Nala berlutut di depan Azka yang sedang duduk di kursi. "Tolong maafkan aku. Kamu benar, semua adalah salahku."
Nala meraih kedua tangan Azka. "Berikan aku kesempatan." Bola matanya menatap Azka dengan lekat, penuh pengharapan.
"Sima, aku pun sangat sakit karena kehilangan Yuma, aku menyadari semua salahku. Andaikan aku mengikutimu, andaikan saja aku bisa mengulang kembali waktu. Maafkan aku Sima, berikan aku kesempatan. Aku mohon!" Nala mendekap tangan Azka ke dadanya.
Azka menarik tangannya dengan cepat. "Lepaskan Nala! Duduk di kursi kamu aja!" perintahnya dengan nada penekanan yang kuat. Nala pun mau tidak mau terpaksa menuruti perkataan Azka. Dia duduk di kursinya semula.
"Nala, kamu meminta hal yamg mustahil. Aku udah minta kamu puluhan kali untuk ikut bersamaku, namun kamu selalu menolaknya dengan keras. Bahkan aku menunggumu selama satu bulan di rumah kita. Berharap kamu berubah pikiran. Aku udah kasih kamu kesempatan. Di saat-saat terakhir hubungan kita pun, aku tetap berharap kita bisa sama-sama. Untuk apa kamu datang sekarang? Kamu cuma berusaha menghancurkan hidupku lagi dan lagi. Ya kan?" Azka berkata dengan suara yang bergetar.
"Enggak Sima. Aku gak bermaksud begitu. Di desa gak ada satu pun laki-laki yang mau menikah sama aku. Kita belum cerai. Ada serangkaian acara adat yang harus kita lakukan, dan ada denda perceraian yang wajib kamu bayar. Jadi aku menemui Zola untuk cari kamu."
"Denda? Upacara adat? Kenapa kamu gak bilang dari dulu?"
"Aku pikir gak masalah, toh ... kamu adalah orang luar. Ternyata aku salah. Aku gak bisa menikah lagi."
"Okey, aku akan melakukan acara perceraian adat yang kamu maksud dan membayar dendanya berapa pun itu."
"Enggak Sima, aku gak mau cerai sama kamu." Nala menatap lekat ke dalam mata Azka.
"Apa maksud kamu? Bukannya kamu yang bilang, kamu mencariku karena ingin mau cerai sama aku?" Nada suara Azka meninggi.
"Itu dulu Sima. Bertahun-tahun aku cari kamu, sekalinya kamu ketemu, kamu malah nikah Ayudia. Aku datang di acara itu, Sima. Aku melihat dengan jelas gimana baiknya kamu memperlakukan dia. Sementara waktu sama aku, kamu selalu sedih setiap malam. Setiap malam kamu nyanyi yang entah apa artinya dan aku gak pernah tau. Kalau sama dia kamu keliatan bahagia banget dan mamu menyanyikan lagu itu penuh cinta." Nala tersenyum sinis.
"Keliatan banget perbedaan antara sikap kamu ke aku, sama sikap kamu ke dia. Aku memutuskan untuk tinggal dan hidup seperti cara kamu. Perlahan aku mengerti semuanya. Sangat menyakitkan saat mengetahui." Nala terdiam sesaat.
Nala menarik napas panjang. "Sangat menyakitkan saat mengetahui arti dari lagu yang kamu nyanyikan untuknya. Kamu bernyanyi untuk dia setiap malam. Bahkan ... kamu menginginkannya di saat kamu bersamaku lagi di atas kasur. Kamu begitu mendambakan dia, padahal, kamu menjalani hidup sama aku. Aku mau mengambil apa yang dia udah dia ambil dariku."
"Apa maksud kamu, Nala?" Azka mengepalkan tangannya.
"Aku gak mau cerai sama kamu." Nala berkata dengan tegas.
"Kamu GILA NALA! Aku udah punya istri."
"Bukannya kamu bisa punya istri lebih dari satu?"
"Enggak Nala! Jangan pernah bepikir seperti itu. Gak akan mungkin aku melakukan hal itu. Bahkan walau hanya di dalam mimpi sekalipun."
Nala tersenyum. "Enggak perlu buru-buru. Aku tau kamu pasti masih terkejut. Aku bisa sabar nunggui kamu. Sabar untuk merasakan lagi hangatnya pelukkan kamu.
Bahkan hingga hari ini tiba, untuk bisa duduk di depan kamu. Aku udah menunggu bertahun-tahun. Aku pasti mampu kok bertahan lebih lama lagi nunggu kamu balik sama aku."
