"Makanya minum itu duduk," ucap wanita cantik itu pada Jaeta yang masih terbatuk-batuk karena minuman yang masih ia pegang.
"Gila, kamu berubah banget!" Jaeta langsung berkomentar walau dadanya masih sakit karena tersedak.
Anala tersenyum sombong, "huh! Aku cantik kan? Udah dari dulu sih, jadi kamu nggak perlu sombong, semua orang kalau mau juga bisa ganteng dan cantik, asal niat aja."
"Wardrobe nya hebat bisa mengusir kesan lecek dan kucel dari wajah mu."
Anala menghela napas panjang mendengar tanggapan Jaeta.
"Mas, saya cuma ngasih tahu kalau Mbak Anala ini make up sendiri, ga pakai wardrobe," wanita yang menjadi anak buah Anala sekaligus yang tadi membantu Jaeta berbisik pada Jaeta.
"Udahlah, percuma juga ngomong sama manusia seperti dia. Aku akan lakukan pemotretan sekarang," Anala memutuskan pergi menuju tempat pengambilan gambar tanpa ingin menghabiskan waktu.
Saat ini Jaeta duduk bertopang dagu memperhatikan Anala yang menjadi pusat perhatian karena giliran dia sekarang yang jadi model. Wanita itu tampak sudah ahli, dengan mudah ia memahami instruksi ditambah lagi ia sendiri yang menyusun konsep untuk pemotretan kali ini.
"Cantik ya," puji Erik baru datang dan duduk disamping Jaeta memperhatikan Anala.
"Kenapa baru sampai?"
"Tadi ada sedikit kerjaan, gimana? Amankan?"
Jaeta tidak menjawab, ia kembali bertopang dagu sambil memainkan ponselnya, namun tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Kamu kenal papanya Anala?"
"Pak Raka?"
"Kamu mengetahuinya?? Kenapa kamu tidak memberitahuku!?"
"Memangnya kenapa? Apa urusannya kamu perlu tahu siapa orangtuanya Anala??" bingung Erik karena tampang Jaeta berubah menjadi kesal.
Jaeta menghela napas panjang, "Pak Raka itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan papaku. Memangnya Pak Raka itu tidak tahu kalau yang akan jadi model dari produk anaknya adalah anak dari musuhnya??"
Erik ternganga mendengar cerita Jaeta, "serius kamu Jae?"
"Apa aku terlihat bercanda sekarang?"
Erik diam mencoba berpikir, "Pak Raka cuma diskusi sama produser, selebihnya produser yang urus. Mana ada yang tahu tentang hubungan orang tuamu dan orang tua Anala. Memangnya ada masalah apa?"
"Aku sebenarnya juga tidak begitu paham, tapi aku sudah coba tanya mama mengenai ini,"
"Lalu apa masalahnya?"
Jaeta mengusap dahinya sekilas sebelum bercerita, "papaku pernah membatalkan kerja sama secara sepihak yang membuat perusahaan Pak Raka rugi besar dan kesulitan."
"Kenapa papamu melakukan itu?" Erik makin mendekat ke Jaeta untuk tahu ceritanya lebih detail.
"Papa merasa tidak senang dan dipermainkan oleh Pak Raka. Tapi mamaku bilang itu hanya salah paham, namun semuanya menjadi berlarut-larut, dan kedua belah pihak seolah mengibarkan bendera perang. Dan sampai detik ini mereka tidak ingin berhubungan sedikitpun satu sama lain."
"Terdengar rumit,"
"Aku juga tidak begitu paham masalah itu, kamu tahu aku tidak tertarik sama sekali dengan bisnis keluargaku."
"Jika mereka tahu kalau anak mereka saling kerja sama seperti sekarang apa yang akan terjadi?" tanya Erik mulai paham permasalahannya.
Jaeta mengangkat bahunya, "ini semua kebetulan, lagian Pak Raka sendiri yang menjadi awal kerja sama ini kan?"
"Kupikir lebih baik kita tidak perlu saling singgung masalah keluarga. Apa Anala tahu mengenai hal ini?"
"Entahlah, kupikir tidak. Dia terlihat santai,"
"Baguslah, bagaimanapun kita harus menghindari konflik dengan siapapun," Erik menepuk bahu Jaeta seraya mengingatkan.
"Permisi mas, sekarang waktunya untuk pemotretan lagi," seorang wanita menghampiri mereka untuk memanggil Jaeta.
