Chereads / Suamiku Bukan Milikku / Chapter 2 - BAB 2

Chapter 2 - BAB 2

Dua tahun kemudian ....

Azka dan Ayudia duduk di pelataran rumah sembari memperhatikan Zein dan kedua adiknya bermain bola. Amar dan Amir yang sudah berumur dua tahun tampak sangat lucu. Mereka berebut bola, menangis, berteriak, dam tertawa. Terjatuh lalu bangun lagi sambil menangis.

Zein tertawa memperhatikan kedua adik kecilnya. Dia mencium keduanya penuh kasih. Sang kakak mengajak mereka berguling dan berkejaran di rerumputan.

"Yu, aku pengen punya anak perempuan." Azka meraih tangan Ayudia yang berada di sisinya.

"Nanti aja, mereka masih kecil," tolak Ayudia halus sambil beranjak dari kursi. "Kamu mau minum apa?" Ayudia memperhatikan suaminya.

"Bikinin aku minuman dingin, ya."

"Okey." Ayudia pun pergi ke dapur.

Ayudia suka melayani Azka dengan tangannya langsung daripada meminta asisten rumah tangga yang membuatkannya. Saat dia kembali, ia membawa nampan berisi minuman dingin dan kue kering. Dia memanggil ketiga putranya agar mendekat.

Zein dan si kembar berlarian saat mendengar panggilan ibundanya.

"Nda ... Nda, num." Amar menunjuk gelas dengan air sirup berwarna merah di dalamnya.

"Minum Nak?" Ayudia tersenyum sembari memberikan gelas kepada Amar.

"Pa ... Pa ...." Amir menarik celana ayahnya. Azka merengkuh Amir ke dalam pelukannya lalu menciumi sang putra. Dia pun mengambilkan gelas dan memberikan kepada Amir.

Si kembar kelelahan dan kehausan setelah bermain dengan Zein, sang kakak.

"Abang, sebentar lagi Abang masuk asrama, ya!" ujar Ayudia sambil membelai kepala Zein dengan lembut. Zein telah berusia 9 tahun.

"Iya Bunda, tapi ... gimana jika Zen kangen Amar sama Amir?" Suara Zein terdengar sedih.

"Kami pasti datang menjengukmu Nak, kan sebulan sekali Abang boleh pulang." Ayudia duduk di kursi memangku Amar.

"Yu, kalau dia gak mau tinggal di asrama biar aja gak usah. Jangan dipaksa." Azka merasa tidak rela jika harus berpisah dengan Zein.

"Nak, jangan dengarkan kata Papa kamu. Lebih baik kami menanggung rindu daripada kamu jadi hantu." Ayudia melirik Azka. Dia merasa kesal kepada suaminya yang tidak kompak dengannya. Dia berusaha membujuk Zein, tapi Azka justru memberikan angin surga kepada anak itu.

"Jadi hantu, Bunda?" Zein merasa bingung.

Azka tertawa gelak. Tentu saja Zein tidak mengerti istilah itu. Dia masih anak-anak. "Maksud Bunda kamu, dia takut kamu nanti salah pilih teman, terus, malam-malam kelayapan. Nah itu maksudnya, keluar malam-malam seperti hantu."

"Papa pernah jadi hantu? Hantu yang kelayapan malam-malam?" Zein menatap dalam bola mata Azka.

Azka melempar pandangan kepada Ayudia. "Sebaiknya lain kali kamu perhatikan kata-kata kamu, Yu!" Azka merengut. "Kami pernah jadi hantu, Nak," gumam Azka di dalam hati.

"Yaaa ... karena itu Papa dan Bunda tidak ingin hal itu terjadi sama kamu. Kamu sekolah di asrama ya. Sekarang mungkin kamu gak mengerti. Tapi nanti, ketika kamu besar nanti, kamu akan mengerti maksud dari kata-kata Bunda kamu."

"Okey, Zen sekolah di asrama." Zein mengangguk. Dia mengejar Amar dan Amir yang kembali berlarian.

"Ka, aku mau kerja lagi, tapi mungkin enggak seharian." Ayudia berkata dengan hati-hati, meminta izin kepada sang suami.

