Chereads / ADAMANTINE (The Unstable Heart) / Chapter 2 - A STRANGER

Chapter 2 - A STRANGER

Lipstick? Done! Eyeliner? Done! Eyeshadow? Done! Mascara? Done! Blush-on? Done! Sempurna!

Di hari-hari biasa, Amara hanya sekedar memoles wajah dengan riasan ala kadarnya. Aplikasi day-cream, sunscreen, bedak, pulasan lip-tint, dan pensil alis saja sudah cukup untuk menemani hari-harinya. Bulu matanya yang memang sudah lentik tidak perlu diperlentik lagi oleh sapuan maskara, apalagi ditempeli dengan bulu mata palsu anti badai La Nina. Hidungnya yang memang sudah mancung, tidak perlu dipertegas lagi bentuknya dengan bantuan concealer. Bahkan pipinya yang mampu memerah alami, tidak perlu tambahan sapuan blush-on. Tanpa riasan yang maksimal sekalipun, Amara yakin wajahnya itu telah memikat secara alami.

Namun hari ini bisa jadi hari yang istimewa. Sejak pertemuannya dengan Razi kemarin, Amara mulai me-reset pikirannya. Razi bukanlah sembarang pria yang mudah tertarik dengan sembarang kaum hawa. Entah kriteria wanita macam apa yang disenangi oleh pria sejenisnya. Jadilah sekarang ia berusaha tampil memukau. Rambutnya pun sudah diikal sedemikian rupa dengan bantuan alat catok. Amara berpuas diri memandang pantulan dirinya di cermin.

Bisa jadi hari ini Razi kembali mengajaknya untuk bertemu. Untuk berkencan mungkin? Kalau itu terjadi, setidaknya penampilan Amara tidak akan mengecewakan. Bisa jadi Razi langsung bertekuk lutut padanya. Wajahnya tiba-tiba memerah sendiri memikirkan kemungkinan itu.

Amara keluar kamar lalu memasuki lift dengan wajah bersemu. Berkali-kali terpukau pada refleksi dirinya di kaca yang menghias dinding lift itu.

Saat lift terbuka, wajah datarnya kembali terpasang. Mawas diri terhadap keberadaan sang nyonya besar di pagi ini. Matanya melirik ke sekeliling sudut rumah itu, mencari-cari sosok yang selalu berusaha dihindarinya setiap hari.

"Wow! You look stunning today!" komentar sang adik saat berjalan melewatinya dengan hanya mengenakan sebuah kemeja biru longgar di tubuhnya. Ukuran XL mungkin? Entah pria manalagi yang berhasil ditaklukkannya hari ini.

"Pagi, Git!" balasnya datar.

Amara tidak membenci adiknya, Anggita, seperti ia membenci mamanya. Justru tanpa sepengetahuan kedua orangtua mereka, ia dan adiknya itu sering melakukan pertemuan tersembunyi. Terkadang mereka menghabiskan waktu bersama untuk sekedar shopping, nonton, kulineran, bahkan bergosip layaknya perempuan pada umumnya. Jika ada satu penghargaan untuk orang paling terpercaya di dunia, maka penghargaan itu akan ia berikan untuk Anggita. Terlepas dari hobinya yang senang dengan dunia malam dan menghambur-hamburkan harta sang mama, Anggita adalah orang yang sangat jujur dan apa adanya. Dan Anggita-lah satu-satunya orang yang ia percaya dalam hidupnya.

"Lo pulang jam berapa tadi malam?" tanyanya sembari mengikuti langkah Anggita menuju ruang makan.

"Malam? Pulang pagilaaah. Nggak ada ceritanya clubbing pulang malem," jawabnya sembari meliuk-liukkan tubuhnya dengan lincah. Sepertinya adiknya ini masih berada di bawah pengaruh alkohol.

Setelah itu ia menyentuh kepalanya sambil meringis, terlihat berusaha menahan kepalanya yang seakan mau copot dari lehernya.

"Hangover lo?" tanya Amara cuek. Sudah biasa setiap pagi disuguhkan pemandangan seperti ini.

"Whaaat? I'm completely sober!" Ia tertawa cekikikan.

Amara hanya mendesah pelan lalu menyodorkan minuman ginger-lemon jatahnya yang sudah tersedia di atas meja makan. Adiknya itu butuh banyak asupan alkali.

Anggita yang sudah duduk di sudut meja langsung meraihnya. Meski terasa tidak enak di lidah, Anggita akui minuman itu dapat sedikit meredakan mabuknya.

