Tak masalah jika aku harus mengucapkan salam perkenalan ribuan kali_Dastan.
.
.
.
Rumah besar di kawasan Panglima Sudirman, Jakarta, itu terlihat sangat lengang, kosong tanpa penghuni. Di rumah ini, Binar memang hanya tinggal berdua dengan Bi Sarni, pembantu keluarga Seno sejak dia masih kecil. Kedua orangtuanya memilih untuk tinggal di Amerika sedangkan Binar memilih untuk tetap tinggal di Jakarta. Ada satu hal yang perlu dia lakukan di Jakarta.
"Mau makan malam apa, Den?" tanya Bi Sarni saat menghampiri Binar yang baru pulang sekolah.
"Nggak usah, Bi. Nanti malam Binar makan di luar," sahut Binar lantas pergi ke kamarnya yang berada di lantai atas. Pria itu mengabaikan Bi Surti seperti biasanya.
Bi Sarni hanya geleng-geleng kepala sembari menatap iba putra majikannya itu. Sudah seminggu ini Binar tidak pernah makan di rumah, sepulang sekolah dia selalu keluar rumah, pulang larut malam dan langsung tidur. Pernah sekali waktu dia tidak pulang ke rumah, kembali saat subuh, langsung mandi, ganti baju seragam dan kemudian pergi lagi.
"Bi Sarni!" teriak Binar dari ujung tangga. "Dapat undangan lagi dari kepala sekolah, kangen Bu, Minggu lalu nggak ketemu Bibi," imbuhnya tertawa geli saat melihat reaksi Bi Sarni. Lelaki itu bergegas ke kamarnya, meninggalkan wanita yang tengah mengelus dada merapal mantra istighfar.
"Duh, Gusti. Kapan Tuan Binar jadi anak yang baik? Setiap Minggu selalu saja bikin masalah. Baru juga Minggu kemarin tenang adem ayem dia nggak bikin ulah, eh, sekarang dipanggil lagi," keluh Bu Sarni yang menjadi langganan datang ke sekolah menggantikan wali Binar.
Binar Senoaji memang terkenal nakal. Suka berbuat onar. Membuat orang-orang hilang akal. Reputasinya yang buruk sudah tak asing lagi bagi penghuni Deandles, murid-murid atau bahkan guru sekalipun.
*****
Skala memasuki cafe Delamor sembari berbicara dengan Mamanya di telfon. Gadis itu melihat ke sekeliling, mencari keberadaan seseorang yang memiliki janji temu dengannya.
"Iya, Ma. Aku ketemunya sama Gia. Pak Udin juga aku suruh nunggu di luar kafe kok."
"Ya sudah, kamu hati-hati."
"Hehm. Aku tutup ya."
Skala memasukan ponselnya ke dalam tas, melihat ke sekeliling lagi.
"Gia! Sini!" panggil gadis berambut ikal yang duduk di meja dekat dinding kaca.
Skala menoleh ke arah si pemanggil, tersenyum pada gadis cantik berseragam merah marun yang melambaikan tangan ke arahnya. Dia segera menghampiri gadis itu lalu duduk di hadapannya.
"Astaga, Skala! Lo masih utuh ternyata," ceriwis Gia heboh.
"Ya iyalah, masih utuh. Emang siapa yang mau makan gue?" canda Skala tertawa lebar.
"Ih, Skala! Lo 'kan sekolah di sekolah mu...."
"Gia, ada telfon dari Gelar!" potong Dastan secepat mungkin mengubah topik pembicaraan.
"Mana?" Gia segera mengecek ponselnya di atas meja, namun tidak ada nama Gelar yang muncul di layar ponsel itu. "Ih, Dastan! Lo bohongin gue, ya?" teriak Gia sewot.
Dastan melirik Gia, memberi kode agar gadis itu tidak membuka suara perihal sekolah Deandles. Gia pun dapat menangkap kode tersebut dan langsung tersenyum canggung ke arah Skala.
"Maksud lo?"
"Maksud gue... lo 'kan pertama kali masuk ke sekolah baru, pasti gugup banget, 'kan? Takutnya ntar lo nggak diterima, anak-anaknya pada songong atau gimana gitu," oceh Gia memberi alasan.
"Emang agak aneh, sih," gumam Skala pelan. Teringat dengan tatapan aneh yang di layangkan penghuni Deandles untuknya.
"Aneh apanya?" tanya Dastan was-was, lelaki itu menatap serius ke arah Skala.
