Ayudia membelai pelan punggung Amar dan Amir. Bunyi khas terdengar dari jam dinding yang menempel di dinding kamar Amar dan Amir. Ayudia memperhatikan, waktu telah menunjukkan jam sembilan malam. Dia pun mengecup pipi dan kening kedua putranya berkali-kali. Dia lantas keluar dari kamar itu.
Ayudia membuka pintu kamar, dia tidak menemukan Azka di sana. Ponsel suaminya tergeletak di atas meja nakas.
"Pak Surya, suami saya pergi keluar?" Ayudia menghubungi pos keamanan yang berada di pintu pagar rumahnya.
"Enggak, Bu. Bapak ada di dalam," sahut Surya petugas keamanan rumah mereka.
"Oh ya? Ya udah makasih, Pak." Ayudia menutup panggilan. "Di mana dia?" Ayudia bertanya-tanya di dalam hati. Dia memperhatikan ke dalam kolam renang, Azka tidak berada di sana. Lalu Ayudia menyusuri pekarangan rumah, memperhatikan taman bunga mereka. Siapa tahu dia duduk di kursi yang terdapat di taman bunga. Ternyata di situ pun tidak ada.
Ayudia menarik napas panjang dan dalam. Baru kali ini dia kesal memiliki rumah yang begitu besar. Ayudia tidak bisa menemukan suaminya. Dirinya berjalan kesisi kiri rumah, menuju pekarangan samping di sebelah kiri.
Jika pekarangan di sisi kanan rumahnya terdapat kolam renang, di sisi kiri terdapat kolam ikan yang besar dan rerumputan cantik yang menghijau terhampar di atas tanah. Bagaikan karpet hijau yang dibentangkan di seluruh pekarangan rumah mereka.
Dia melihat Azka duduk bersandar di dalam saung yang terdapat di atas kolam ikan peliharaan mereka. Ayudia melihat suaminya begitu lekat memperhatikan langit malam.
Langit terlihat sangat indah dengan ribuan kilauan bintang. Tetap indah walaupun tanpa kehadiran bulan. Perasaan Ayudia merasa tidak enak. Menurutnya, suaminya sedang memiliki masalah, sehingga dia menyendiri seperti itu.
Ayudia melangkah pelan mendekati Azka. Dirinya meraih radio kecil di tangannya. "Bu Galuh, tolong bawakan kopi ke saung ya!" pinta Ayudia, bicara dengan asisten rumah tangga mereka.
"Baik Bu." Wanita paruh baya itu menjawab.
Di dalam rumah mereka setiap pekerja diberi radio talky walky kecil yang diselipkan di baju mereka. Rumah Azka yang sangat besar. Menyulitkan mereka untuk memanggil para pekerja di saat yang dibutuhkan. Sehingga mereka wajib membawa radio mereka masing-masing ke mana pun. Jika mereka menggunakan ponsel, mereka sering melupakannya dan terkadang tertinggal di dalam kamar. Dengan memakai radio, semua pekerja itu mendengar saat sang majikan memanggil dan membutuhkan sesuatu, sehingga saat pekerja yang dimaksud tidak dapat melakukan tugas yang diminta maka pekerja lain yang akan melaksanakannya.
Di rumah itu ada ada dua belas pekerja. Dua orang di bagian dapur. Tiga orang untuk membersihkan rumah. Dua orang tukang kebun sekalian mengurus kolam renang. Tiga orang petugas keamanan. Satu orang supir dan satu orang membantu mengurus Amar dan Amir. Mereka semua tinggal di rumah belakang bersama keluarga mereka. Rumah yang cukup besar dan nyaman, memiliki banyak kamar. Galuh dan suaminya adalah adalah kepala pekerja di rumah ini. Dia dan suaminya yang mengatur pekerja lainnya.
Ayudia berjalan tanpa suara derap langkah kaki. Rumput swiss tebal yang mereka tanam menyamarkan suara langkah kakinya. "Kamu ngapain di sini Sayang?" Ayudia berjalan di atas titian menuju saung.
"Astaga! Aku kira ada ninja cantik menyerangku. Berjalan dengan mengendap-ngendap untuk berduaan sama aku." Tubuh Azka terlonjak mendengar suara Ayudia yang tiba-tiba hadir di kesunyian. Raut wajah konyolnya terlihat lucu.