"Nyokap mana?" tanya Anggita padanya. Mata merahnya menatap malas.

"Meneketehe! Bukan urusan gue!" jawabnya ketus.

"Ck ... Kak, lo nggak boleh gitu sama nyokap. Gitu-gitu, dia udah berusaha keras buat dapetin hati lo."

"Iya, dengan nyodorin gue ke tua-tua keladi macam Om Hasan. Sinting!"

"Hush! Nggak baik ngatain orangtua. Gitu-gitu Om Hasan ganteng, lho! Makin tua makin jadi, macam Tom Cruise." Anggita mengedip-ngedipkan matanya dengan cara yang menggoda.

"Idiiih, lo aja sana yang pacaran sama dia! Gue sih ogah!"

"Hihihi ... gue sih mau aja, udah tampang oke, kumis nggak nahan, body sispek, banyak pengalaman di atas ranjang, tajir melintir lagi. Wagelaseeeh kalo gue nolak. Sayangnya ... dia nggak doyan sama gue. Doyannya sama perawan macam lo, Kak," balasnya terkekeh kencang.

"Emang bener ya mabok itu bikin otak nggak beres plus ngeres. Kayak lo nih contohnya!" Satu toyoran mampir di jidat Anggita.

"Duh ... duh ... duh, pagi-pagi dengerin putri-putri cantiknya mama ngebahas Tom Cruise." Suara Retha datang dari arah belakang punggung Amara. Seketika ia mengatup mulutnya yang tadi hendak kembali membalas komentar absurd adiknya. Amara menunduk menatap semangkuk salad buah di hadapannya. Menu sarapan rutinnya semenjak tinggal di rumah ini.

"Morning, ma!" sapa Anggita dengan mulut penuh roti.

"Pagi, Sayang." Retha mengecup dahi putri bungsunya itu. Lalu beralih untuk melakukan hal yang sama pada Amara, namun dengan gerakan cepat ia mampu menghindar. Tak sudi rasanya menerima kecupan sayang dari seorang pengkhianat dalam hidupnya.

Retha menghela napas perlahan. Berusaha bersabar dengan aksi penolakan yang dilancarkan oleh putri sulungnya setiap pagi. Lalu ia menempati posisi duduk di sebelah Amara. Memandang lekat putrinya yang terlihat menyantap salad berkuah yoghurt itu dengan serius.

"Ra, kata Om Hasan kemarin dia datang ke kantor kamu."

Amara diam saja. Sibuk mengunyah dan menelan.

"Katanya lagi-lagi kamu bersikap kasar dengan dia."

Amara masih betah diam. Hanya terdengar suara 'kriuk' kunyahan selada dari dalam mulutnya. Anggita turut mengamati wajah sang kakak yang menurutnya sedang berusaha membendung emosi. Terlihat sebelah tangannya sudah terkepal di atas meja.

Retha lagi-lagi menghembuskan napas lelah. Selalu begini jika mengajak bicara putri sulungnya itu. Entah kapan Amara siap berkomunikasi intens dengannya seperti halnya Anggita.

"Ma, Kak Mara nggak mau dijodohin sama Om Hasan. Ngapain sih Mama maksa? Mending dijodohin sama Gita aja. Nggak bakal nolak, kok!" Anggita mengerjap-ngerjapkan matanya ke arah sang mama. Berusaha mencari peluang dalam kesempitan.

"Ya kalo Om Hasan mau sama kamu, Mama sih oke aja. Nah dia maunya sama kakak kamu. Terus Mama harus gimana?" Retha berpangku tangan di atas meja seraya melayangkan lirikan pada Amara.

Amara menahan geram dalam hati. Benar kan, mamanya ini sudah nggak waras? Bisa-bisanya berkata seperti itu. Ia tak yakin banyak ibu di dunia ini yang tega menyodorkan anak gadisnya untuk dinikahi oleh kakek-kakek bau tanah. Mungkin satu banding semilyar. Dan mamanya ini pemilik angka satu itu.

"Ya udah sih, Ma. Ditolak aja, daripada Kak Mara jadi stres gitu ngadepin tingkah Om Hasan yang kegatelan," imbuh Anggita berusaha jujur. Ia tak tega juga melihat kakaknya yang lelah menghadapi kelakuan para hidung belang. Beda hal dengan Anggita, ia justru akan senang hati meladeni mereka semua. Bedakan antara perawan dengan yang sering ditawan.

