Masuklah Lili dengan wajah kahawatirnya.
"Kak," panggil Lili pelan agar tidak mengganggu Monica yang sudah terlelap.
Galena menoleh kepada Lili. "Lo berangkat aja ke sekolah. Gak usah khawatir,"
"Tapi—" Lili berusaha memprotesnya tapi lagi lagi Galena memotongnya.
"Ke sekolah Li." ujar Galena lebih tegas dari pada sebelumnya.
Lili menghelakan napasnya dengan pasrah, "Kalau gitu gue berangkat, kak."
Menyadari jika Galena memang takut dengan darah, Vano menghampiri Galena dan mengambil alih tugas Galena.
"Everything will be alright," gumam Vano membuat Galena langsung menolehkan kepalanya ke arah pemilik suara bariton tersebut.
"I don't think everything," jawab Galena sambil melihat keadaan Monica dengan tatapan nanar nya.
Galena mengusap rambut hitamnya yang ia gelung itu dengan kasar. Anak rambutnya sungguh membuatnya terganggu. Kemudian Ia membereskan peralatan P3K yang barusan ia pakai dan menyimpannya kembali di laci nakas sebelah tempat tidur Monica.
"Lo bisa berangkat ke sekolah sekarang," Galena berdiri dari duduknya kemudian mengambil kresek yang tergeletak di kamar Monica yang akan ia gunakan untuk membuang pecahan cermin di lantai.
"Sendiri," lanjutnya.
"Gue gak bisa," balas Vano dengan cepat. Vano mengampiri Galena yang sedang berjongkok dan mulai membersihkan pecahan itu.
Untung saja Vano dan Galena memakai sepatu jadi tidak akan khawatir jika menginjak serpihan kaca.
"Gue bakal di samping lo apapun yang terjadi," kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut manis Vano ketika lelaki itu ikut berjongkok dan membantu Galena untuk membersihkan serpihan itu.
Galena tertegun, dan menghentikan pergerakannya tanpa sadar. Ketika kembali sadar dan sudah menjernihkan pikirannya, Galena menggeleng kecil agar tidak mempercayai apa yang Vano katakan barusan.
Galena harus mandiri. Ia tak boleh jatuh cinta. Ia tidak boleh bergantung kepada orang lain. Cinta itu hanya euforia manusia sesaat dan intinya, Ia tidak percaya akan adanya cinta. Kalau sayang mungkin Galena masih percaya, tapi jika cinta? Tidak sama sekali.
"Tangan lo gak ada yang luka kan?" Tanya Vano perhatian.
"Gak ada, gue udah biasa," jawab Galena datar. Tanpa mengalihkan fokusnya yang sedang menyapu lantai menggunakan sapu kecil untuk membersihkan pecahan yang tak terlihat itu.
Vano mengambil kresek yang sudah di isi pecahan cermin itu, kemudian segera membuangnya di luar. Tak lama kemudian Vano kembali lagi dan Galena sendiripun sedang duduk di pinggir kasur, di usapnya kepala Monica dengan lembut.
"Lo mau ke sekolah?" Tanya Vano memecahkan keheningan.
"Jam berapa?"
"7 lewat 45 menit,"
Galena mengambil ponsel berwarna merah dari atas nakas dan menghubungi seseorang yang bisa is percayai.
"Tan, ada waktu gak buat hari ini?" Galena membuka pembicaraan dengan lawan bicaranya di telpon.
"Bisa tolong jagain mama? Glen harus sekolah soalnya tan,"
"Tante sendiri kan tau gimana kalau Glen bolos sekolah,"
"Oke, di tunggu ya. Makasih banyak tan,"
Galena memutuskan panggilannya kemudian memasukan kembali ponselnya kedalam saku baju seragam.
"Kenapa gak lo aja yang jagain nyokap lo?" Tanya Vano penasaran.
"Gue gak bisa. Bokop gue bakal marah besar kalau tau gue bolos," Galena menghela napasnya.
Vano melangkahkan kakinya pelan mendekati Galena kemudian di rangkulnya gadis itu.
"Nyokap lo bakal baik baik aja, lo harus percaya." Vano berusaha menyemangati Galena.
Lima belas menit menunggu, perhatian mereka teralihkan ketika seseorang mengetuk pintu kamar.
Beliau adalah Hellen, sahabat Monica.
"Hai tan, maaf harus ngerepotin tante lagi." sapa Galena dengan tak enak.
Helen tersenyum maklum kemudian mendekati Galena. "Tenang aja Glen, gak usah sungkan sama tante. Monica itu sahabat yang baik buat tante."
"Oh ya, ini pacar kamu Glen?" Helen menatap Vano sedangkan Vano yang di tatapnya itu hanya tersenyum sopan.
Galena hanya bisa tersenyum tipis membalasnya.
"Tan, bisa panggilin dokter buat periksa mama pas Glen ke Sekolah?" Tanya Galena kepada Helen.
Helen mengangguk. "Oke, gampang urusan itumah. Nanti hasilnya tante kasih kamu pas udah pulang."
Galena menghela napasnya dengan lega, setidaknya ia tidak meninggalkan Monica sendirian. "Makasih banyak tan,"
"Yaudah gih kamu berangkat ke sekolah, udah terlambat." Helen mengingatkan.
Galena mengangguk kemudian segera pergi meninggalkan kamar Monica, di susul dengan Vano.
Vano sedari tadi memperhatikan raut wajah Galena dengan saksama. Galena seperti orang yang sedang menahan semua emosi di benaknya. Kesedihan, amarah, rasa kecewa, berkumpul menjadi satu.
Baru saja Vano dan Galena menginjakan kakinya di teras rumah, Vano segera menarik Galena ke dalam dekapannya.
Galena sendiri pun tidak menolak karena saat ini dirinya sedang membutuhkan sandaran.
Vano mengusap kepala Galena dengan lembut. Membuat Galena menjadi lebih tenang, ditambah dengan aroma masukulin Vano.
"It's okey Na, everything will be alright. Don't worry, I will be by your side." Bisik Vano dengan lembut, berusaha menguatkan Galena. Berjanji jika Ia akan berada di sisi Galena apapun yang terjadi.
Vano merasakan sesuatu basah dan hangat di dadanya, rupanya Galena menitikan air matanya dalam dekapan Vano.
Galena telah menunjukkan sisi lain yang tak pernah Ia tunjukkan kepada siapapun kepada Vano.