Galena memainkan ponselnya seraya menunggu Vano menyelesaikan tugasnya, yaitu mencari materi mana saja yang akan mereka masukkan ke dalam makalah.
Vano sendiri sedang sibuk berkutat dengan tiga buah buku sejarah tebal yang ia bawa sendiri dari rumah, satu buku sejarah yang biasa di gunakan di sekolah, dan MacBook untuk mencari referensi lainnya. Galena menjadi bergidik ngeri melihat Vano terlalu fokus seperti itu.
"Secinta itu kah lo sama sejarah?" Tanya Galena dengan tatapan ngeri.
Tangan kanan Vano menyomot astor, "Cie udah mulai penasaran tentang gue," meski mengatakannya tanpa menatap Galena, tapi Vano mengucapkannya seraya tersenyum.
Galena berdecih sinis, merasa menyesal karena telah bertanya kepada Vano.
"Secinta itu gue sama sejarah. Tapi peluang gue untuk jadi seorang sejarawan kecil," Vano sedikit menceritakan tentang dirinya.
"Kenapa?" Tanya Galena tanpa sadar.
Vano menoleh dan melayangkan gerlingan jahilnya. "Karena anak papa David ini calon pembisnis miliarder,"
"Idih," cibir Galena.
Setelah berkutat dengan buku-bukunya, Vano meletakkan pensil Dan menyodorkan buku cetak pertama kepada Galena.
"Ketik yang udah gue tandai, ini baru buku pertama, habis ini buku yang merah terus yang kuning. Buku cetak sekolah paling terakhir, udah gue tandai inti-intinya."
"Are you fucking serious?" Galena menatap Vano tak percaya.
Lantas Vano mengangguk antusias. "Why not? Gue yakin kita bakal dapat nilai A plus,"
Mau tak mau, Galena menerima buku-buku yang di sodorkan oleh Vano. Jika perkataan Vano terbuka benar, selama hampir dua tahun ia menjadi anak IPS, Galena yakin ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan nilai A+ di mata pelajaran sejarah.
Sebuah kebanggan tersendiri sebenarnya bagi Galena. Tapi ini sejarah, astaga, pelajaran yang paling ia benci.
"Nyesel gue sekelompok sama lo Van," Galena berkeluh kesah.
***
Setelah tiga jam berkutat di depan MacBook, Galena merenggangkan tubuhnya yang pegal karena terlalu lama duduk.
Galena menolehkan kepala, dirinya di buat semakin dongkol karena Vano malah tertidur di atas sofa. Ponsel, seragam kemeja putih, kunci motor dan camilan sudah bergeletakkan dimana-mana.
Kesal karena Vano malah keenakan tidur bukannya membantu mengetik tugas, Galena memukul Vano menggunakan bantal sofa.
"Bangun! Lo kata rumah nenek!"
Vano bergumam tidak jelas, bukannya bangun, Vano malah mengubah posisi tidurnya dan lanjut menyusuri alam mimpi.
"Wah, emang bener-bener ya nih anak," Galena menggeleng tak percaya. Vano benar-benar telah menjadi raja selama di rumah Galena.
Galena mengubah posisinya menjadi berdiri, berkacak pinggang, lalu memukul pipi Vano agar lelaki iti cepat bangun.
"Kebo banget sih lo, bangun!"
Vano kembali bergumam tidak jelas, masih bermimpi, ia menarik tangan Galena yang mengakibatkan gadis itu jatuh tepat diatas dadanya.
Terkejut karena sesuatu menimpa tubuhnya, sontak Vano yang sedang asik bermimpi menjadi Harry Potter pun terbangun dari tidurnya. Ia dan Galena sama-sama terkejut dengan posisi mereka.
"AAAAAA!"
Galena dan Vano berteriak bersamaan, sontak Vano mendorong Galena agar menjauh hingga menyebabkan gadis itu jatuh tersungkur.
Sadar apa yang terjadi, Galena segera bangun lalu menendang Vano. Tatapan ingin membunuh Galena layangkan kepada lelaki kelahiran Paris itu.
"EH SORRY NA! GAK SENGAJA! SUMPAH!" pekik Vano. Rumah Galena yang semulanya sepi, kini menjadi heboh seketika karena kehadiran Vano.
"GAK SENGAJA PALALU! KENCENG BANGET LO DORONG GUE HEH!" balas Galena tak mau kalah.
"EH SORRY NA!" ujar Vano tak enak hati.