Lagi-lagi Retha memandangi Amara dengan sorot iba. Usia putrinya ini sudah 32 tahun. Mau sampai kapan betah jadi perawan? Sampai rahimnya kendor? Lagipula, apa susahnya bagi seorang wanita sempurna seperti Amara untuk mencari seorang pendamping hidup? Retha saja dulu sudah menikah di usia 18 tahun. Lebih tepatnya, terburu-buru menikah. Akibat jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Pak Dosen Ganesha, ayah dari kedua putri cantiknya ini.

"Ra, kamu beneran nggak mau sama Om Hasan? Mama tau dia udah nggak muda lagi. Tapi dia keliatan cinta banget sama kamu, Mama sih berharap dia benar-benar bisa membahagiakan kamu lahir dan batin."

Dan juga memperkaya Mama dunia akhirat! Batinnya menyambung.

Amara berusaha cepat-cepat menghabiskan sarapannya. Sesekali ia tersedak karena berusaha menelan potongan buah yang masih berupa bongkahan. Ingin sekali rasanya menyingkir dari tempat itu saat ini juga. Topik ini sudah melenceng kemana-mana.

"Ma, kenapa Om Hasan nggak nikahin Mama aja? Mama juga masih seksi, kok. Masih ada rasanya laaah kalo diicip-icip."

Amara tersedak! Ia menenggak segelas air putih di sampingnya hingga tak bersisa. Sungguh pembahasan yang tidak normal di pagi hari. Entah bagaimana sang mama mendidik adiknya hingga level kemesumannya ini terbilang parah.

"Hush! Ngawur kamu! Nggak mungkinlah Mama sama Om Hasan, nggak bakal ada rasanya di Mama kalo icip-icip dia."

Like mother like daughter! Benar, kan? Mamanya memang benar-benar butuh konsultasi kejiwaan. Untung saja kali ini Amara mampu mengendalikan diri, sehingga tidak ada lagi bongkahan buah yang tersangkut di kerongkongannya.

"Aku pergi!" Amara segera beranjak dari duduknya.

"Lho, Mama belum selesai ngomong, Ra." Tangan kanan Retha mencengkeram lengannya. Mencegahnya untuk kabur dari ruangan itu.

Amara melirik tajam ke arah lengannya. Mengindikasikan agar Retha segera menyingkirkan tangannya. Retha pun mengerti lalu melepasnya. Ia ikut berdiri, sejajar dengan putri pertamanya itu. Kali ini melayangkan sorot tajam yang sama. Mimik wajahnya berubah serius. Persis seperti mimik yang selalu ditampilkannya saat menghadapi klien atau meeting besar dengan para karyawan.

"Ra, Mama akan berhenti."

"Maksudnya?" Kali ini ia lantang bersuara.

"Mama akan berhenti mengenalkan kamu ke para relasi Mama dengan satu syarat."

Amara mulai tertarik untuk menyimak. Menatap baik-baik tepat ke manik mata wanita tua itu. Memberi kesempatan baginya untuk melanjutkan kalimat yang terjeda sesaat.

Retha menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan menampilkan wajah angkuh.

Perang tatapan antar keduanya mencuri perhatian Anggita yang sejak tadi sibuk mengurut dahi.

"Pesta akhir tahun! Bawa ke Mama calon suami pilihan kamu! Atau ... terpaksa Mama terima pinangan dari Om Hasan."

Amara mengulas senyum miring. Balas bersikap angkuh.

"Baiklah, ibu Retha yang terhormat. Challenge accepted!"

.

.

=======================

.

.

Amara yang sejak tadi gelisah berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya. Gila! Dirinya sudah gila nekat menerima tantangan yang dilontarkan oleh sang presdir, Retha.

Pesta akhir tahun perusahaan! Itu artinya empat bulan dari sekarang. Empat bulan mencari cinta. Persis judul-judul sinetron FTV. Memangnya bisa jatuh cinta sesingkat itu? Mungkin perempuan lain di luar sana bisa merasakan cinta kilat. Tapi tidak dirinya, hal-hal ajaib seperti ini belum pernah terjadi pada dirinya. Dan tidak main-main pertaruhannya. Jika kalah, ia harus rela menjadi istri ke-enam si playboy jompo itu.

