"Karena gue gak mau berurusan dengan lo lagi, gue mau tugas sejarah kelar hari ini juga!" Tegas Galena. Jari telunjuknya terangkat menunjuk Vano dengan raut wajah sangarnya.
Alis Vano terangkat sebelah menatap Galena tanpa berekspresi lebih, memasang gaya stay cool maksudnya.
"Kenapa? Lo gak mau jauh-jauh ya dari gue mulai sekarang? Apa lo udah kena semar mesemnya gue? Oke, karena gue anak papa David yang baik hati sekarang kita langsung ke rumah lo."
Vano mengangguk dengan ekspresi sok mengerti. Ia berjalan mendahului Galena dengan santai. Melihat gaya tengil Vano yang membuat Galena semakin merasa jengkel, dengan cepat Galena menarik tangan Vano kemudian menginjak kakinya tanpa ampun.
"ADUH! WOY! SAKIT EDAN! KECIL KECIL CABE RAWIT!" Pekik Vano.
Puas menatapi penderitaan Vano, Galena berjalan cepat meninggalkan Vano yang sedang sibuk mengusapi kakinya yang masih kesakitan.
Sadar di tinggal, Vano segera berlari dan meraih pundak Galena.
"Apa lo pegang-pegang?" hardiknya. Sontak Galena langsung menghempaskan tangan Vano dari pundaknya.
"Galak banget astaga. Kalah galaknya sama macan di taman Safari." Gumam Vano. Ia sendiri tidak akan menutup-nutupi bahwa ia sedikit terkejut dengan bentakan gadis berambut panjang di hadapannya ini.
Galena berdecih sinis, semakin muak rasnaya ketika Vano sudah menyama-nyamakan dirinya dengan hewan di kebun binatang.
"Di rumah gue gak ada orang. Bokap nyokap gue lagi pulang kampung ke Paris. Lo mau berduaan aja di rumah gue? Gue sih no problem," Vano tetaplah Vano, makhluk ciptaan tuhan yang selalu memiliki seribu satu alasan.
Lagi pula ucapan Vano tak sepenuhnya benar. Meski kedua orang tuanya sedang kembali ke Paris untuk mengurusi pekerjaan mereka, tapi Vano masih memiliki Vino di rumah.
Jangan kalian pikir Vino merasa enak-enak saja tinggal berdua bersama Vano. Jika di tinggal berdua, yang ada Vino di jadikan babu dadakan oleh Vano.
Membersihkan rumah, Vino yang mengerjakan.
Membuat makan, Vino juga yang mempersiapkan.
Buku biologi, video penjelasan kimia dan setumpuk latihan soal fisika selalu di taruh di meja makan atau ruang bersantai sebagai bukti kerajinan Vino sebagai anak IPA.
Sementara Vano? Hanya rebahan bersama buku-buku sejarah dan ekonomi.
Jiwa IPS banget gak tuh.
Ikatan Pelajar Santuy.
"Di rumah lo gak ada pembantu emangnya?" Galena masih belum menyerah.
Tentu saja Vano menjawabnya dengan gelengan kepala.
Padahal dalam hati, Vano sudah menyebut nama Vino sebagai jawaban dari pertanyaan Galena.
"Kalau gitu, kita kerjain di kafe aja." Lagi dan lagi Vano membalas keputusan Galena dengan gelengan kepala, kali ini lebih tegas.
"Jangan, buang-buang duit itu namanya. Kasian juga sama mbak-mbak kafenya kalau kita gak keluar dari kafe berjam-jam."
Galena menggelengkan kepalanya pelan, karena terdapat kemungkinan jika mereka mengerjakan tugas di rumah Galena.
Bagaimana jika kedua orang tuanya kembali bertengkar saat Vano di rumahnya?
Mau taruh di mana wajah Galena nanti?
"Ayo berangkat." Vano memberi keputusan begitu saja tanpa persetujuan karena Galena tak kunjung memberikan respon.
Diamnya seseorang, berarti 'iya' dalam kehidupan Vano.
"Kita kerjain kapan-kapan. Kalau gitu, gue pulang." Galena segera pergi dari hadapan Vano, namun langkahnya kembali terhenti saat mendengar teriakkan Vano.
"DASAR MANUSIA LABIL! TADI ELO YANG NGEBET GAK MAU JAUH-JAUH DARI GUE, SEKARANG ELO SOK MENGHINDAR GITU DEH DARI CASSANOVA TAMPAN SEJAGAT RAYA INI!"
Galena memejamkan mata menahan agar amarahnya tidak memuncak saat ini. Telapak tangan Galena yang sudah terkepal, sudah gatal ingin mendaratkannya di wajah tampan Vano.
Bersama Vano, membuat dirinya jauh lebih sensitif dari biasanya.
"OH JADI GITU YA. SEORANG GALENA TERNYATA DIAM-DIAM JATUH CINTA SAMA CASSANOVANYA SMA MERDEKA! O GT Y CKP TW!" Vano tidak akan menghentikan ocehannya.
Galena membalikkan badannya dan menatap Vano dengan tatapan membunuh.
"SHUT UP!" bentak Galena.
Vano tersenyum puas, kemudian melangkahkan kakinya mendekati posisi Galena berdiri.
