Ayudia berlarian ke sana kemari mengejar Amar. Dan Nanda, perempuan usia 20-an gadis yang membantu Ayudia menjaga anak kembarnya itu berlarian mengejar Amir. Hari ini Amar dan Amir masuk sekolah. Tapi mereka kesulitan memakaikan kedua anak itu baju. Entahlah, mungkin mereka terlalu bersemangat untuk sekolah, sehingga kedua bocah itu merasakan euforia yang berlebihan. Mereka seperti memiliki tenaga ekstra untuk berlarian ke sekeliling rumah.
"Ya udah, kalau masih lari-lari. Kita batal pergi ke sekolah. Nanda, kembalikan baju seragam mereka ke dalam lemari." Ayudia bersuara tegas kepada kedua putranya.
"Baik Bu." Nanda mengambil baju di tangan Ayudia dan melangkah menuju kamar kedua anak lelaki itu.
"Nda ...." Amar dan Amir mendekati Ayudia. Mereka menunjuk baju seragam yang dibawa Nanda menjauh.
Ayudia tersenyum penuh kemenangan. "Nanda, kemarikan baju mereka." Ayudia tersenyum kepada Nanda. Tentu saja Nanda tau kalimat yang sebelumnya Ayudia ucapkan hanyalah siasat untuk putranya.
"Uff ... bahkan dengan anak kecil pun harus memakai siasat." Ayudia berkata kepada Nanda seraya menggelengkan kepala.
"Iya Bu." Nanda mengangguk paham.
Setelah mereka selesai memakaikan kedua anak tampan itu pakaian, Ayudia dan kedua putranya menuju meja makan. Sang bunda menarikkan kursi untuk mereka berdua.
"Nanda tolong jaga mereka sebentar." Ayudia berlalu pergi. Dia mencari suaminya ke kamar. Dan Nanda menyuapi mereka berdua sarapan.
"Sayang ...." Ayudia memanggil Azka dari pintu kamar mandi.
"Ya, Cinta?" sahut Azka dari dalam kamar mandi. sayup-sayup terdengar bunyi gemericik air.
"Kamu sarapan sama-sama, Sayang? Kami nunggu kamu di meja makan." Ayudia bersuara lebih keras.
"Iya, nanti aku nyusul."
Ayudia kembali ke ruang makan, ia mengambil makanan dari tangan Nanda dan menyuapi kedua putranya.
"Nda ... Aba ... Aba ...." Amar menunjuk kursi Zein biasanya duduk saat di meja makan.
"Abangnya masih mandi, sebentar lagi pasti Abang datang." Ayudia tersenyum kepada Amar.
"Ayo Nak, buka mulutmu." Ayudia menyodorkan sendok yang berisi makanan kepada Amir. Amir hanya menggelengkan kepala.
"Nanda, tadi Amir makan banyak gak?" Ayudia memandangi Nanda dengan tatapan cemas.
"Gak, Bu. Amir mau makan, tapi sedikit." Nanda menjelaskan kepada Ayudia.
Ayudia menyodorkan air kepada Amir. "Minum dulu Nak." Amir mengambil air dari Ayudia dan meminumnya.
"Coba Bunda liat, buka mulutnya!" Ayudia mengambil ponsel dan menyalakan senter. Dia meneliti dengan saksama ke dalam mulut Amir.
"Amir sariawan Nak, nanti Bunda kasih obat ya." Ayudia mengelus rambut Amir.
"Sakit?" Ayudia menatap dalam ke dalam bola mata Amir.
"Tit Nda ... (sakit Bunda)." Amir mengangguk.
"Nanti Bunda kasih obat." Ayudia tersenyum. "Eh Abang," sapa Ayudia saat melihat putra tertuanya.
"Bunda." Zein mengangguk dan tersenyum. "Mana Papa?" Zein menarik kursi. Dia duduk di atasnya dan mulai menyantap makanan yang tersedia.
"Papa masih mandi, Zen minggu depan kita masuk asrama Nak." Ayudia mengingatkan putra tampannya itu. Semakin dia bertumbuh, Zein semakin mirip dengan ayahnya. Iris matanya yang bernama kuning madu itu, terlihat semakin indah. Bulu mata Zein sangat lentik dan panjang. Dan kulitnya semakin putih saat ini. Berbeda saat mereka masih tinggal di desa. Zein sering bermain di kebun sayuran bersama ayahnya.
"Iya Bunda." Zein mengangguk lemas.
Ayudia tersenyum melihat perubahan raut wajah putranya. Tentu saja dia tahu, sungguh berat bagi Zein meninggalkan rumah, berpisah dari keluarga dan hidup di asrama.
"Zen nanti bisa pulang sebulan sekali Nak ...." Ayudia membujuknya. Zein hanya mengangguk pelan tanpa suara.