Galena berdecih sinis, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
"Van, lo gak pulang?" Nada bicara Galena menjadi serius, melupakan apa yang terjadi diantara mereka barusan.
"Hah?" Sahut Vano, rupanya ia masih belum sadar sepenuhnya.
"Pulang gih," usir Galena.
Vano menyisir jambulnya yang selalu berantakan. "Bentar Na, gue masih mabok mimpi jadi Harry Potter barusan,"
Diam-diam, Galena tersenyum melihat tingkah Vano yang tidak biasa.
"Lo kenapa Na?" Vano menatap Galena aneh.
Galena menjadi salah tingkah sendiri. "Gue mau telepon adik gue dulu,"
Segera Galena mengambil benda pipih berwarna merah dan segera menghubungi Lili, sambungan ketiga Lili sudah menganhkat panggilannya.
"Li, lo beneran nginep di rumahnya Salsa'kan?" Galena tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya terhadap Lili, adik perempuannya.
{Iya, beneran, sumpah, gue udah kirim kontak Salsa juga kalau lo masih gak percaya} sahut Lili dari sebrang sana.
"Gue percaya kok. Besok sebelum gue pulang sekolah lo harus udah di rumah,"
{Oke! Have a good dream sis!}
"Yeah, you too." Sahut Galena datar lalu segera memutuskan panggilan.
'Mimpi indah apaan? Jam sembilan malam aja masih di depan MacBook.'
"Emang lo punya adik?" Tanya Vano penasaran.
"Punya." Jawab Galena cepat, to itu juga bukan hal yang harus di rahasiakan.
"Ceco?"
"Cewek,"
"Kelas?"
"Baru masuk SMA,"
"Siapa namanya?"
"Kepo banget sih lo ketek pororo,"
"Ya udah sih, biasa aja kali SpongeBob." Balas Vano tak mau kalah.
BRAK!
Pintu rumah Galena di dobrak dengan kencang, suara pecahan barang mulai terdengar di ruang tengah.
"Vano, lo mending pulang sekarang," Galena memasuk-masukkan barang-barang Vano ke dalam tasnya, terkecuali buku sejarah terakhir yang belum Galena selesaikan.
"Na, what's going on?"
Galena menggeleng pelan. "Gak seharusnya lo di sini."
"BERHENTI ME-MANAGE HIDUP AKU MAS!"
"TAPI AKU SUAMI KAMU, AKU BERKAH SEMUA ATAS DIRIMU!"
"GAK LAGI KARENA KITA AKAN BERCERAI SECEPATNYA!"
"KAMU PIKIR MAS TAKUT? KAMU MAU NGANCEM MAS? MAU BALIK LAGI SAMA SI GLEN-GLEN ITU?"
"MAS YANG SELINGKUH JANGAN MEMUTAR BALIKKAN FAKTA DONG!"
Vano menatap Galena yang sedang mengatur napasnya sendiri. Tapi ekspresi Galena begjtu datar, tidak menunjukkan kesedihan atau amarah sedikitpun.
"Na," panggil Vano tak tega, sedikit merasa iba kepada gadis jutek itu.
"Pulang gih," usir Galena seraya menyerahkan ransel hitam Vano yang sudah ia rapihkan.
Dalam keadaan seperti ini Vano tidak memiliki pilihan selain menuruti perintah Galena untuk segera pulang. Sebab ini sudah menjadi bukan jangkauan Vano lagi.
"MacBook lo gue bawa aja ya, besok pagi gue jamin udah kelar semuanya,"
Galena hanya mengangguk, membiarkan Vano melakukan hal tersebut. Toh ia sendiri juga sudah pegal mengerjakan sejarah.
Sebagai tuan rumah yang baik, Galena mengantar Vano hingga pintu depan rumahnya.
"Kalau ada apa-apa, lo bisa telepon gue, minta bantuan gue. Udah kayak UGD kok, layanan tersedia dua puluh empat jam. Bedanya, ini UGD hati," ujar Vano dengan nada bercanda di akhir kalimat.
Galena menyunggingkan senyuman miring.
"Tapi gue beneran serius kalau ada apa-apa hubungi gue. Udah ah, gue mau pulang,"
Vano memberanikan diri mengusap puncak kepala Galena.
"Jangan banyak pikiran. Besok gue jemput lo,"
Perlakuan Vano membuat Galena sedikit terenyuh. Setidaknya untuk malam ini Galena tak perlu khawatir lagi mengingat dirinya selalu sendirian.
Ya setidaknya malam ini, Vano berhasil mengusir rasa kehampaan seorang Galena