Dian dan Bara tak banyak bicara di dalam pesawat. Peristiwa tadi pagi membuat mereka kaku dan tegang. Bara tak berani mengajak bicara. Ia tahu dalam kondisi seperti ini Dian butuh waktu untuk menenangkan diri. Jika mengajak bicara Bara hanya bicara seperlunya untuk menanyakan jadwal pekerjaan.
Dian menjawab sekedarnya dan lebih memilih banyak diam. Ia masih kesal pada Bara. Tak hanya masih peduli pada Egi tapi juga mengingatkannya peristiwa pemerkosaan yang ia alami.
Pesawat mereka sudah mendarat di bandara Internasional Minangkabau. Turun dari pesawat mereka langsung keluar karena mereka tak punya bagasi. Mereka hanya pergi satu hari jadi cukup membawa ransel. Dian sudah menyiapkan keperluannya. Semua keperluan Bara sudah disiapkan Dian.
Dian merogoh tasnya. Dian menghidupkan smartphone dan menghubungi Abi, sopir pribadi Bara.
"Abi kami sudah di depan. Susul kami kesini," titah Dian menelpon Abi.
Tak lama berselang Abi muncul dihadapan mereka. Bara dan Dian naik mobil. Dian duduk disamping Abi dan Bara sendiri di belakang. Dian masih kesal sehingga ia memilih duduk di depan bersama Abi. Biasanya Dian selalu duduk di belakang menemani Bara.
Abi sudah paham jika Dian duduk di depan berarti mereka sedang bertengkar. Abi mengira mereka sepasang kekasih dan sangat mendukung jika mereka jadian. Abi melihat Dian seperti istri Bara karena memahami semua kemauan Bara tanpa lelaki itu bicara. Namun sayang harapan Abi melihat Dian dan Bara menjadi sepasang kekasih pupus karena Bara seorang gay. Jujur saja Abi ingin berhenti kerja mengetahui bosnya bengkok dan takut terjerumus.
"Kita pulang kemana bos? Rumah istri bos atau orang tua bos?" Tanya Abi melirik kaca spion.
"Tunggu sebentar," balas Bara seraya meraih smartphone. Ia menghubungi Dila dan menanyakan keberadaan istrinya. Ia masih canggung berada di rumah mertuanya.
Dila mengangkat telepon Bara.
"Assalamualaikum uda," sapa Dila ramah.
"Kamu ada di rumah? Aku sudah sampai Padang. Canggung rasanya pulang ke rumah jika kamu tidak ada."
"Aku di rumah saja. Tidak kemana-mana. Pasti masih asing ya tinggal di lingkungan baru," tebak Dila.
"Begitulah," jawab Bara singkat. Ia sedang tak mood bicara.
"Ok," balas Dila singkat. Ia masih canggung berkomunikasi walau mereka sudah suami istri. Entah kenapa ia menjadi canggung padahal ketika status mereka nasabah dan pegawai bank banyak bicara.
"Kita ke rumah mertuaku," ucap Bara melirik Dian. "Setelah mengantarku baru kamu antar Dian."
Abi mengangguk," Baik bos."
Abi banting stir membelah jalanan kota Padang. Sebagai kota kecil Padang tak pernah mengalami kemacetan kecuali akhir pekan di kawasan Basko Grand Mall. Warga kota belanja bulanan karena lahan parkir terbatas banyak mobil yang parkir di pinggir jalan dekat mall.
Efek tak pernah macet, warga kota Padang tak memiliki kesabaran ketika menyetir. Mereka tak mau memberikan jalan untuk pejalan kaki,motor dan mobil yang mau putar arah. Jika lampu merah sudah hijau dan mobil kalian belum juga jalan para pengendara di belakang sudah kesal dan menekan klakson berkali-kali hingga membuat kita kesal. Pengendara merasa jalan milik mereka sendiri dan mau menang sendiri. Tak ada rasa sabar dan sifat mengalah.
Kondisi ini jauh berbeda dengan Jakarta. Penduduk Jakarta yang biasa menghadapi kemacetan memiliki rasa sabar dalam menunggu dan mau memberi jalan untuk pejalan kaki yang melintas.
Dalam mobil tak ada pembicaraan. Dian dan Bara sibuk dengan gadgetnya masing-masing sementara Abi sibuk menyetir. Abi memilih diam dan tak banyak bertanya. Dian dan Bara sedang perang dingin. Abi tak mau kena semprot keduanya. Jika sedang marahan mereka berdua tak segan menjadikan Abi pelampiasan.
