Dalam perjalanan mengantarkan si kembar, Ayudia sangat tidak fokus saat mengemudi. Dia sangat yakin Azka menyembunyikan sesuatu. Ayudia terus meraba-raba tanpa tahu arah dan tujuan.
Menurut Ayudia, andai kata ada wanita lain tentu saja suaminya akan menjauh. Jika dilihat Azka justru semakin mesra, meski terkadang dia menjadi lebih mudah marah dan lebih banyak diam.
Ayudia merindukan candaan dan kekonyolan suaminya. Namun sepertinya itu tidak lagi terlihat dalam dua minggu terakhir.
Dia terus berpikir Kenapa suaminya tidak lagi bicara terbuka kepadanya. Untuk memikirkan Azka bersama wanita lain itu terlalu ekstrem. Ayudia tahu dengan jelas, Azka adalah tipe lelaki yang menjaga diri, dia adalah lelaki yang punya harga diri tinggi.
Azka ramah dan mudah untuk diajak berteman, namun dia bukanlah tipe lelaki yang mudah menjalin hubungan apalagi mengkhianati sebuah hubungan. Namun Ayudia juga tidak dapat menepis perasaan itu jika melihat Azka yang bersikap aneh.
Amar dan Amir terus mengoceh mengajaknya bicara di sepanjang perjalanan, namun Ayudia tidak dapat meladeni pembicaraan kedua putranya itu. Pikirannya menerawang, melambung jauh.
"Cium Bunda dulu ...." Ayudia menyurungkan wajahnya saat mereka tiba di depan kelas. Amar dan Amir mengecup pipi Ayudia bergantian.
Amar dan Amir segera berlari dan masuk ke kelas saat melihat teman-teman seusia mereka sedang asik bermain.
Ayudia pamit kepada guru si kembar dan dia melanjutkan perjalanan menuju RGS.
Ayudia merindukan tempat itu. RGS bukan hanya sebuah perusahaan yang dia besarkan dengan susah payah. RGS adalah Dion. Salahkan Ayudia yang masih merasa ingin dekat dengannya melalui RGS.
Salahkan Ayudia yang sudah punya kehidupan begitu baik namun terkadang dia masih memikirkan ayah kandung Zein itu. Bukan dia tidak merasa bahagia bersama Azka. Ayudia sangat bahagia dicintai begitu besar. Hanya saja sembilan tahun pernikahan dirinya bersama Dion memanglah bukan waktu yang sebentar.
Ayudia berharap saat usia pernikahan dia dan Azka telah melampaui masa dirinya bersama Dion, dia bisa sepenuhnya mengubur perasaannya bersama kenangan mereka.
Terlebih lagi Zein tumbuh semakin tampan, semakin memiliki kemiripan dengan Dion. Setiap saat melihat Zein bagaikan melihat Dion pada dirinya. Cara Zein tersenyum, sangat serupa dengan Dion. Dia sangat pandai, Zein memiliki sifat sangat penyayang dan ia tidak mudah marah. Zein lebih memilih diam di saat hatinya terluka.
Ayudia berharap perasaannya bukanlah kesalahan. Dion adalah bagian dari hidupnya, melupakannya adalakah ketidakmungkinan yang mutlak. Bahkan walaupun Ayudia mati dan dihidupkan kembali hingga puluhan kali, dia akan tetap mengingat Dion.
Ayudia sangat mencintai kehidupannya yang sekarang. Dia merasa sangat diberkahi. Suami yang sangat mencintainya, anak-anak yang lucu. Kehidupan finansial yang baik. Serta rumah tangga yang damai. Dia sangat bersyukur dengan apa yang dimilikinya sekarang. Ayudia sangat mencintai Azka. Sangat-sangat mencintainya.
Ayudia selalu merindukan suaminya itu walaupun dia hanya pergi dalam beberapa jam saja. Saat ini Azka sangat sibuk. Maklum saja, bisnis mereka semakin besar. Azka membuat beberapa perumahan elit di kota Inka, beberapa apartemen dalam naungan Royal Group Company. Tentu saja dia tidak sendiri, Azka bekerja sama dengan para investor.
Royal Gardeno Store (RGS) pun telah berkembang dengan sangat baik. Mereka bekerja sama dengan hotel berbintang untuk menyuplai sayuran organik. RGS sudah punya gerai di beberapa kota.
Ayudia berusaha untuk mengembangkan RGS di seluruh kota besar. Dia sedang menunggu bantuan dana yang dari Royal Group Company. Dana untuk memperluas lahan sayurannya. Membuat rumah kaca yang lebih besar dengan peralatan yang lebih mutakhir.
Saat ini rumah kaca untuk sayuran organik mereka telah cukup besar, namun masih belum mencukupi jika Ayudia ingin lebih memperbanyak gerai mereka.
RGS memiliki lima ratus pekerja, termasuk di bagian kebun hingga pramuniaga di lima gerai.
