Keesokan paginya Egi bangun dari ranjang. Efek obat perangsang dan penenang telah hilang. Lelaki tampan itu menjerit dengan keras ketika bangkit dari ranjang kemaluan bengkak dan sakit. Semalaman ia digilir oleh kelima wanita binal itu. Mereka memperkosa Egi berulang kali hingga pingsan.
Egi mengambil celana dalamnya yang berserakan di lantai. Dengan tertatih Egi menggunakan pakaiannya.
"Lo sudah sadar?" Tanya seseorang membuat Egi kaget. Untung saja ia sudah menggunakan celana dan tidak telanjang bulat. Egi trauma diperkosa. Kemaluannya perih dan sakit karena terlalu dipaksakan bercinta.
"Lo," ucap Egi dengan amarah dan emosi meledak-ledak. Ia melihat Dian tersenyum manis padanya.
"Mau sarapan?" Dian basa basi seraya memperlihatkan roti yang akan dimakan. Dian memakan roti dengan lahap dan meminum segelas susu.
"Roti dan susu buat lo juga ada," ucap Dian menunjukkan roti dan susu buat Egi. "Semalam bercinta tentu menguras tenaga Egi. Melayani lima orang wanita itu tidak mudah."
"Lo wanita biadab. Kau wanita apa tidak? Tidak punya hati nurani," balas Egi melampiaskan kekesalannya.
Dian tertawa terbahak-bahak seraya memegang perut. Entah bagian mana yang lucu ia tertawa mendengar makian Egi. Entah kenapa Dian begitu bahagia melihat rivalnya menderita.
"Baru tahu jika gue biadab? Lo kemana aja selama ini. Ini masih baik. Andai yang memperkosa lo wanita yang memiliki kelainan bagaimana? Setelah puas bercinta dia akan membunuh dan memutilasi lo buat kepuasaan seksnya? Gue masih baik lo," kata Dian sok manis dan innocent.
"Gue muak liat muka sok manis lo. Jika bukan karena hasutan enggak mungkin Bara tega melakukan semua ini sama gue. Dia sangat mencintai gue. Kami saling mencintai."
"Ya Tuhan ampuni hamba jika harus meledek bencong ini," ledek Dian mencibir Egi.
"Gue bukan bencong," bentak Egi tak suka dikatakan 'bencong'.
"Kalo bukan bencong apa dong? Nangis diperkosa," ledek Dian sekali lagi. Ia tertawa terbahak-bahak meledek penderitaan Egi.
Darah Egi bergejolak merasa dipermainkan. Ia akan melayangkan pukulan pada Dian namun ia urungkan karena mendapatkan tatapan intimidasi.
"Mau apa lo?" Gertak Dian dengan aura wajah gelap. Nyali Egi langsung ciut.
"Lo ingat ga bagaimana gue mukulin lo ketika di Padang? Jangan pernah berpikiran untuk memukul gue kalo tidak gue akan bunuh 'Jojo'," ucap Dian menunjuk selangkangan Egi.
Refleks Egi melindungi selangkangannya dengan tangan. Sikap konyol Egi memancing tawa Dian. Entah kenapa menyakiti Egi memberikan kebahagiaan untuknya.
"Puas lo membuat gue menderita?" pekik Egi melampiaskan emosinya. Ia mengambil gelas dan melemparnya ke lantai.
"Aw....gue takut," ledek Dian mencibir Egi. Dian menjulurkan lidahnya membuat Egi semakin marah.
"Gue tidak akan pernah melupakan semua ini Dian. Gue membenci lo. Seumur hidup gue akan mengingat peristiwa ini. Bagaimana kelima wanita itu memperkosa gue. Mereka mencambuk dan menampar gue. Ingat Dian karma akan berlaku untuk lo."
"Sebenarnya lo yang mendapat karma. Hukuman buat lo karena mencoba membunuh istri bos. Lo sudah tidak patuh dan melanggar larangan bos. Lo masih beruntung bos masih memberikan kesempatan untuk hidup. Jika lo bukan kekasih bos nasib lo tidak akan seberuntung ini."
Bibir Egi bergetar, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Egi terdiam dan menatap kosong. Ucapan Dian ada benarnya. Bara tidak mengenal kata maaf dan ampunan. Egi pernah menyaksikan Bara membunuh anak buahnya. Aura Bara sangat menyeramkan dan mirip mafia Jepang yang sering ia tonton.
Egi menyesali perbuatannya. Andai rasa cemburunya bisa ditahan ia tak akan berbuat nekad membunuh Dila. Untung saja usahanya gagal. Andai Dila mati saat itu ia tak dapat membayangkan murkanya Bara. Ia yakin akan disiksa dan dibunuh perlahan-lahan. Membayangkan saja membuat bulu kuduk Egi merinding.