Dering smartphone Bara memecah keheningan. Herman menelpon Bara.
"Halo papa," sapa Bara ramah pada ayahnya.
"Kamu ada dimana? Sudah pulang bulan madu?"
"Sudah pa. Kenapa?"
"Kalo begitu kamu ke rumah! Papa mau bicara empat mata."
" Bicara apa ya Pa? Bara masih capek nich," tolak Bara secara halus. Ia butuh tidur karena semalam ia tak bisa tidur karena memikirkan Egi.
"Wajar sich pengantin baru capek. Baru selesai tempur," kata Herman menggoda Bara.
"Papa apaan sich?" protes Bara tak suka candaan Herman.
"Papa juga pernah muda Bara. Kalo pengantin baru yang kerjaan tiap hari tempur terus. Senggol dikit langsung bacok," balas Herman.
"Itu papa bukan Bara."
"Kamu keturunan papa lo. Dipecat jadi anak kalo kamu tidak perkasa kayak papa."
"Perkasa sich perkasa tapi sayang anaknya cuma satu," balas Bara menohok menyindir sang ayah.
"Kamu banyak bicara. Sekarang kamu ke rumah aja. Enggak ada protes," kata Herman galak. Setelah itu ia mematikan telepon.
"Abi pulang ke rumah papa. Pak tua itu ingin bicara. Enggak tahu apa jika aku capek dan mengantuk," gerutu Bara memberi perintah pada Abi.
"Pak tua itu ayah bos. Tolong ganti panggilan untuk Pak Herman. Nanti kualat," ucap Dian mengingat. Dian masih kesal dan tak menatap Bara ketika bicara.
"Lupa kalo mata-mata papa ada disini," sindir Bara tak kalah pedas."Abi putar balik ke rumah papa."
"Baik bos," balas Abi memutar mobil untuk balik arah. Dalam hati Abi mentertawai sikap Bara dan Dian yang sangat kekanakan. Mereka bak sepasang ABG labil yang sedang bertengkar. Sebentar baikan dan sebentar bertengkar. Andai mereka berdua temannya mungkin sudah ia ledek habis-habisan.
Tak butuh waktu lama mereka sudah sampai di rumah orang tua Bara.
Bara turun dari mobil dan menemui Herman. Sementara itu Dian turun menyapa mama Bara yang sedang asik menyiram bunga. Bara tak terlalu lama berbasa-basi dengan mamanya karena menemui Herman.
Herman sudah menunggu Bara di ruang kerja. Pria paruh baya itu sengaja menunggu disana supaya tak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. Jika bicara di ruang tamu atau keluarga takut ada ART yang lewat.
Bara mengetuk pintu sebelum masuk. Sebejat-bejatnya Bara, ia masih memiliki tata krama sebagai orang Minang. Masih tahu kato nan ampek. Kato nan ampek adalah cara bertutur kata atau etika bicara ala orang Minang.
Kato nan ampek terdiri dari kato mandaki, kato manurun, kato malereng, dan kato mandata. Kato mandaki merupakan etika berbicara dengan orang tua atau orang yang lebih tua. Hendaknya kita bertutur kata dengan lembut, sopan, dan menghormati.
Kato Manurun digunakan saat berbicara kepada orang yang lebih muda dari kita, seperti orang tua kepada anak, kakak kepada adiknya, guru kepada muridnya. Kepada yang lebih muda itu tetaplah harus juga pandai menghargai dan tidak semena-mena. Tidak merasa paling tahu dan paling benar.
Kato Malereang merupakan etika berbicara dengan orang yang dituakan secara adat atau orang-orang terhormat seperti orang-orang nagari (pemerintahan). Kepada orang-orang ini, hendaklah kita juga harus berbicara dengan lembut dan santun.
Kato Mandata merupakan cara bertutur kata kepada teman sejawat kita. Yakni kepada mereka yang seusia dengan kita. Kepada teman sebaya, tutur kata kita mungkin tidak sebagaimana kepada orang yang lebih tua, tetapi kata-kata itu tetap harus dalam koridor saling menghargai, saling menjaga perasaan, dan tidak menyinggung.
"Masuk," teriak Herman dari dalam.