"Oke, tapi memangnya Anala sudah selesai?" Jaeta berdiri sambil merapikan pakaian yang ia pakai.
"Udah mas, tinggal sesi pemotretan bersama."
"Bersama??"
"Kamu dan Anala ambil gambar bersama," Erik menambahkan.
"Hah??" Jaeta ternganga menatap Erik, "kamu tidak memberitahuku sebelumnya!"
"Sejak kapan memangnya aku harus memberitahumu masalah seperti ini? Cepatlah kesana, setelah ini kita ada jadwal offair."
Jaeta mendumel namun tetap berjalan ke arah tempat pengambilan gambar yang mana Anala sudah ada disana dengan pakaian yang sudah diganti.
"Beruntung sekali kamu bisa melakukan pemotretan denganku," ujar Jaeta saat berdiri disebelah Anala dan yang lain sibuk menata pencahayaan.
"Jangan banyak bicara, aku ingin cepat selesai," Anala terdengar tidak ingin meladeni ajakan ribut Jaeta.
"Oke! Siap ya? Kalian cuma perlu santai namun tetap memiliki kemistri satu sama lain." Jelas Dion selaku fotografer mengarahkan dua modelnya.
Pemotretan berjalan dengan lancar, Jaeta dan Anala sudah terbiasa melakukan ini, bahkan persitegangan diantara mereka tidak lagi tampak karena keprofesionalan mereka.
"Bagus, bisa kalian menunjukkan kedekatan yang lebih untuk beberapa foto terakhir?" tanya Dion pada Anala dan Jaeta yang setiap habis pemotretan selalu menunjukkan wajah masam satu sama lain.
"Apa jika aku berlagak dekat denganmu dia tidak akan cemburu?" bisik Jaeta bertanya pada Anala.
"Aku dan Dion tidak punya hubungan yang lebih dari teman dan rekan kerja. Kenapa kamu ngotot sekali!?" geram Anala pada Jaeta.
"Benarkah? Ayo kita buktikan," Jaeta tersenyum sinis pada Dion yang tanpa sengaja memperhatikan mereka yang tengah berbisik-bisik.
Anala terbelalak saat tiba-tiba Jaeta bergerak merangkulnya dengan santai.
"Ayo kita mulai, menunjukkan kedekatan dengan Anala bukanlah hal yang sulit." instruksi Jaeta agar pemotretan segera dilakukan.
Dion hanya bisa mengangguk walau ia peka kalau ada maksud lain dari ucapan dan pergerakan Jaeta.
*
"Aku tidak menyangka kalau kita bisa terlihat sebagus itu, kedekatan kita tampak natural," komentar Jaeta melihat hasil gambar bersama Anala dan Dion.
Anala hanya melirik Jaeta malas dan memilih untuk bicara dengan Dion, "apa kamu sudah puas dengan hasilnya?"
"Bukankah seharusnya aku yang bertanya demikian kepadamu?" kekeh Dion pada gadis yang berdiri diantaranya dan Jaeta.
"Aku sih puas, aku butuh penilaian dari orang yang ahli fotografi sepertimu."
Dion mengusap dagunya sambil mengangguk, "kalian terlihat bagus, bekerja sama dengan orang yang juga profesional benar-benar sangat efektif,"
"Terima kasih!" celetuk Jaeta ikut campur ke dalam obrolan Dion Anala.
Anala melirik kesal Jaeta yang seperti manusia butuh perhatian lebih, "terima kasih untuk hari ini. Semua sudah selesai, kamu sibuk kan? Aku dengar kamu masih ada jadwal setelah ini, pergilah sebelum terlambat,"
"Kamu mengusirku!?"
Anala tersenyum dengan sangat lebar kepada Jaeta, "aku hanya mengingatkan, bukankah kamu artis terkenal yang sangat sibuk?? Jangan habiskan waktu orang penting sepertimu ditempat seperti ini."
Jaeta hanya bisa merungut tidak jelas, "terima kasih sudah mengingatkan!"
"Nala..," Dion beralih menarik perhatian Anala lagi.
"Ya?"
"Ada yang akan kamu lakukan setelah ini?"
"Sepertinya tidak, ada apa?"
"Mau makan bersama?" tawar Dion yang entah kenapa membuat Jaeta dongkol seketika.
"Eum.., boleh. Aku juga sedang ingin makan diluar,"