"Untuk apa kamu bekerja? Royal Gardeno tetap berjalan meski kamu kerja. Kalau kamu kerja lagi, si kembar gimana?"

"Mereka sekolah, waktu mereka pulang aku juga pulang ke rumah. Azka, boleh ya aku kerja lagi?" pinta Ayudia penuh harap.

"Okey, kalau anak-anak pulang, kamu juga pulang."

"Okey." Ayudia tersenyum senang.

Azka tertawa senang melihat ketiga putranya. Dia sangat bahagia. Menurutnya tidak pernah di dalam hidupnya terasa lebih baik dari saat ini.

Kemudian, dia memperhatikan Amar lebih lekat. Dia sedikit mirip dengan Yuma, hanya saja Yuma memiliki kelopak mata yang lebih sipit. Dirinya merasa sedih dan bersyukur di saat yang bersamaan. Azka bersedih saat teringat Yuma, namun dia bersyukur diberi pengganti Yuma dengan tiga orang anak lelaki.

***

Azka memasuki pintu Galeri miliknya. Dia menyapa beberapa pegawai dengan ramah. Kemudian, dia memperhatikan lukisan dan beberapa porselen yang terpajang dengan rapi.

Stok barang di Galerinya semakin menipis. Azka menghela napas panjang. dirinya tidak pernah lagi pergi ke pedalaman dan melakukan penggalian untuk berburu porselen peninggalan kekaisaran Cina.

Saat ini Azka hanya menunggu seseorang menawarkan kepadanya, sedangkan itu sangat jarang terjadi. Kalaupun ada, biasanya para kolektor yang ingin menjual porselennya. Dan itu berarti, harganya tentu saja sangat mahal. Terkadang para kolektor tidak benar-benar ingin menjual barangnya. Mereka hanya uji coba pasar, hanya penasaran dan ingin tahu berapa nilai jual koleksi mereka itu setelah beberapa tahun menyimpannya.

Azka tetap memiliki banyak penghasilan dari saham-saham yang dia miliki di beberapa perusahaan besar. Azka juga berinvestasi pada usaha properti.

Namun dia masih merasa ada yang kurang. Dia mencintai porselen. Barang-barang itu begitu berharga. Ratusan miliar hanya demi sebuah cawan kecil. Hasratnya untuk memiliki barang-barang itu begitu menggebu-gebu. Namun saat ini memang sangat sulit untuk mendapatkan barang-barang itu.

Belum lagi begitu banyak perkebunan sawit yang menyebar di belahan bumi mana pun. Hal itu tentu saja membuat penggalian untuk pencarian porselen mustahil dilakuan.

Azka memasuki ruangannya di Galeri. Ruangan yang dulu sering Azka gunakan setiap hari. Namun sejak ada Ayudia dan Zein yang memasuki kehidupannya, Azka kembali ke rumah. Rumah yang dulu besar namun begitu dingin. Kini berubah menjadi istana penuh cinta.

Azka berbaring menatap langit-langit. 'Mungkin aku harus mulai melukis lagi.' Azka membatin.

Azka mengambil sebatang rokok dan menyelipkan di antara kedua bibirnya. Asap rokok menyebar, membumbung hingga ke atas langit-langit kamar.

Sebuah nada panggilan dari ponsel Azka membuyarkan lamunannya.

"Ka ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu. Katanya dia ingin menjual sebuah cawan." Zola menghubungi Azka setelah sekian lama mereka tidak pernah menjalin komunikasi.

"Benarkah?" Suara Azka bersemangat. "Aku akan kirimkan alamat agar dia bisa temui aku."

"Aku yang akan mengantarkannya. Dia seorang wanita. Aku sekalian bermaksud menemuimu. Telah lama kita enggak bertemu," ujar Zola.

"Benarkah? Kapan kamu akan datang? Kita memang sangat lama enggak bertemu Zola. Aku merindukanmu." Azka berkata dengan ramah.

"Hari ini. Kami berada di kota Inka sekarang." Zola memberikan kepastian.

"Okey, aku menunggumu." Azka menyudahi panggilan itu.

{Royal Gardeno Store. Jl. Jendral Sudirman} Azka mengirim pesan singkat. Azka bersiap pergi dari Galeri menuju RGS.