Sejak tadi otaknya bekerja keras, menghitung probabilitas peluang ia bisa menaklukkan hati Razi secepat itu. Karena ia tahu jika pria itu tidak mudah untuk ditaklukkan. Dan Amara sendiri bukanlah seorang penakluk.

Apa ia jebak saja Razi agar mau segera menikahinya? Amara menggeleng-gelengkan kepala. Jika ia nekat bugil di depan pria itu saja, jangankan disosor, yang ada diseret ke ustadz untuk dirukiyah. Bayangan akan hal-hal seperti ini justru semakin menjadikan otaknya buntu.

Alternatif terakhir, ia merubah penampilannya menjadi syar'i dan tertutup macam wanita-wanita sholehah yang katanya calon bidadari surga. Melihat bagaimana kemarin Razi menolak berjabat tangan dengannya, atau menunduk saat Amara menatapnya intens, sepertinya pria itu sudah kembali ke jalan yang benar.

Bagaimana mungkin dirinya yang penuh noda itu menjadi wanita solehah? Ibadah lima waktu saja sudah lama sekali ditinggalkannya. Itu pun hanya dijalankannya dulu saat menuntut ilmu di islamic boarding-school. Lulus dari sekolah itu, Amara langsung melepas atribut keislamannya, bergelut dengan dunia malam. Ada cerita di balik peristiwa itu.

Tuuut ... tuuut. Dering teleponnya berbunyi.

"Ya, Sa?"

"Ada telepon, Bu. Dari pria bernama Arsan."

Amara terkesiap. Pucuk dicinta ulam pun tiba!

"Sambungkan!"

"Assalamu'alaikum," sapa Razi dari seberang sana.

"Wa'alaikum salam. Hai, San." Amara menjawab dengan senyum sumringah. Berharap pria itu mampu melihat senyumnya lewat mata batin.

"Maaf, apa aku mengganggu? Kamu sedang sibuk?"

Amara duduk di tepian meja. Sebelah tangannya sibuk memainkan ujung rambutnya yang ikal. Persis gadis remaja yang sedang malu-malu.

"Eh, eng—enggak, kok. Ada apa, San?" Amara menyentuh dadanya. Meraba-raba kabar jantungnya. Debaran itu ada, namun kenapa tidak berpacu cepat?

"Mau membicarakan kelanjutan project yang kamu tawarkan kemarin."

"Ooohhh ...," desahnya kecewa.

"Mungkin kita bisa ketemu lusa?"

"Oh, lusa ya ... sebenarnya hari ini kerjaanku juga nggak terlalu banyak. Gimana kalo nanti sore aja?" tukasnya penuh semangat.

Rasanya lebih cepat lebih baik. Kemungkinan sinaps-sinaps di otaknya bisa bekerja lebih cepat mengirimkan sinyal-sinyal ke jantungnya untuk belajar mencintai pria tampan ini.

"Maaf, nanti sore aku harus terbang ke Semarang. Ada urusan keluarga."

Amara menganga kecewa. Tangan kirinya memukul-mukul permukaan meja dengan pulpen.

"Ooh, ya udah, nggak apa-apa. Ehm, lusa juga oke. Nanti aku minta sekretarisku untuk jadwalkan." Amara membuka tabletnya, membaca jadwalnya hingga tiga hari kedepan.

Setelah mencapai kesepakatan, Amara menutup telepon dengan kesal. Kenapa juga harus lusa? Padahal hari itu jadwalnya padat. Ada tiga meeting yang harus dihadirinya. Bagaimana caranya mencari celah waktu?

Amara meraih tote-bag‐nya. Di saat-saat otaknya mampet begini, ia butuh pengalihan. Amara berjalan keluar dari ruangannya. Beberapa langkah melewati meja Sasha, langkahnya terhenti. Lalu kembali mundur beberapa langkah hingga menoleh ke arah sekretarisnya yang sedang sibuk mengetik.

"Sa, meeting hari rabu dengan PT. Ayodhya bisa dimundur jadi hari jum'at?"

"Emmm ... sepertinya nggak bisa, Bu. Karena Bu Retha akan hadir juga di meeting itu. Kata asistennya, jum'at Bu Retha terbang ke Makassar."

"Kalau dengan PT. Trilantas? Bisa dimundurin nggak?"

"Emmm ... nanti saya coba hubungi Pak Dino, manajernya."

"Kalau begitu kamu bilang ke Pak Dino, meeting dimundur jum'at pagi. Saya perlu jadwal kosong di kamis siang."