Royal Group Company adalah perusahan milik Azka di bidang pengembang properti. Beberapa perumahan elit, apartemen dan beberapa stasiun pengisian bahan bakar. Namun Azka tidak sering berada di kantornya. Dia lebih suka berada di RGS. Azka juga menanam saham pada pasar modal.
Azka bukanlah seseorang yang suka bergaya hidup super mewah. Dia lebih suka terlihat 'berkecukupan' saja. Bukan terlihat kaya raya. Dia hampir tidak pernah lagi melukis. Waktunya banyak tersita untuk mengurus bisnis, dan ya ... dia masih berusaha mengejar porselen tercintanya.
Seorang petugas keamanan RGS berusaha menggapai pintu kaca saat melihat Ayudia turun dari mobilnya. "Pagi Bu," sapa petugas keamanan itu.
"Pagi ... Pak." Ayudia melirik nametag yang terpasang di dada lelaki usia paruh baya itu. "Pak Ruslan."
"Iya Bu." Ruslan mengangguk.
"Apa Bapak selalu membukakan pintu untuk orang-orang?"
"Terkadang Bu, terutama para wanita yang menggendong anak mereka. Pintu kaca ini lumayan berat untuk didorong."
"Oh ya?" Ayudia mengangguk. "Saya akan ganti dengan pintu otomatis secepatnya. Terima kasih Pak ...." Ayudia melangkahkan kakinya memasuki RGS.
Ayudia menyapa semua pegawainya yang berada di gerai. Dia sering datang berkunjung ke RGS, namun biasanya hanya sebentar saja. Ayudia mengumpulkan mereka di tengah-tengah gerai.
"Bisa kalian bergantian ke ruanganku?" Ayudia menatap dalam para pekerjanya.
"Bisa Bu ...." Mereka mengangguk serempak. Perasaan mereka seketika merasa tidak nyaman.
Ayudia menyapa para pekerja di bagian admin. Mereka memiliki ruangan terpisah di belakang RGS, dekat dengan ruangan Ayudia dan Azka. Ayudia meminta laporan keuangan dan laporan penjualan RGS, dan dia juga berkata untuk menemui dirinya di dalam ruangannya.
Ayudia naik ke lantai dua RGS, dia memperhatikan rekaman CCTV beberapa hari terakhir. Ia menghela napas panjang. Ayudia merasa kesal.
Ayudia kembali turun ke ruangannya. Menunggu beberapa pekerja datang.
Para pegawai Ayudia merasa ada sesuatu yang mendesak hingga mereka dipanggil pimpinan. Sebelumnya tidak pernah seperti ini.
"Aku ingin bertanya kepada kalian, apa suamiku pernah membawa wanita ke sini?" Ayudia menatap tajam kepada mereka.
"Enggak Bu." Mereka menjawab bersamaan.
"Kalian yakin? Enggak perlu takut. RGS punya aku, aku akan mempertahankan kalian."
"Benar Bu, Bapak enggak pernah membawa perempuan ke sini, setahu saya begitu. Tapi enggak tau yang lain." Salah seorang dari mereka menjawab dengan gugup.
"Kami juga enggak pernah melihat Bu, Bapak enggak pernah membawa perempuan ke sini."
"Kalian bersumpah?" Ayudia menekan suaranya. Dia memandangi mereka secara bergantian.
Mereka saling pandang satu sama lain. "Kami bersumpah Bu, Bapak enggak pernah membawa perempuan ke sini." Suara mereka terdengar gugup.
Ayudia menaikkan alisnya. Dia sama sekali tidak terpuaskan dengan jawaban mereka. Tentu saja Ayudia tidak menyangka jika pekerja mereka berkata jujur. Azka tidak pernah membawa wanita ke RGS, sekalipun hanya di dalam khayalannya.
"Sekarang aku minta, bawakan absensi karyawan yang bekerja tepat dua minggu yang lalu." Ayudia berkata dengan salah satu dari mereka, secepat kilat gadis itu menuju ruangan kantor administrasi.
Pekerja Ayudia merasa jika nyawa mereka berada di ujung tanduk. Mereka menggerutu hebat di dalam hati, kok bisa mereka terjepit di antara suami istri yang sedang berseteru. Sang suami mengancam. Dan sang istri berjanji memberi perlindungan.
"Andaikan saja aku enggak masuk bekerja hari ini," gerutu mereka penuh penyesalan di dalam hati tiada henti.
Gadis itu kembali dengan membawa sebuah flashdisk berisi data absensi para pekerja.
Ayudia memasukan flashdisk itu ke dalam komputernya. Dia memanggil nama mereka satu persatu mereka yang bekerja pada hari itu. Hari tepat di saat Nala datang.
Tujuh orang pekerja itu memandang Ayudia dengan raut wajah pucat pasi.
"Kalian semua! Apa ini?" Ayudia meletakkan dengan kasar wadah untuk menyimpan rekaman disk CCTV. Wadah itu sepertinya berisi banyak disk.
"Sekarang jelaskan!" Ayudia menuntut jawaban dari mereka semua