Ketika di dalam ruangannya di RGS, Azka sibuk dan larut dalam pekerjaannya. Dia memperhatikan foto-foto porselen yang dikirimkan kepadanya melaui email dan aplikasi sosial media.

"Hm ... barang ini semuanya palsu!" Azka besungut-sungut kesal. "Apa aku harus melakukan penyelaman? Sangat sulit mencari barang sekarang. Tapi aku enggak mungkin meninggalkan Ayudia. Aku juga enggak sanggup jika berpisah dengan Amar dan Amir." Azka kembali larut dalam pikirannya selama beberapa saat.

Dia merasa kesal dan frustrasi. Entahlah apa yang dipikirkan Azka. Sebenarnya dia mempunyai uang yang sangat banyak. Namun ketika membicarakan hasrat dan hobi tentu akan berbeda.

Suara ketukan membuatnya tersadar. Azka membuka pintu ruangannya. "Zola ...." Azka memeluknya dengan hangat dan erat. Dia menepuk punggung lelaki itu berkali-kali.

Setelah cukup lama, mereka melepaskan pelukan.

"Ka, dia adalah seseorang yang aku ceritakan mau menjual cawan sama kamu." Zola menunjuk seorang wanita muda berusia pertengahan 20-an .

Azka mengalihkan pandangannya kepada seorang wanita yang berdiri di sebelah Zola.

Wanita itu sangat cantik ....

Rambutnya panjang dan lurus sebatas punggung. Dia memiliki tubuh yang langsing. Kulitnya sangat putih dan mulus hampir mirip orang etnis Tionghoa. Wanita itu mengenakan dress kasual sedikit di atas lulut.

Iris matanya berwarna cokelat terang. Bibirnya terlihat ranum dengan lipstik berwarna peach yang lembut. Mata Azka terbelalak dengan sempurna.

"Sima, apa kabar, Sayang?" Wanita itu tersenyum.

Bahkan Azka lebih tercengang lagi saat mendengarnya bicara.

"Nala?!" Napas dan suara Azka tercekat. Ia tersedak air liurnya sendiri. Nala sangat berbeda. Bahkan dia bisa berbahasa yang sama dengan dirinya.

"Apa kamu merindukanku?" Nala mendekat dan secara tiba-tiba mendaratkan kecupan di bibir Azka.

##BAB 107

Azka merasakan ada sesuatu yang lembut dan beraroma buah menyentuh bibirnya. Dirinya tersentak lalu mendorong tubuh Nala secara tiba-tiba. Dan tanpa sengaja, tangan Azka tepat berada di dada Nala. Wanita itu hampir terjatuh karena dorongan yang kuat.

"Sabar Sayang, jangan terburu-buru. Aku baru menyentuhkan bibirku, tapi kamu udah enggak tahan lagi untuk menyentuhku. Semua milikmu Sayang ... tapi enggak di sini." Nala berkata sembari memberikan kerlingan menggoda.

Nada bicaranya terdengar begitu memuakkan di telinga Azka.

Oh ... ayolah Nala ... semua pun tahu itu hanyalah kalimat sampah yang kamu ucapkan, karena kemarahanmu atas penolakkan Azka.

Azka menyapu bibirnya dengan kasar. Dia meludah ke lantai. Azka menatap tajam ke arah Nala. "Kamu ngapain? Kamu gak punya harga diri?"

Nala merasakan sakit yang luar biasa di dalam dadanya. Azka membuat Nala merasa dirinya adalah lalat yang menghinggapi kotoran lalu mencemari keindahan bibir suaminya.

Zola terdiam mematung melihat kejadian di depannya. Sungguh pemandangan yang sangat buruk untuk disaksikan.

"Sima, kenapa sikapmu begitu buruk kepada istri kamu?" Nala tersenyum getir.

"Kamu bukan lagi istriku, Nala! Kita sudah berpisah. Aku udah mempunyai keluarga yang baru."

"Aku tau, haruskah kamu bersikap seperti itu? Meludah layaknya bibirku adalah kotoran? Lagi pula kita belum melakukan acara perceraian adat. Kita masih berstatus suami istri." Nala terluka begitu dalam.