"Maaf Bu, kalau boleh tahu untuk apa?" Sasha mengernyit penasaran.

"Saya ada janji temu dengan Pak Arsan tadi," jawabnya dengan wajah memerah.

"Maaf, Bu. Pak Arsan itu siapa, ya? Kok saya belum pernah dengar namanya? Dari PT apa?"

Amara menautkan kedua alisnya. Baru saja terpikirkan jika ia juga lupa menanyakan nama perusahaan Razi. Lalu seketika ia teringat, Galang! Tanyakan saja pada teman SMA-nya itu.

"Arsan itu ... calon suami saya."

Sasha sontak terperangah mendengar jawaban itu.

"Oh ya, saya mau ke kampus. Kamu boleh istirahat dari sekarang." Mumpung mood-nya sedang baik, tak apalah sekali-kali berbuat baik. Toh, Sasha juga sudah bekerja keras hingga setia menemaninya untuk lembur beberapa hari ini. Tidak ada salahnya memberi bonus waktu pada karyawan yang berdedikasi, bukan?

"Be—beneran, Bu?" Bola mata Sasha membelalak lebar seakan tidak percaya. Pasalnya, jangankan memberi bonus waktu istirahat, diberi waktu untuk istirahat untuk makan siang saja jarang. Sebagian besar waktunya hanya dihabiskan di depan layar atau mengintil bosnya ini kemana-mana. Sepertinya ia harus berterima kasih pada pria bernama Arsan itu. Belum pernah ia melihat bosnya ini mesam-mesem nggak jelas persis ABG sedang jatuh cinta.

"Kamu pikir saya bercanda? Tapi terserah sih kalo kamu emang betah duduk di situ," jawabnya cuek sambil lanjut berjalan menuju lift.

.

.

=========================

.

.

Amara tiba di kantor kedua, kampus tempatnya bekerja sebagai dosen sekaligus dekan. Syukurlah perguruan tinggi ini memberinya keringanan untuk tidak wajib setor muka setiap harinya. Mempermudahnya membagi waktu antara PT. Selona dengan Universitas Garuda. Mungkin kampus ini takut kehilangan tenaga pengajar yang berkualitas seperti dirinya. Ini hanya pendapat dari hatinya yang sombong.

Sebenarnya hari ini, Amara tidak memiliki jadwal mengajar. Ia hanya ingin mampir ke gedung perpustakaan kampus ini. Tempat inilah yang menjadi persinggahannya manakala ia mengalami kram otak ataupun lelah dengan rutinitas. Ia akan menghabiskan waktu berjam-jam dengan membaca buku atau sekedar mencari bacaan untuk dibawa pulang ke rumah.

Amara adalah wanita yang serba terorganisir. Untuk menentukan bahan bacaan saja, ia mengikuti nomor urut susunan rak yang tercantum di paling atas. Buku apa saja akan ia baca, tanpa kecuali. Catat! Akan dibaca, bukan dipahami. Ia baca, bukan berarti ia paham.

Amara menyimak catatan di tabletnya. Tiga hari yang lalu, ia baru saja khatam menyelesaikan buku-buku di rak K Sekarang saatnya beranjak ke rak L. Dan matanya menyorot pada satu buku di sudut rak itu dengan penuh minat . Law of Connection oleh Michael J Losier.

Amara tersentak. Saat hendak meraih buku itu, bukannya sampul buku itu yang tersentuh, melainkan tangan seseorang yang berdiri di sebelahnya. Orang itu refleks menarik tangan terlebih dahulu. Sedangkan jemari Amara tetap bertengger di buku itu. Matanya melirik. Ternyata seorang pria.

"Maaf," ucap pria itu lalu melenggang pergi. Amara memperhatikan postur dan wajahnya, merasa asing. Sepertinya bukan salah seorang civitas di kampusnya.

"Hei, kamu mau buku ini?" panggil Amara dengan suara sedang. Dilarang berisik di perpustakaan.

Pria itu menghentikan langkahnya lalu menoleh sesaat. "Tidak, terima kasih. Anda saja."

Amara menatap punggungnya yang tetap berjalan menjauh. Tumben ada lelaki yang tidak menyadari keberadaan seorang bidadari cantik seperti dirinya. Padahal tampilannya sudah oke banget.

Amara hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. Abaikan saja pria itu, mungkin matanya minus dan kacamatanya tertinggal di rumah.

