Terjebak bersama Vano, itu adalah salah satu kejadian buruk dalam hidup Galena yang pernah ia alami.
Kini mereka berdua sedang makan di food court, Vano terlihat rakus sekali memakan makanannya hingga membuat Galena bergidik ngeri melihat Vano melahap daging dengan kasar. Vano seperti orang yang belum di beri asupan selama berhari-hari.
Melihat Vano yang makan seperti itu, membuat nafsu makan Galena menguap seketika. Galena memberhentikan makannya yang tinggal tersisa setengah piring kemudian meneguk minumannya hingga tersisa seperempatnya. Sedangkan makanan Vano kini sudah memasuki piring ke dua.
"Lo udah gak makan seminggu Van?" Galena membuka suaranya.
"Gue belum makan dari semalam," jawab Vano di sela-sela makannya.
Galena tercengang mendengar hal itu, baru Vano tidak makan dari semalam saja sudah makan seperti ini apa lagi jika Vano tak makan selama seminggu atau bahkan setahun? Galena tidak bisa membayangkannya.
"Lo gak bawa tas Na?" Tanya Vano ketika menyadari jika gadis di hadapannya sedari tadi hanya membawa kantung plastik yang berisi dua buah novel saja.
Galena menggeleng. "Kalau pergi kayak gini gue gak suka bawa tas,"
Vano mengangguk anggukan kepalanya seraya mengunyah kembali dagingnya. Ia baru pertama kali menemukan gadis seperti Galena.
"Kan kalau lo rapih kayak gitu jadi enak buat di liat. Coba kalau sebelum gue bawa lo ke salon, udah kayak singa bangun tidur lo," komentar Vano sebelum melahap makannya.
Galena menaikkan alisnya sebelah. "Emang lo pernah liat singa bangun tidur?"
"Pernah. Elo'kan?" jawab Vano asal.
"Sialan," umpat Galena. Vano tertawa mendengar Galena mengumpat.
"Lagian lo percaya aja. Itu cuma perumpamaan,"
Galena mengedikkan bahunya tak acuh. "I don't care about people talk about myself."
Baru Vano membuka mulutnya, Galena kembali berbicara.
"Gak ada yang berhak mengatur hidup gue, termasuk orang tua gue sekalipun." lanjutnya.
"Emangnya kenapa orang tua lo sendiri gak berhak atur—" pertanyaan Vano terhenti ketika ponselnya berdering yang menandakan adanya panggilan masuk.
Vano menghela napas membaca nama penelpon di layar ponselnya yang sedang menyala. Untung saja Vanya—ibu Vano yang meneleponnya. Coba kalau temannya, pasti Vano akan langsung otw memblokir kontaknya
Gara-gara ada panggilan masuk, Vano harus menahan pertanyaannya tentang kedua orang tua Galena. Ah, lagi-lagi, usahanya gagal untuk memancing Galena bercerita mengenai kehidupan pribadinya.
Beruntung saja ponsel Vano letakkan di atas meja sebelum makan, karena ia tidak perlu repot-repot sebab kedua tangannya telah kotor oleh macam-macam saus.
"Na, angkatin teleponnya." Suruh Vano seenak jidat kepada Galena.
Galena menatap Vano dengan tatapan menolak. "Lo masih punya dua tangan kenapa mesti nyuruh gue? Mau gue copot tangan satunya?"
Vano menunjukkan kedua telapak tangannya. "Lo gak liat tangan gue kotor?" balasnya tak mau kalah. Memang benar, kedua tangan Vano sudah terlumuri kecap dan saos. Seperti anak kecil yang selalu makan dengan berantakan.
"Kalau ternyata nyokap gue telepon buat hal penting gimana?" Sela Vano sebelum Galena menolak permintaannya tadi, ralat, perintah.
Dengan ogah-ogahan, Galena menggeser slide hijau itu kemudian mengaktifkan loadspeake. Di dekatkanlah ponsel Vano ke arah Vano. Lama-lama Galena menjadi sangat sebal dengan sifat bossy Vano.
"Halo ma? Passwordnya? Anoa purple coffee?" Vano membuka pembicaraan layaknya telepon kuis berhadiah.
{Mama mama. Ini papa. Di kira lagi kuis berhadiah apa}
"Jawaban anda benar! Selamat! Anda mendapatkan dua juta rupiah di potong pajak!" balas Vano semakin ngaco.
{Edan emang anak gue! Papa lagi serius Vano! Lagi buru-buru ini!}
Vano kembali menggigit potongan lobster dengan santai. "Lagian ngapain coba telepon pakai handphone mama? Punya handphone sendiri'kan papa? Jangan kayak orang susah dong,"
Dari sebarang telepon, sudah ketara sekali bahwa David—ayah Vano sedang berusaha sabar. Anaknya cuma memang satu, tapi menguji kesabaran David sudah seperti mengurus sepuluh anak.
