dalam kamar mandi perempuan.
"Apa yang anda lakukan!" pekik Agneta saat Dave mencengkram kedua lengannya dan menyudutkan tubuh Agneta ke balik pintu kamar mandi yang sudah tertutup kembali. "Ini kamar mandi perempuan, apa yang akan kau lakukan!" pekiknya.
"Aku tau, dan tidak akan ada yang menegurku di sini," jawabnya dengan seringai menakutkan membuat Agneta semakin ketakutan.
"Apa maumu, Davero?" pekik Agneta karena sangat kesal sekaligus takut.
"Kau! Sudah aku katakan aku menginginkanmu!" ucapnya penuh penekanan.
"Aku bukan barang!" pekiknya berusaha mendorong dada bidang Dave yang begitu sulit.
"Aku tau, tapi aku tetap menginginkanmu!" ucapnya menahan kedua tangan Agneta yang terus mendorong dadanya dengan satu cekalan tangan besarnya. Ia menyimpan tangan Agneta di atas kepala Agneta dan menekannya ke dinding membuat Agneta kesulita untuk bergerak. Kedua kakinya juga sudah menahan kedua kaki Agneta supaya tidak mampu berontak.
"Lepaskan aku!" Agneta masih berusaha berontak. "Lepaskan aku atau aku akan berteriak!" ancamnya.
"Cobalah," tantang Davero.
"Tolmmmmmpppp," Agneta membelalak lebar saat Dave menyumpal mulutnya dengan bibirnya sendiri. Awalnya terasa kasar, tetapi semakin lama semakin lembut. Dave bahkan memejamkan matanya menikmati ciuman itu seakan menikmatinya. Ia menggigit bibir bawah Agneta membuatnya melenguh dan itu kesempatan Dave untuk menerobos masuk dan menghisap bibir juga lidah Agneta yang tak bergerak sama sekali.
"Aku menemukan kembali Morfinku, akhirnya!" bisik Dave dan kembali mencium bibir Agneta dengan rakut dan menuntut.
Semakin lama Agneta semakin lemas karena ciuman panas dari Dave. Ciuman yang sudah lama tak ia rasakan, ciuman yang juga ia rindukan. Ciuman pertamanya, ciuman yang sungguh memabukkan sekaligus menyakitkan. Kedua kaki Agneta bahkan sudah lemas seperti Jell, tubuhnya hampir luruh kalau Dave tak menekan tubuhnya pada tubuh Agneta.
Dave semakin lepas kontrol, sebelah tangannya yang tak memegang tangan Agneta membelai leher jenjang Agneta dan masuk ke celah rambut panjang Agneta dan menekan tengkuknya. Hingga Dave merasakan cairan basah mengalir dan terasa asin. Iapun melepaskan pangutannya saat mengetahui Agneta menangis.
Dave melepaskan cengkraman tangannya pada tangan Agneta tanpa menjauhkan tubuhnya dari tubuh Agneta. Ia masih menatap penuh gairah bibir merah Agneta yang membengkak karena ulahnya. Nafas mereka memburu dan sedikit tersenggal. Saat kesadaran penuh sudah menguasai Agneta ia langsung mendorong tubuh Dave hingga mundur dua langkah ke belakang.
Plak
"Brengsek!" pekik Agneta dengan tangisannya. Setelah menampar Dave, ia pun beranjak keluar dari kamar mandi meninggalkan Dave yang masih mematung di tempatnya.
Agneta berlari menyusuri lorong kantor dengan menutup mulutnya, air matanya terus luruh membasahi pipi. Kenapa? Kenapa pria itu masih terus menyakitinya, kenapa pria itu selalu memaksakan kehendaknya. Ia bersembunyi di tangga darurat dan duduk di salah satu undakan tangga. Ia menangis sejadi-jadinya di sana.
Luka itu masih menganga lebar, rasa sakit itu masih terasa. Dan semuanya belum sembuh total, sekarang harus di tambah lagi dengan luka yang baru. Agneta semakin membencinya, sangat membencinya.
***