Selesai meminjam buku, Amara beranjak pergi menuju kantin di fakultas teknik. Awalnya Amara berniat untuk menghabiskan waktu membaca di ruangannya. Namun ia tak bisa mengelak dari demo cacing-cacing dalam perut, mereka sudah kehabisan bahan makanan untuk diproses. Apalagi tadi pagi ia tidak menghabiskan sarapannya.

Seperti biasa, Amara menyantap soto betawi favoritnya. Karena ia hanya bisa menyantap makanan berlemak di luar rumah saja. Menu yang selalu dihidangkan di rumah mamanya itu tidak beda jauh dengan menu hidangan rumah sakit. Makanan sehat tanpa rasa.

Ditengah-tengah menyesap kenikmatan dari kuah santan, matanya tak sengaja tertuju pada meja arah jam 11.

Pria yang ia lihat di perpustakaan tadi, sedang duduk sendiri menikmati hidangan yang sama dengannya sambil membaca buku.

Sungguh pemandangan ini mengusik pikirannya. Amara paling tidak suka melihat seseorang menikmati makanan disambi dengan melakukan kegiatan lainnya. Apalagi sambil membaca buku. Baginya, untuk membaca buku itu memerlukan waktu khusus, ketenangan, dan kekhusyukan.

Tiba-tiba datang dari arah belakangnya seorang wanita berjilbab dan bergamis syar'i menutup mata pria itu. Mungkin sengaja ingin mengejutkan pria itu dengan kehadirannya. Tapi lihat saja, pria itu tidak terkejut sama sekali. Ia hanya mengumbar senyum manis. Lalu menggenggam tangan wanita itu.

Cih, basi! Amara mencibir tindakan wanita itu dalam hati.

Sok solehah tapi main sentuh-sentuh juga. Munafik!

Amara kenal wanita itu. Dia adalah Sakya Marissa, dosen mata kuliah Gambar Teknik di fakultas ini. Yang ia ketahui, Sakya juga merupakan salah satu pengurus keputrian masjid kampus.

Berkat sikapnya yang lemah lembut, parasnya yang memang — sebut saja meneduhkan bagi para kaum adam, Sakya menjadi target utama para jomblo berpedang. Mereka berlomba-lomba mendekati wanita yang katanya tidak mau bersentuhan dengan lawan jenis itu. Sayang beribu sayang, tidak ada satupun yang ditanggapi olehnya.

Coba yang didekati Amara, belum tentu ditanggapi juga sih, tapi setidaknya Amara masih mau diajak bersentuhan.

Tanpa sadar, Amara memicingkan mata kesal ke arah keduanya. Dan sekilas, pria itu memperhatikan tatapan angkuhnya. Tak sengaja, Amara kini bersitatap dengan pria itu. Tatapan angkuhnya justru dibalas dengan seulas senyuman.

Amara menunduk. Mengalihkan tatapannya kembali ke arah mangkuk soto. Berpura-pura tidak menyadari senyuman yang seketika menjadikannya gelisah.

Sambil menghabiskan kuah soto, sesekali Amara melirik lewat sudut matanya. Kali ini ia tidak bisa mencegah matanya yang usil penasaran dengan sepasang anak manusia di hadapannya itu. Lihat saja, keduanya saling menggoda satu sama lain, melempar tawa, meledek, bahkan sang pria mencubit pipi Sakya dengan gemasnya. Amara melempar tatapan bengis. Menjijikkan!

Lampu layar ponselnya di atas meja menyala. Terlihat sebuah notifikasi pesan masuk.

Kaaak, jemput gue dong! Mobil mogok. Venus pool ya! Right now! GPL!

Amara menghembus kasar. Sudahlah dibuat kesal dengan pemandangan didepannya, ditambah lagi dengan Anggita yang seenak-enaknya saja memberi perintah. Naik taksi online juga bisa, kenapa juga harus merepotkan Amara? Tapi salahnya juga, mau saja kalau disuruh-suruh oleh adiknya itu.

Amara bangkit dari duduknya lalu membayar di kasir. Sudut matanya masih saja gatal melirik ke arah dua sejoli itu.

Busted! Kali ini lirikannya kembali tertangkap basah oleh pria itu. Kali ini tidak ada lagi senyum yang ditujukan untuknya. Pria itu menyorot tajam. Amara bergegas pergi, meninggalkan tempat itu dengan rutukan dalam hati. Sementara pria itu menatapi punggungnya yang tak berapa lama menghilang dari pandangan.

.

.

=======================