Finally, today's weekend!
Siapa yang tidak suka akhir pekan? Bahkan orang rajin seperti Galena sekalipun juga sangat menantikan akhir pekan.
Tempat yang selalu Galena kunjungi di setiap akhir pekan adalah toko buku di salah satu pusat perbelanjaan. Setelah membeli beberapa novel yang di inginkannya, Galena menyusuri pusat perbelanjaan seraya menenteng tas belanja.
Langkah kakinya sempat terhenti di depan sebuah salon. Ada keinginan menelusup relung hati Galena ketika melihat banyaknya gadis remaja sedang merawat diri di dalam. Namun Galena lebih memilih untuk putar balik, mengurungkan niatnya untuk melakukan perawatan diri di salon.
Sebelum Galena membalikkan badan, bahu Galena di tepuk oleh seseorang dari belakangnya.
"Duar! Kecyduk'kan lo!"
Galena terkejut, namun ia berhasil menahan diri untuk tidak mengumpat karena latah.
"Apa?" Balas Galena tanpa ekspresi, walau sebenarnya dalam pikiran Galena sedang kebingungan.
Bagaimana bisa dari sepadat dan seluasnya kota Jakarta, ia bisa-bisanya bertemu dengan makhluk paling absurd yang tak lain adalah Vano?
Tidak cukupkah ia di pertemukan dengan Vano hanya di sekolah saja?
Vano lagi, Vano mulu, Vano terus.
Vano mengedikkan bahunya tak acuh, kemudian melipat kedua tangannya. Ikut melihat objek yang sedari tadi sedang Galena perhatikan.
"Gak masuk?" Vano menunjuk salon menggunakan dagunya.
"Ngapain?" Galena balik bertanya. Tak berniat menanggapi Vano lebih lanjut, ia segera melenggang pergi dari hadapan Vano.
Galena menahan napas ketika Vano mencekal tangannya secara lembut, menghentikan langkah kaki Galena yang membawanya pergi.
"Vano!" Galena memekik terkejut karena Vano menyeretnya masuk ke dalam salon.
"Mbak, pokoknya dari ujung kepala sampai ujung kaki, pacar saya harus cantik ya!" Ujar Vano seenak jidatnya.
"Eh, pacarnya mas Vano toh. Ayo kak, silahkan duduk di sebelah sana," mbak-mbak salon itu menunjuk kursi bundar paling ujung.
Galena mengernyit tidak suka. "Apa-apaan sih Vano!"ย Sahut Galena galak.
Vano menatap Galena horor. "Astaga, galak banget sih calon pacar,"
"Kayak ada yang mau aja jadi cewek lo," Galena menunjukkan ekspresi juteknya.
"Cepetan Galena! Mumpung kartu salon nyokap gue masih di sini," lama-lama Vano menjadi gemas dengan Galena. Gemas ingin menampol maksudnya.
Galena berdecak kesal. "Ribet lo," meskipun begitu, Galena segera duduk di kursi depan cermin yang telah di sediakan.
Vano duduk di kursi tunggu, terus menatapi Galena yang sedang memunggunginya. Membiarkan karyawan salon mempercantik Galena.
Pandangan Galena dan Vano sempat bertubrukan melalui cermin. Galena segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Tanpa Vano ketahui, Galena tersenyum kecil atas perlakuan Vano barusan.
Tapi tengsinya terlalu tinggi untuk di goyahkan.
***
Setelah menunggu Galena mempercantik diri selama tiga jam, akhirnya Vano bisa merenggangkan tubuhnya karena pegal akibat duduk menunggu terlalu lama.
Bahkan Vano tidak bayar seperak pun di salon tersebut. Galena menjadi penasaran sendiri mengapa Vano tidak bayar dan para karyawan pun memperlakukan Vano layaknya pelanggan terbaik mereka.
"Vano," panggil Galena pelan. Ia bergumam sebentar, sebelum mengatakan,
"Thank's."
Vano mengerjap-ngerjapkan mata ketika mendengar Galena berterima kasih. Baru kali ini Vano melihat ada orang yang sulit sekali hanya untuk sekadar berterima kasih.
Meskipun begitu, Vano akan selalu menghargai usaha orang sekecil apapun hal itu.
Tanpa bisa menahan diri lagi, Vano mengusap puncak kepala Galena. "My pleasure." Balasnya ramah.
Vano kembali berjalan, sementara Galena masih terbeku di tempat.
Di langkah kelima Vano memberhentikan langkah kakinya. Sadar jika Galena tertinggal.
"Ngapain lo masih berdiri di situ? Ayo temenin gue makan!"
Galena mendengus sebal, ternyata lelaki itu memang di ciptakan dengan sifat bossy. Suka menyuruh seenak jidatnya.
"Gak. Gue mau pulang," tolak Galena secara terang-terangan.
Vano membalikan badan dan langsung mencekal tangan Galena. Gadis itu membulatkan matanya ketika telapak tangannya Vano sudah membungkus pergelangan tangannya.
"Makan!" Titah Vano sengit.
"Pulang!" Balas Galena tak mau kalah.
"Makan!"
"Pulang!"
"Makan, Galena!"
"Pulang, Elvano!"
Pertengkaran kecil mereka menarik perhatian orang orang. Meski orang-orang itu hanya meliriknya sesekali dengan senyuman yang di tahan. Galena memutar bola matanya malas, pasti sebagaian besar dari mereka menganggap jika dirinya dan Vano adalah sepasang kekasih.
Dengan kesal, Vano menarik tangan Galena menuju sebuah salah satu food court yang berada di pusat perbelanjaan itu. Lebih tepatnya, Galena yang di seret.
"Gue gak mau Vano," rengek Galena berusaha menarik untuk melepaskan cengkraman tangan Vano. Sudah hukum alam jika laki-laki memiliki tenaga yang lebih kuat di bandingkan perempuan.
Tiba tiba Vano menghentikan langkahnya dan menatap Galena, kemudian Vano langsung menarik Galena dalam satu hentakan membuat Galena terkejut dan hampir menabrak dada bidang Vano. Galena menahan napasnya ketika aroma maskulin masuk ke indra penciumannya.
"Kalau lo masih berontak, gue gak akan segan segan cium lo di sini sekarang juga " Bisik Vano dengan tajam membuat bulu kuduk Galena meremang.
Astaga, apa lagi yang harus Galena hadapi selain menuruti kemauan Vano dengan sifat bossy-nya?