"Gue merasa kalau anak-anak di Deandles pada ngelihatin gue, tatapannya kayak gimana gitu. Setiap gue jalan, selalu di lihatin," curhat Skala. "Ah, tapi mungkin cuma perasaan gue aja kali ya," imbuhnya kemudian. Mencoba untuk berfikir positif.
"Tapi lo nggak di apa-apa in, 'kan? Lo nggak terluka, 'kan?" tanya Dastan mengamati penampilan Skala, lega karena gadis itu baik-baik saja.
"Ehm, iya aku baik-baik aja. Ngomong-ngomong... kamu siapa? Pacar Gia?" tanya Skala pada Dastan.
"Bukan," sahut Dastan cepat.
"Terus siapa?" tanya Skala penasaran. Gadis itu merasa asing dengan wajah pria yang duduk di sebelah Gia.
Dastan terlihat salah tingkah, bingung harus menjawab apa. Begitu juga dengan Gia yang duduk di sebelah lelaki itu.
"Ee, aku... kamu benar nggak ingat sama aku?" tanya Dastan lirih.
Dalam sedetik Skala dapat melihat kesedihan di mata lelaki di hadapannya, hanya sedetik namun berhasil mengusiknya.
Haruskah Skala mengingat lelaki itu?
Kenapa dia terlihat sedih karena Skala tidak mengingatnya?
"Aku...." Skala terlihat bingung dan merasa bersalah. Gadis itu entah kenapa merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa, kalau memang nggak ingat. Namaku Dastan, aku satu sekolah sama Gia. Salam kenal, Skala." Dastan berujar pelan, kemudian mengulurkan tangannya ke arah Skala.
Fikirannya kembali melintas saat pertama kali berkenalan dengan Skala, gadis cantik dengan aksesoris MOS yang membuatnya terlihat lucu.
Saat itu Dastan mengamati Skala dari pinggir lapangan, gadis itu sedang di hukum di tengah lapangan. Berdiri dan hormat ke arah tiang bendera. Terik matahari yang menyengat membuat gadis itu mengernyit kepanasan.
Dastan melirik botol minuman di tangannya dan kemudian berinisiatif untuk memberikan minuman tersebut kepada gadis itu.
"Minum gih, repot kalau nanti Lo pingsan," decak Dastan menyerahkan botol minuman di hadapan Skala.
Gadis itu hanya memandang Dastan dalam diam. Tak menerima botol minuman yang disodorkan oleh lelaki itu.
"Jangan bengong aja, pegel nih tangan gue," sentak Dastan tak sabar.
"Makasih," gumam Skala meraih botol tersebut.
Begitu melihat Skala meminum minuman pemberiannya, Dastan bergegas pergi tanpa bicara apa-apa lagi.
Skala melihat punggung Dastan yang menjauh. Tersenyum kecil saat lelaki itu menggaruk rambut belakangnya.
"Salam kenal, Dastan," balas Skala lalu menjabat tangan lelaki bernama Dastan itu. Skala mengamati tangannya yang tertaut dengan tangan lelaki itu, ada getaran halus yang merambat hingga dia melepas tautan tersebut. Merasa aneh dengan apa yang ia rasakan sekarang.
"Kenapa, La?" tanya Gia yang menangkap sikap aneh Skala.
"Hah? Enggak apa-apa kok." Skala mencoba tersenyum walaupun canggung. "Ehm, kalau kalian berdua satu sekolah, berarti kita dulu juga pernah satu sekolah dong ya. Kita satu kelas?" tanyanya kemudian mencoba mengalihkan topik.
"Dia di IPS, La." Gia yang menjawab pertanyaan Skala.
"Oh." Skala mengangguk paham. "Tapi kita kenal nggak?" tanyanya penasaran.
Kenal, La. Akrab banget malah. Dastan menatap dalam-dalam mata Skala, mencoba menelisik apa yang difikirkan gadis itu.
"Iya."
"Oh, ya. Kenal gimana? Maksudnya akrab atau enggak? Terus kenal dimana? Berapa lama? Kita..."
"Lo kayak detektif aja," komentar Dastan memotong kalimat tanya Skala.
"Hahahaha." Skala hanya tertawa salah tingkah.
Diam-diam Gia memberi senyum tipis ke arah Dastan, memberi lelaki itu dukungan. Dastan pasti sedih karena Skala melupakannya. Pertemuan ini merupakan awal mula yang cukup bagus untuk keduanya. Mereka bisa mengulang kisah dari awal, tidak sulit untuk jatuh hati kepada Dastan.