"Wah, jagoan Papa sudah di sini semua." Azka mengelus kepala ketiga putranya. Dia menggendong Amar di tangan kanan dan Amir di tangan kiri. Setelah dia puas bercengkerama dengan mereka berdua, Azka kembali mendudukkan mereka di kursi. Dia pun menarik kursi untuk duduk di atasnya.
"Zen, kenapa wajahmu cemberut pagi-pagi begini Nak?" Azka memperhatikan Zein yang lebih memilih diam tanpa bicara. Biasanya ada saja yang dia bicarakan di pagi hari saat mereka menyantap sarapan bersama. Zein menggelengkan kepalanya malas.
Azka mengalihkan pandangannya kepada Ayudia. Istrinya itu menghela napas panjang. "Aku bilang dia akan ke asrama minggu depan." Ayudia mengangkat bahunya.
"Sudahlah, Yu. Kalau dia gak mau jangan dipaksa. Nanti kita cari sekolah lain."
Zein mengangkat wajahnya saat mendengar Azka berkata demikian. Azka mengedipkan sebelah matanya kepada Zein.
"Kamu terlalu memanjakannya!" Ayudia merengut kesal.
"Yu, masih banyak sekolah lain yang mempunyai materi pelajaran yang sama tapi enggak perlu di asrama."
Ayudia mendesah kesal. Dia menahan diri agar tidak berdebat di meja makan dan menghancurkan mood semua orang.
"Ka, aku akan mulai bekerja hari ini."
"A-pa?!" Nada suara Azka sangat tidak enak didengar.
Ayudia menaikkan alisnya. "Kenapa? Bukannya kita sudah sepakat ketika Amar dan Amir sekolah aku akan kembali bekerja."
"Kamu gak perlu bekerja, kenapa harus bekerja? Bukannya kamu tetap dapat uang kan?" Sangat terdengar ketidaksukaannya akan keputusan Ayudia.
"Ada apa sebenarnya?! Kok tiba-tiba gak boleh?"
"Gak ada apa-apa, aku cuma gak mau kamu kecapean." Azka menekan agar suaranya agar terdengar lebih lunak.
Ayudia menggelengkan kepalan, kesal. Dia menarik napas panjang untuk meredam amarahnya. Dia sangat tidak mengerti akan perubahan mood Azka secara tiba-tiba. Kepalanya tidak bisa berhenti berpikir keras, mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi.
"Okey." Ayudia mengalah. "Mungkin aku hanya harus mencobanya di lain waktu." Dia membatin.
"Ka, apa kamu yang ngantar anak-anak sekolah kan?"
"Gak bisa. Aku lagi banyak banget kerjaan. Hari ini aku ada rapat dengan para penanam saham untuk properti yang sedang kita kembangkan. Kamu antarkan si Kembar, Zen diantarkan Andi."
"Royal Living?" tanya Ayudia antusias.
"Bukan Sayang, bukan apartement kita. Aku sedang mengupayakan pembangunan resort baru di Meera Beach. Kuharap semua berjalan baik."
"Oh ya? Kamu akan pergi ke Meera Beach?"
"Ya, aku akan meninjau lokasi bersama para utusan para investor, kuharap mereka tertarik."
"Okey ... semoga semua berjalan lancar."
"Bunda, Papa, Zein pergi dulu." Zein berdiri dari kursinya dan meraih tangan kedua orang tuanya dan mengecup punggung tangan mereka.
"Hati-hati Nak." Azka dan Ayudia berkata secara bersamaan.
"Aku akan mampir ke RGS nanti." Ayudia berdiri dan meraih tangan si Kembar.
"Untuk apa kamu ke sana?"
"Astaga Azka? Kamu mencurigakan! Ada apa sebenarnya? Kenapa aku enggak boleh ke RGS? Perusahaan yang aku besarkan dengan kedua tanganku sendiri. Kamu aneh, Azka! Jangan katakan kamu membawa wanita lain ke sana." Ayudia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Azka.
"Yu! Jaga bicaramu! Ada anak-anak." Azka melihat kepada Amar dan Amir. Wajah mereka terlihat bingung melihat kedua orang tua mereka berdebat. Azka bersyukur Zein telah pergi dan dia tidak mendengar pembicaraan mereka.
Ayudia berlalu pergi dengan perasaan kesal. Dia meninggalkan Azka yang masih duduk termenung di kursinya.
Azka memperhatikan punggung Ayudia yang menjauh. Dia mengambil ponsel dari saku celananya. {Ingat, jika kalian bicara macam-macam kalian mati}. Azka mendesah kesal. Dia menyapu wajahnya dengan kasar.
Dia tau pasti Ayudia akan datang ke RGS dan mencari tau apa yang terjadi. Azka menyadari kesalahannya, dengan melarang Ayudia pergi ke RGS, tentu saja Ayudia akan semakin curiga. Tapi jika dibiarkan Azka pun merasa khawatir Nala akan datang kembali.
Azka merasa sangat dibuat pusing kerena wanita gila itu.