"Aku meninggalkan ponselku," gadis yang memakai kemeja putih itu menunjukkan ponsel berwarna putih ditangannya.
Jaeta mengerutkan dahinya tidak paham, dan wanita itu kini berjalan masuk mendekat kearah Jaeta dengan wajah takjub memperhatikan setiap sudut studio.
"Kamu baru pertama kali masuk studio?" tanya Jaeta melihat wajah Anala.
Anala tertawa malu dan mengangguk, "tadi sore aku kesini untuk diskusi dengan Pak Wira, dan dengan bodohnya aku meninggalkan ponselku di ruangannya. Jadi terpaksa malam-malam seperti ini aku balik lagi kesini," gadis itu menjelaskan perihal alasan apa yang membuatnya bisa berada di kantor agensi ini.
Jaeta hanya mengangguk dan bergerak menyimpan kertas yang baru ia tulis di dalam sebuah map.
"Aku pikir tidak ada orang disini. Aku sengaja lewat kesini karena penasaran bagaimana bentuk asli studio rekaman musik, eh ternyata ada kamu. Jadi aku tidak terlalu merasa seperti pencuri kan?" Anala terkekeh berjalan memperhatikan berbagai peralatan rekaman yang tampak memukau baginya.
"Apa kalau tidak ada aku, kamu akan tetap masuk secara diam-diam kesini?"
Anala mengangkat bahunya membelakangi Jaeta, "mungkin tidak, bukankah terlalu mengerikan? Disini sepi dan sudah malam."
Jaeta tidak menjawab, ia berjalan kearah jendela memperhatikan suasana diluar sana.
Anala merasa janggal dengan tingkah Jaeta, dia tidak mencari masalah seperti sebelumnya. Bukankah dia terkesan terlalu kalem? Seperti bukan Jaeta yang Anala tahu sejauh ini.
"Kamu kenapa? Lagi ada masalah?" tanya Anala memperhatikan punggung lebar pria dengan rambut yang sudah kembali berwarna hitam itu, namun tidak ada respon sama sekali yang diberikan Jaeta.
"Sepertinya memang lagi ada masalah, kamu mungkin sedang butuh waktu sendiri. Aku balik sekarang ya?" Anala pamit untuk pulang karena tujuannya mengambil ponsel sekaligus masuk studio musik walau sebentar sudah terpenuhi. Setidaknya ia bisa tidur dengan nyenyak malam ini.
"Mau duduk disini lebih lama lagi?"
Langkah Anala tertahan mendengar pertanyaan Jaeta yang belum mengubah posisinya sama sekali.
Anala melirik jam tangannya yang menunjukkan hampir jam sembilan malam, "tidak ada yang bisa kulakukan disini."
"Kupikir sekarang aku butuh seseorang disini untuk menemaniku, mungkin hanya sebentar," Jaeta berbalik dan menunjukkan ekspresi seadanya pada Anala.
Anala diam sejenak memperhatikan pria yang sepertinya sedang tidak beres itu, "mungkin aku bisa duduk sebentar."
Jaeta duduk di sofa berdiam sendiri sedangkan Anala masih dengan rasa ingin tahu menelisik setiap peralatan rekaman yang baru pertama kali ia lihat. Cukup lama mereka sibuk dengan diri masing-masing hingga Anala mulai penasaran sebenarnya ada apa dengan Jaeta yang terus saja melamun dan sesekali terdengar helaan napas lelah. Anala masih tidak tahu pasti apa gunanya ia masih disini.
"Ada mesin pembuat kopi disini," Anala mendekati mesin kopi disudut ruangan studio.
Jaeta melirik Anala dan mengangguk kecil.
"Aku bisa menggunakannya, apa kamu mau secangkir kopi hangat?" tawar Anala.
"Aku sedang tidak ingin minum kopi, jika mau buatlah untuk dirimu sendiri."
"Aku hanya suka membuatnya untuk orang lain, aku tidak begitu suka kopi. Bagaimana dengan teh? Atau air putih hangat? Udaranya mulai terasa dingin bukan?" Anala menawarkan lagi melihat apa yang tersedia disini ternyata tidak hanya kopi.
"Mungkin hanya air putih hangat."
Anala tersenyum, entah kenapa ia merasa lega setidaknya pria ini mau menerima salah satu tawarannya.
"Kamu tipikal orang yang nggak ribet ya, permintaannya hanya hal sesederhana ini," Anala mendekat duduk didepan Jaeta sambil meletakkan air hangat untuk Jaeta.
Jaeta memaksakan senyum kecil dan meminum apa yang telah Anala berikan untuknya, "terima kasih,"
Anala mengangkat alisnya sekilas merespon ucapan terima kasih Jaeta dan meminum air hangat miliknya, nyatanya Anala juga hanya mengambil air hangat seperti Jaeta.
"Apa sesuatu yang kamu sukai dalam hal minuman," Anala membuka pembicaraan ringan karena malas juga hanya saling diam bersama Jaeta.
Jaeta tampak berpikir sejenak, "tidak ada yang khusus, aku pikir es krim jauh lebih menarik. Es krim termasuk makanan atau minuman?"
"Jika kamu memakannya di saat masih keras dan dingin, itu adalah makanan. Jika kamu membiarkannya terlalu lama hingga cair, itu adalah minuman karena kamu tak bisa memakannya, tapi harus meminumnya,"
"Benarkah? Teori darimana?" Jaeta menatap Anala meragukan jawaban tak berdasar itu.
"Sebagai pecinta es krim aku boleh menjelaskan teoriku sendiri bukan?" Anala terkekeh yang juga membuat Jaeta tertawa kecil.
"Kamu juga menyukai es krim? Lain kali kita harus pergi makan bersama, setidaknya bentuk terima kasih kamu mau menemaniku sekarang,"
"Apakah ini janji? Jika iya aku tentu akan menagihnya suatu saat,"
Jaeta mengangguk tersenyum, "tentu."
"Lagian apa yang kamu lakukan disini sendirian? Apa orang-orang meninggalkanmu? Atau kamu mau rekaman sendiri?" merasa suasana diantara mereka sudah mulai hangat Anala tidak ragu lagi menanyakan apa yang ingin ia ketahui dari tadi.
"Aku hanya ingin disini saja, aku pikir duduk disini sendirian bisa membuat moodku membaik, ternyata tidak sama sekali,"
"Terkadang menyendiri disaat memiliki masalah itu baik, namun kadang juga bisa membuat diri merasa makin terpuruk,"
Jaeta menghela napas pendek sambil mengangguk setuju, "melihatmu aku jadi ingat sesuatu,"
"Apa??"
"Apa kamu tahu kalau papa kita memiliki masalah?"