"Mengendap-ngendap? Untuk apa aku mengendap-ngendap? Kamu yang berpikir terlalu keras sampai-sampai gak tau aku datang." Ayudia mendudukkan dirinya di sisi Rahyhan.
"Sini ...." Azka membuka tangannya, dia merangkul Ayudia dengan hangat.
Ayudia mendongakkan kepalanya. "Kamu liat apa?" Ayudia melihat ke atas, memperhatikan kilauan bintang yang cantik menghiasi langit malam.
"Kamu tau, Yu ... waktu di pedalaman, aku setiap malam memandangi bintang-bintang. Aku mengingat saat-saat kita pergi sama-sama pertama kali. Kita duduk di atas atap kapal kecil, menyusuri kota Inka malam itu. Itu adalah kali pertama aku menyentuh tanganmu."
"Ya, aku ingat. Itu sangat indah." Ayudia menyadarkan kepalanya di pundak Azka.
"Aku takut, Yu. Aku takut jika nanti aku hanya bisa memandangi langit malam, seperti waktu itu. Sangat menyakitkan waktu aku kehilangan kamu."
"Kamu gak akan kehilangan aku lagi, Sayang. Ada apa sebenarnya?" Ayudia memandangi wajah suaminya.
"Yu, seandainya aku kehilangan kekayaanku, apa kamu akan ninggalin aku?"
"Emangnya aku pernah liat materi yang kamu punya?" Ayudia balik bertanya dengan dengan nada penekanan.
"Aku pilih kamu jadi suamiku bukan karena harta yang kamu punya, tapi karena memang apa yang ada di dalam diri kamu."
"Gimana nanti kalau misalnya kita jatuh miskin? RGS harus terjual. Kamu akan tetap sama-sama aku?"
Ayudia menarik napas panjang. "Aku harap itu gak terjadi. Semoga semua berjalan dengan semestinya."
"Kamu takut kehilangan RGS, Yu?"
"Bukan hanya RGS, aku takut kehilangan semua apa yang kita miliki sekarang."
"Begitu pentingkah kekayaan ini untuk kamu?"
"Penting Azka. Dengan apa yang kita miliki saat ini, kita dapat menafkahi tiga ribu anak yatim. Tapi, kalau Tuhan berkehendak lain, maka itu itu telah menjadi ketentuan-Nya. Kita bisa apa? Kita hanya bisa berdoa semoga kehidupan kita mendatangkan manfaat bagi orang lain."
"Jadi, berdoa ajalah semoga dihindarkan dari kemiskinan." Ayudia menyentuh pipi Azka.
Azka mengambil tangan Ayudia dan mengecupnya. Dia begitu bahagia memiliki seorang istri yang sangat mempedulikan orang lain. Pembicaraan mereka terhenti saat seorang gadis usia pertengahan 20-an mendekat membawa nampan berisi kopi dan kudapan.
Saat gadis itu menghilang Azka meraih kepala Ayudia, lalu menyatukan bibir mereka. Mereka saling mengecup dalam waktu yang lama.
Azka meraih radio Ayudia. "Kalian jangan ada yang mendekat ke area pekarangan sebelah kiri."
"Baik Pak!" Mereka menyahut di radio itu.
"Ka, kamu ngapain?" Mata Ayudia membulat. "Kamu sama aja bilang sama mereka kita mau ML di sini."
"Kenapa emangnya? Ini kan rumah kita, dan kita suami istri." Azka berkata dengan nada cuek dan tidak peduli
"Tapi—"
Azka telah membungkam mulut istrinya dengan kecupan bibirnya yang liar. Napas mereka berdua tersengal.
"Kamu gila, Sayang!" ucap Ayudia saat Azka melepaskan tautan bibir mereka untuk bernapas.
"Bukannya dari dulu kamu menyukai kegilaanku?" Azka menaikkan tubuh Ayudia ke atas pangkuannya. Mereka merajut cinta disaksikan jutaan bintang-bintang yang berkilauan di langit. Keduanya terpejam menikmati rasa. Dan selalu terasa indah.