Dia sangat merindukan Azka. Namun suaminya itu memperlakukan dirinya bagaikan seseorang yang sangat menjijikkan untuk dilihat dan disentuh.

"Aku enggak suka lipstik Nala!" Azka kembali menyapu bibirnya dengan lengan baju.

Tentu saja Nala tidak mengetahui betapa tidak sukanya Azka pada lipstik. Mungkin Azka lupa, ketika mereka bersama di hutan belantara, tidak ada lipstik di sana. Sehingga dia tidak dapat mengatakan ketidaksukaannya.

Alis Azka terangkat. "Perceraian adat?" Nada bicara Azka terkejut.

"Hal itulah yang ingin aku bicarakan sama kamu." Nala melangkah lebih dekat. Di matanya Azka masih terlihat sama. Sangat tampan dan begitu menggoda. Azka memiliki sex appeal yang begitu kuat. Kebanyakan wanita akan terbakar gairah ketika memandangi Azka.

Tubuh yang tinggi, dada yang bidang, membuat wanita berkhayal dapat merasakan kehangatannya. Wajah yang tampan, dengan kontur tulang rahang yang tegas. Jangan lupakan misai tipis dan terawat menghiasi rahangnya. Tentu saja hidungnya yang mancung dan bibir yang menggoda semakin menambah daya tariknya.

Memandangi wajah Azka, mampu membuat para wanita menelan air liur mereka. Terhanyut dalam fantasi liar sesaat.

Azka memundurkan langkah, tatapan Nala membuatnya risi. Dia sangat mengerti arti pandangan itu. Katakanlah, sejak dia remaja, Azka selalu menerima hadiah dari para wanita. Yaitu, pandangan mereka yang selalu mengandung hasrat dan gairah.

"Jangan terlalu dekat Nala, jaga tingkah laku dan kehormatan dirimu. Untukmu, bukan untukku." Azka merasa cemas. Dia memperhatikan ke sekeliling lorong. Azka merasa khawatir ada pegawai yang melihat mereka dan mengadukan informasi yang tidak benar kepada Ayudia.

"Aku ingin bicara sama kamu Sima."

"Hei ... haruskah aku memanggilmu Azka? Tapi aku lebih suka memanggilmu Sima. Cuma kamu Singaku." Nala menggigit bibir bawahnya. Mereka terpisah hampir 6 tahun. Tentu saja Nala sangat merindukan Azka dari kepala hingga ke ujung kakinya.

"Nala, tolong! Kalau kamu mau ngomong, ayo kita ngomong baik-baik, tapi tolong, jaga sikap kamu. Aku udah punya istri."

"Tapi aku juga istri kamu, Azka." Nala tetap memaksakan posisinya di dalam kehidupan Azka.

"Kita sudah—" Kalimat Azka terputus.

"Kalian silakan ngobrol, aku mau pergi." Zola merasa tidak sanggup lagi berada di antara pertikaian Azka dan Nala. Zola merasa akan segera buta dan tuli jika dia berada lebih lama di tempat itu.

"Zola ... jangan!" Azka meraih bahu Zola. Menahan langkah kaki lelaki itu pergi menjauh.

"Maaf Azka, aku enggak bisa. Kamu harus menyelesaikan masalah kalian. Aku enggak ingin terlibat di dalamnya." Zola menepuk punggung Azka.

"Kok bisa kamu begitu? Kamu kan yang bawa dia ke sini. Aku gak tau apa yang dia rencanakan, Zola! Waktu aku percaya sama dia dan mau ikut pergi pas dia ajak aku, dia malah menjebakku." Azka berkata dengan nada yang gusar.

"Sima, apa aku yang menjebakmu, atau kamu yang terjebak dengan perasaan kamu sendiri?" Nala menimpali.

"Perempuan sialan!" Azka memaki seraya menunjuk wajah Nala. Amarah terasa menyesakkan dadanya hingga ke ubun-ubun. Walaupun, di dalam relung hatinya yang terdalam, dirinya menyadari, semua adalah kesalahannya. Andai saja waktu itu dia tidak pernah mengikuti langkah kaki Nala ke hutan itu. Andai saja rasa iba kepada Nala tidak terlalu kuat. Dia tidak akan pernah merasakan sakit kehilangan Yuma.