Untung saja bel pulang sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu. Anak kelas XII selalu paling semangat untuk segera pulang saking lelahnya dengan setumpuk tugas dan ujian yang menunggu.
Kelas sudah sepi, maka tak ada yang merasa terganggu dengan perdebatan Vano dan Galena di koridor.
"Jadi, gimana tuan puteri?" tanya Vano dengan senyuman mengejek.
Galena membalas tatapan Vano tak kalah datarnya, Ia mendengus gusar.
"Cabut." ujar Galena tanpa berekspresi, lalu segera pergi dari hadapan Vano begitu saja meninggalkan Vano.
Sedangkan Vano hanya menatap Galena yang mulai menjauh dengan tatapan heran.
Perempuan, makhuk yang di ciptakan dari tulang rusuk adam itu membuat Vano tak pernah mengerti akan semua emosi dan gengsi yang di milikki oleh perempuan.
***
Galena terdiam sebentar ketika tangannya sudah memegang gagang pintu rumah. Dirinya terlalu ragu mengajak Vano masuk ke dalam rumahnya.
"Ayo masuk, tangan gue udah pegel nih pegang kresek," suruh Vano seenak jidatnya bak seorang raja.
Memang benar sih, seorang tamu adalah raja. Tapi kalau Vano yang jadi raja mah, yang ada malah MAGADIR.
Makin gak tahu diri.
Ocehan Vano berhasil menyadarkan Galena bahwa ada ocehan tak bermutu Vano yang harus ia pikirkan sebelum memikirkan masalah keluarganya yang belum pasti akan terjadi hari ini.
Galena mendorong pintu hingga mengeluarkan bunyi ceklek, menghela napas sejenak sebelum melanjutkan membuka pintu sepenuhnya untuk Vano.
Sepi dan sunyi, itulah yang ada di pikiran Vano ketika menginjakkan kakinya di rumah Galena.
Ini bukanlah tipe suasana Vano sekali, lelaki bawel itu membenci kesunyian.
Untuk apa rumah mewah jika tak Ada kehangatan di dalamnya?
Karena uang dan kekayaan bukanlah tolak ukur suatu kebahagiaan.
Vano akan memilih yang sederhana namun jauh lebih bermakna.
"Duduk aja, gue mau ngambil MacBook dulu." Galena menunjuk sebuah sofa santai menggunakan dagunya sebelum berlalu meninggalkan Vano.
Padahal, tanpa Galena suruh pun pasti Vano akan memilih dan langsung menempati spot ternyaman untuk melakukan kerja kelompok.
Baru menyentuh sofa-nya saja, Vano sudah rebahan seraya memakan camilannya. Kakinya bergoyang-goyang mengikuti irama lagu yang ia dengar melalui bluetooth headphones.
"Rumah lo sepi banget sih, sepinya ngalahin pemakaman deket rumah gue," komentar Vano sebelum menggigit waffer.
"Ya gimana lagi," sahut Galena seadanya sambil meletakkan MacBook diatas meja dan mengambil posisi duduk bersandar di kaki sofa.
Vano mengubah posisi duduknya menjadi dude, teringat sesuatu, ia mengeluarkan uang logam pecahan seribu rupiah.
"Angklung atau seribu?"
Dahi Galena mengerut, tidak mengerti mengapa Vano tiba-tiba memberikan pertanyaan sepeti ini kepadanya.
"Cepetan! Lo pilih angklung atau seribu?" Desak Vano karena Galena tak kunjung memberikan jawaban.
"Buat?"
"Pilih dulu, cepetan," ujar Vano take sabaran.
Galena berdecak. "Angklung,"
"Oke, gue seribu ya. Gue bakal lemparin koin ini, yang menang bebas milih mau bagian nyari materi atau ngetik makalah," putus Vano.
Galena hanya bisa mengangguk meng-iyakan supaya cepat selesai. Membiarkan Vano melakukan hal yang ingin di lakukannya.
Vano melambungkan uang logam tersebut ke udara lalu membiarkannua berputar-putar di lantai sebelum berhenti sepenuhnya.
Akhirnya, uang logam pun berhenti dan terjatuh dengan posisi angka seribu di atasnya.
"Gue cari materi, lo yang ngetik. Titik gak pakai komen," putus Vano final, tak ingin di ganggu gugat.
Sontak Galena pun gelagapan, ia masih ingat seberapa bersemangatnya Vano ketika sedang berhadapan dengan materi sejarah. Tak jarang juga Vano mempresentasikan materi sejarah di hadapan smua kelasnya.
Dengan gerakan cepat, Galena merebut uang logan tersebut dari tangan Vano.
"Licik." Desis Galena.
Vank tersenyum puas. "Lo gak ingat lagi berhadapan dengan siapa?"
"Iya gue ingat banget kalau sekarang gue lagi berhadapan dengan salah satu makhluk tuhan paling licik dari Segita Bermuda!" Cerocos Galena, meluapka kekesalannya.
"Oh good, selamat mengerjakan sayang." Ujar Vano dengan nada mengjengkelkan.
Sejarah dan Vano adalah perpaduan sempurna yang di benci oleh Galena.