"Kenapa lo diam saja? Lo ingat kata-kata gue. Setelah kejadian ini jangan berharap bos akan seperti dulu sama lo. Kemungkinan besar bos akan mencampakkan lo. Setidaknya bos tidak meminta gue untuk membunuh lo," kata Dian tak sudi melihat wajah Egi.
Tubuh Egi menggigil dan meremang mendengar celotehan Dian. Wanita itu sangat menakutkan dan kejam. Jangan pernah tertipu dengan penampilannya. Jika dilihat sekilas Dian hanya sekretaris yang mengandalkan wajah cantik dan tubuh seksi. Namun siapa sangka wajah dan tubuh seksinya menyembunyikan sesuatu yang mematikan. Wanita itu bisa melakukan segalanya untuk Bara bahkan Dian bisa membunuh seseorang dalam hitungan detik. Dian menguasai silat dan karate. Ia bisa melumpuhkan lima orang laki-laki.
"Jadi apa yang lo alami tadi malam buah dari perbuatan lo. Semoga kejadian malam tadi membuat lo menyadari lo bukan apa-apa dimata Bara. Dia lebih takut kehilangan gue daripada lo," ucap Dian meninggalkan Egi.
Melihat wajah Egi membuat Dian muak, apalagi sikap manjanya. Luka dan memar di sekujur tubuh Egi tak membuat Dian menaruh simpati. Ia malah mensyukuri apa yang terjadi pada Egi. Sudah lama ia ingin menyingkirkan Egi dari sisi Bara namun ia tak berdaya.
Dian berencana memperalat Dila untuk menjauhkan Bara dan Egi. Dian tahu jika Dila mencinta orang lain dan telah menunggu si pria selama bertahun-tahun. Dila menikahi Bara karena perjodohan orang tuanya. Dian yakin bisa mengendalikan Dila.
Dian kembali ke kamar dan matanya terbelalak melihat pintu kamar terbuka lebar. Dian langsung waspada dan perlahan-lahan memasuki kamar. Ia bersiaga sewaktu-waktu ada orang yang menyerangnya. Dian mendengar suara dari kamar mandi. Ia memasang kuda-kuda untuk menyerang namun kegiatannya terhenti ketika melihat Bara.
"Kamu mau menghajar saya?" mata Bara mendelik tidak suka.
"Saya pikir ada penyusup bos. Siapa suruh bos datang ke kamar saya tanpa pemberitahuan," balas Dian tak terima tuduhan Bara.
"Kamu darimana?"
"Saya dari kamar Egi. Mau mengecek keadaannya."
Bara terlihat bersemangat ketika Dian menyebut nama Egi. Entah kenapa mendengar nama Egi membuatnya senang.
"Bagaimana keadaannya?" Bara terlihat antusias dan mengkhawatirkan keadaan Egi. Bukan hal mudah bagi seorang gay melayani nafsu lima orang wanita. Bagi laki-laki normal merupaka anugerah bisa meniduri para sosialita kaya dan cantik, namun bagi gay seperti Egi merupakan petaka dan musibah.
"Dia seperti gadis perawan yang diperkosa. Dia tidak bisa berjalan dengan baik dan tertatih-tatih," ucap Dian tanpa melirik Bara. Membahas Egi membuatnya lelah.
"Sama seperti kamu dulu berarti," gurau Bara tanpa sadar mengungkit masa lalu Dian.
Wajah Dian memanas dan terdiam cukup lama. Ia sudah melupakan peristiwa pahit itu dan Bara kembali mengungkitnya. Seumur hidup Dian tak ingin mengingat kejadian pahit yang telah mengubah hidupnya. Air mata Dian tiba-tiba mengalir dari kedua sudut matanya. Kejadian itu membuatnya rapuh dan pernah mencoba bunuh diri. Ia ingin melawan takdir dan tak bisa menerima kenyataan yang ada.
Diamnya Dian membuat Bara sadar jika ia keceplosan mengungkit kejadian lima belas tahun yang lalu. Peristiwa itu tidak hanya merusak masa depan Dian, tapi juga masa depannya.
Bara menyentuh pundak Dian, namun perempuan itu menepisnya. Ia sangat tersinggung dengan ucapan sang bos. Bara boleh mengatakan apa pun asal tak mengingatkannya kejadian lima belas tahun silam. Bara mengorek luka lama dihatinya dan itu membuatnya terluka.
"Bos tinggalkan saya sendiri," ucap Dian mengusir Bara dengan tatapan kosong.
Bara menyadari kesalahannya dan membujuk Dian.
"Maafkan.."
"Bisa pergi dari sini bos. Pergi dari sini dan biarkan aku sendiri. Jika bos tetap disini aku tak jamin bisa mengontrol diri dan melukai anda!"