Jika mengingat kejadian di masa silam, perasaan Azka akan kembali terasa sakit. Dia masih terluka dan hingga saat ini, Azka masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri.

Ketika saat ini Nala datang kepadanya, seakan menorehkan kembali lukanya yang hampir sembuh. Kembali berdarah, lalu ditaburi garam di atasnya.

"Selesaikan aja dulu. Ngomong baik-baik. Dia gak merencanakan apa pun, kok. Dia cuma pengen ngomong aja sama kamu. " Zola menepuk punggung Azka lalu pergi menjauh.

"Kamu gak suruh aku masuk, Sayang?" Nala melingkarkan tangannya di lengan Azka.

Azka menghela napas panjang dan berat. "Masuklah ... mau ngomong apa?" Dirinya pun melepaskan tangan Nala yang melingkari lengannya.

Wanita itu terus berusaha menempel kepada Azka. Sempat terbesit di dalam pikiran Azka, Nala seperti lintah. Menjijikkan dan pengisap darah. Dia yakin dengan datangnya Nala, pasti akan membawa masalah ke dalam hidupnya. Pelan-pelan, dia akan mengisap habis kebahagiaan yang didapatkannya bersama keluarga kecilnya.

Nala duduk di kursi sambil memandangi ke sekeliling ruangan kantor Azka. Terpampang lukisan Azka dan Ayudia beserta ketiga anak mereka.

Nala memperhatikan lemari jati dengan ukiran bunga yang cantik. Di dalamnya terdapat beberapa koleksi porselen Cina.

"Apa mau kamu, Nala?" Azka duduk bersebrangan dengan Nala. Dia mengamati wanita itu secara mendalam. Mencoba menyelami pemikiran Nala dan tujuan di balik kedatangannya.

"Kamu gak nawarin aku minum? Sikap kamu buruk banget sama tamu kamu, Azka. Apalagi aku kan istri kamu. Bukannya seharusnya kamu menyambut aku dengan baik? Ya kan?" Nala berbicara dengan nada yang sangat tenang. Dia terlihat sangat berbeda. Bahkan dapat dikatakan, tutur kata dan bahasa tubuhnya seperti seorang wanita berkelas. Tentu saja tidak termasuk hitungan saat dia berusaha menggoda Azka.

Azka menarik napas panjang. "Kamu mau minum apa?" Azka menawarkan dengan terpaksa.

Oh ... hanya Tuhan yang tahu betapa dia ingin menyeret dan melempar Nala keluar dari ruangannya. Dia masih berusaha bersabar demi mendengarkan apa yang akan Nala sampaikan.

"Aku akan meminum apa pun yang diberikan suamiku. Meskipun aku tahu itu racun sekalipun." Nala memberikan senyuman dan pandangan yang rumit kepada Azka.

"Ayolah Nala, aku gak pernah menyakiti kamu. Aku selalu berusaha memberikan madu dari tanganku sama kamu, walaupun aku tahu pasti kamu meracuniku." Kata-kata itu begitu mendalam. Namun, itulah kebenarannya. Azka selalu bersikap baik kepada Nala meskipun dia tahu pasti Nala menjebak dirinya.

"Gak gitu. Sima, aku cinta banget sama kamu. Tapi ayahku mau menikahkan aku sama laki-laki lain." Terlihat dari raut wajahnya, Nala merasa bersalah.

"Seharusnya kamu ngomong dulu sama aku, bukan menjebakku seperti itu." Azka mengepalkan tangannya.

"Maafkan aku Sima, aku mohon maafkan aku. Aku mau kita kembali bersama seperti dulu. Aku cinta banget sama kamu. Waktu itu aku masih terlalu muda, Sima. Aku gak bisa berpikir dengan baik." Nala berjalan mendekati Azka yang sedang duduk di kursu lalu berlutut di depannya. "Tolong maafkan aku. Kamu benar. Semua adalah salahku." Nala meraih kedua tangan Azka. "Berikan aku kesempatan." Bola matanya menatap Azka dengan lekat, penuh pengharapan.