"Ma? Ini yang namanya Pak Raka nggak sih?" Jaeta menunjukkan ponselnya kepada Jeni yang duduk santai disebelahnya setelah barusan Anala pulang.
Jeni mengambil ponsel Jaeta dan memperhatikan foto yang bungsunya itu tunjukkan, "iya ini Pak Raka, ngapain kamu nanya-nanya? Eh, tapi ini kan Anala?"
"Aku baru tahu kalau Anala ini anaknya Pak Raka ma."
Jeni menatap Jaeta dengan mata terbelalak, "kamu mau jadi model brand anak dari Pak Raka!? Gila!"
Jaeta menggaruk kepalanya bingung, "aku yakin Pak Raka tidak sadar tentang ini. Kerja sama ini terjadi karena Pak Raka dekat dengan produser. Aku juga tidak tahu kalau orang itu adalah Pak Raka."
"Kalian sudah tanda tangan kontrak?"
"Udah,"
"Astaga...," Jeni memijat kepalanya yang mendadak pusing.
"Emang hubungan papa sama Pak Raka masih buruk ya ma?" Jaeta coba memastikan karena masalah bisnis papanya ia tidak begitu tahu menahu.
"Walaupun sudah cukup lama, tapi mereka masih saling perang dingin sampai detik ini. Mereka menghindar untuk tidak saling bersinggungan satu sama lain."
"Kalau bersinggungan?"
"Mama nggak mau bayangin."
***
"Sempurna sekali," gumam fotografer disamping Anala yang tengah memperhatikan dengan seksama layar berisi jepretan model dengan baju hasil desainnya.
Anala tersenyum kecil mengiyakan ucapan fotografer muda berbaju biru itu, "aku juga berpikir sama."
"Kostum dan modelnya seperti menyatu dengan baik. Aku yakin ini akan sukses besar. Kamu pintar dalam memilih model, bahkan dia sedang sangat terkenal bukan? Apa bayarannya juga mahal? Tidak sia-sia kamu mengeluarkan banyak dana untuk ini."
"Bayaranmu juga mahal bukan? Itu salah satu faktor hasilnya bisa sebaik ini," jawab Anala melirik pria bermata sipit dan kulit cerah yang sudah bekerja sama dengannya sejak awal ia masuk kedalam dunia fashion.
"Aku sudah menurunkan bayaranku hanya untukmu. Sebenarnya bekerja sama denganmu sudah cukup bagiku."
"Apa waktunya sekarang aku berterima kasih?" kekeh Anala tapi masih memperhatikan foto-foto di layar.
Pria itu tidak menjawab, namun menatap wanita berparas manis disampingnya itu cukup lama hingga membuat Anala tersadar dan balas melihat.
"Ada apa?" Anala melambaikan tangan kedepan wajah pria bernama Dion itu karena masih saja diam menatapnya, "Dion??"
Dion tersadar lalu tersenyum dan menggeleng, "bukan apa-apa."
"Aneh sekali. Ayo siap-siap untuk pemotretan selanjutnya," Anala memekul bahu Dion sekilas hendak pergi untuk memastikan apa yang lainnya sudah siap.
Namun langkah Anala tertahan karena mendadak Dion memegang tangannya.
"Kenapa?"
Dion tampak berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan Anala, "hum.., kamu juga akan melakukan pemotretan kan?"
"Ya, setelah ini aku akan ganti pakaian, tumben sekali kamu bertanya seperti ini? Ada masalah?" Anala menjawab apa adanya sambil menarik tangannya yang tadi dipegang Dion.
"Aku hanya memastikan."
Anala mengangguk kecil dan pamit untuk pergi lagi.
Disisi lain, Jaeta yang sudah bertukar pakaian untuk pemotretan berikutnya memperhatikan interaksi Anala dengan fotografer dengan wajah datar, bahkan sampai Anala berjalan mendekat ekspresinya tidak berubah.
"Apa dia sudah siap?" tanya Anala pada anak buahnya yang tengah merapikan baju serta rambut Jaeta.
"Hampir selesai mbak,"
Anala mengangguk dan tersadar dengan ekspresi wajah Jaeta yang tampak seolah punya masalah dengannya.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Anala dengan irama kesal karena tatapan Jaeta yang seolah membuatnya tampak seperti sesuatu yang aneh.
"Tidak apa-apa."
"Dasar aneh," gumam Anala kini ikut merapikan baju yang Jaeta kenakan.
"Apa manusia tidak memiliki mata itu adalah pacarmu?"
Anala mengernyitkan dahinya mendongak menatap Jaeta, "Dion maksudmu?"
"Masih sempatnya pacaran disaat semua pada sibuk,"
"Jangan sembarangan bicara, dan satu lagi mulutmu itu benar-benar. Sombong sekali, kamu pikir kamu sempurna?" kesal Anala sambil dengan sengaja memasangkan kancing di pergelangan tangan Jaeta dengan keras.
"Sakit woy! Nyantai dikit bisa?"
"Bisa sakit juga?"
"Punya dendam apa sih ni orang?"
"Masih nanya? Yang ngerusak desain aku siapa memangnya?"
Jaeta memutar bola matanya malas, "mulai lagi. Ini pemotretannya gini doang? Nggak ada temennya? Nggak ada cewek gitu?"
"Kenapa memangnya? Udah gatel mau ngalusin cewek?"
"Nanya doang, kamu harus periksa tekanan darah sepertinya. Apa-apa ngegas, heran," Jaeta meninggalkan Anala begitu saja bersiap-siap untuk pengambilan gambar.
*
Jaeta kembali bertukar pakaian entah sudah untuk yang ke berapa, hari ini ia benar-benar menyediakan waktu hanya untuk pemotretan.
"Cewek judes mana?" tanya Jaeta pada wanita yang tengah merapikan rambutnya.
"Cewek judes siapa maksudnya mas?"
"Itu loh si Anala, kemana? Kok nggak kelihatan beleknya?"
Terdengar tawa kecil dari wanita itu mendengar ujaran Jaeta, "oh Mbak Anala, dia lagi siap-siap juga mas,"
"Siap-siap ngapain?"
"Dia kan juga mau pemotretan,"
"Pemotretan apa?" Jaeta bertanya penasaran.
"Ya pemotretan ini, kan Mbak Anala memang biasa jadi model untuk produknya sendiri,"
Dahi Jaeta mengerut, "emang bisa? Wajah lecek gitu mau ikutan pemotretan? Aku saja ragu apa tadi dia sudah mandi atau tidak. Dia tampak berantakan sekali, bentukannya itu tidak menunjukkan kalau dia itu desainer."
"Jangan salah mas, Mbak Anala itu emang pembawaan dan gayanya santai. Tapi dia paham kapan merubah penampilannya, lagian bagaimanapun gayanya Mbak Anala itu udah cantik,"
"Percuma juga cantik kalau judes."
Wanita itu hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala mendengar pendapat Jaeta, "Mbak Anala itu baik banget sebenarnya, cuma ya dia agak keras kepala dan tegas."
"Kamu memuji karena kamu bekerja bersamanya bukan?" Jaeta tertawa sambil meraih air mineral dan menenggaknya.
Namun Jaeta tersedak karena tiba-tiba matanya menangkap sosok cantik yang sedang berjalan kearahnya.