{Papa mau ke Paris, Vano}
"Oh? Ya udah." balas Vano tanpa ekspresi.
Galena yang mendengar pembicaraan antara ayah dan anak itu hanya bisa menghela napas. Rupanya tingkah absurd Vano bukan hanya di sekolah, melainkan di rumah juga.
{Vano...} David masih berusaha sabar.
"Ya terus ngapain pakai telpon Vano segala? Biasanya juga papa langsung terbang gitu aja. Emang begini adanya. Yang penting hayu, meluncur."
{Kamu ngusir papa, heh?}
"Vano gak bilang tuh ngusir papa." balas Vano santai.
{Si Amat makan tomat, bodo amat. Kamu gak inget sekarang jadwal mama ke Paris juga buat ngurus perusahaan?}
Vano membulatkan matanya meskipun ia sangat tahu David tak bisa melihat reaksinya saat ini. "Papa aja sana yang ke Paris, jangan embat mama juga." ujar Vano dengan nada memohon.
{Kayaknya kamu ketuker deh di rumah sakit.} Gumam David tapi masih terdengar jelas di ponsel Vano meskipun dengan suara yang kecil.
{Seminggu doang di Parisnya, paling lambat 2 minggu lah}
"Perasaan papa sebulan sekali ke Paris tapi kenapa gak pernah ajak Vano?"
{Kamu mau bolos sekolah? kamu udah lahir dan tinggal di sana sampai 3 tahun, masih belum puas?}
"Oh iya, lupa kalau Vano anak papa David."
{Astaga, Vano jangan bikin papa darting deh. Udah ah, tadinya papa mau minta antar kamu ke bandara tapi kamu lagi keluar habitat. Papa sama mama berangkat ya di antar Vino. Sampai ketemu 2 minggu lagi. Gak ada oleh-oleh seperti biasa—}
"Eh tunggu pa!" Cegat Vano sebelum David menutup panggilannya itu.
"Apa lagi?"
"Titip salam penuh cinta dari Vano buat papa Gabriel tercinta di negri Prancis sebrang sana," ujar Vano dengan suara yang di imut imutkan.
"Habiskanlah waktumu bersama motor hitam kesayangan kamu sebelum papa pulang dan mengucapkan selamat tingal,"
Bip
Panggilan seketika di tutup begitu saja dari pihak David membuat Vano menatap ponselnya itu jengah. Meskipun umur papanya sudah berkepala empat, tapi tak membuat sikap menyebalkan papanya itu menghilang begitu saja.
"Mampus," gumam Vano panik, karena selama di hidupnya papanya itu tidak pernah main main dengan ucapannya. Baiklah, sebelum David menjual motor hitam kesayangannya itu Vano harus membujuk Vanya agar tidak membiarkan hal itu terjadi.
Galena langsung menggeletakan ponsel Vano di atas meja begitu saja, rasanya tangan Galena ingin patah karena memegang ponsel Vano di udara. Oke, itu berlebihan. Intinya tangan Galena kini terasa pegal.
Galena menempelkan dahinya di atas meja, Vano sendiri pun sudah hilang dari pandangannya. Mungkin lelaki itu sedang mencuci kedua tangannya.
Dalam hati kecil Galena, Ia iri kepada Vano. Sepertinya keluarga Vano begitu harmonis, berbanding terbalik dengan keluarganya. Galena menyimpulkan hal tersebut berdasarkan dari percakapan antara papa Vano dengan Vano tadi.
Tunggu, tadi papa Vano menyebut Paris? Apakah mama Vano orang Eropa? Tapi Galena sendiri tak melihat wajah blasteran Vano. Vano terlihat seperti orang Indonesia murni 100%.
Rasanya terlalu jauh jika lelaki absurd macam Vano memiliki sejuta urusan di kota mode tersebut. Ah, sepertinya Galena sudah meremehkan Vano sejak awal.
Galena pun tidak bisa membayangkan jika papa Vano adalah orang Eropa. Dari gaya berbicaranya saja sudah menunjukan jika papa Vano adalah 100% warga Indonesia asli.
"Ada lagi yang mau lo beli gak?" Suara bariton itu membuat Galena mendongkak. Galena menatap Vano yang sudah berdiri di sampingnya dari atas hingga bawah. Ternyata Vano tampak lebih tampan dengan pakian casualnya.
Galena bergumam sebentar. "Eum, Enggak."
"Yowes, ayo balik." Vano memasukkan ponsel ke dalam sakunya kemudian berjalan keluar food court setelah membayar pesanan.
Galena berlari kecil menyusul Vano, langkah lelaki itu terlalu lebar sehingga Galena sedikit kesulitan untuk menyamakan langkah kaki mereka.
Dalam hati, Galena berterima kasih kepada Vano. Tanpa sadar, kehadiran lelaki itu membuat Galena lupa akan masalah yang sedang mengelilinginya.