"Itu gak akan pernah terjadi Nala!"
"Kamu yakin? Ah." Nala tersenyum penuh arti. "Biar waktu yang membuktikannya." Nala menatap dalam ke dalam bola mata Azka yang seindah berlian hitam.
"Apa maksud kamu?" Azka merasa bingung.
"Sudahlah ... enggak perlu dipikirkan. Ini ...." Nala mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkan di atas smeja.
"Apa ini?" Azka mengeryitkan kening.
"Buka aja!" Nala tersenyum manis.
Azka membuka sebuah kotak hadiah yang disurungkan Nala.
Mata Azka membulat. "Ini ...." Azka terhenyak.
"Iya, itu adalah cawan yang kamu temukan di dalam peti mati hari itu. Hari di mana mereka membawa kamu ke aku. Aku kasihkan buat kamu, ambil aja. Anggap aja hadiah pertemuan kita. Kita akan sering bertemu setelah ini. Harganya luar biasa fantastis ya kan?"
"Gimana kamu bisa tau?" Azka terkejut.
"Aku belajar dari kamu." Nala tersenyum penuh misteri.
"Aku gak bisa menerimanya, Nala. Dan tolong! Jangan pernah lagi temui aku." Azka meletakkan cawan berharga ratusan miliar itu sangat perlahan dan hati-hati. Sebuah cawan kecil itu seharga pulau pribadi.
"Oh gak bisaaa! Kita pasti akan ketemu lagi, Sima."
"Gak bisa. Gak bisa seperti ini. Kita harus bercerai!"
"Kamu yakin? Kalau kita bercerai, separuh kekayaan dan aset kamu punya aku juga.
Kamu yakin mau menceraikan aku? Kurasa, termasuk RGS ini. Apa kata dia, kalau ternyata usaha yang mantan suaminya kerjakan mati-matian, tiba-tiba harus dibagi sama aku?" Kalimat itu bagaikan senjata otomatis, benar-benar mematikan.
"Nala!" Rahang Azka mengeras. Diapitnya lengan Nala dan dipaksanya wanita itu berdiri. Tanpa ampun Azka menyeret Nala menuju pintu keluar.
Azka membuka pintu dengan cepat, dia mengeluarkan Nala secara kasar. "Jangan pernah datang lagi, Nala. Gak ada pernikahan di antara kita. Kamu tuntut aja kalau kamu bisa. Bahkan pernikahan kita gak diakui negara. Dalam kepercayaanku, pernikahan berbeda keyakinan dianggap enggak sah!" Tubuh Azka bergetar menahan emosi.
"Kamu enggak merasa begitu waktu sama aku?"
"Pernikahan kita adalah kesalahan. Aku menikahimu hanya karena kasihan melihat kamu dipukuli sama keluarga kamu. PERGI DARI SINI, SIALAN!" Mata Azka memerah. Dia berkata dengan amarah yang berapi-api.
Para karyawan mereka mendekat, mencari tau apa yang terjadi sehingga keributan terjadi.
"Terpaksa? Kasihan? Kamu gak terlihat gitu waktu kamu mendesah di atas aku." Nala begitu marah. Ini adalah kali pertama dia diperlakukan kasar oleh Azka.
Azka menutup pintu dengan keras dan menimbulkan bunyi yang keras.
"Haah ... dasar perempuan gila!" Azka mendesah keras. Dia sangat marah dengan apa yang terjadi.
Pandangan mata Azka tertuju pada cawan pemberian Nala yang tergeletak di atas meja. Dia mengambil cawan itu dan segera keluar dari ruangannya. Dia bermaksud memberikannya kepada Nala. Azka berlari menyusuri RGS, namun perempuan itu telah meninggalkan gerai mereka.
Para pekerja menatap Azka dengan bingung dan tanda tanya yang besar. Apakah bos mereka telah berselingkuh dari istrinya? Selama ini dia telihat begitu mencintai Ayudia.
"Kalau ada yang bilang masalah ini sama Ayu, kalian mati!" Azka begitu marah. Tanpa Azka sadari, ancamannya terlalu menakutkan. Dia lebih mirip bos mafia daripada bos yang biasa mereka kenal.
"Kalian paham!" Azka bersuara lebih tegas.
"Iya Pak!" Mereka menyahut dan mengangguk secara bersamaan.
Azka berlalu pergi dari RGS meninggalkan pegawainya yang bergidik ngeri. Pikiran tentang Azka terlintas dan bermain liar di dalam kepala mereka. Tidak pernah sedikit pun mereka menyangka, jika Azka akan bermain-main di belakang istrinya.
***
Azka memasuki rumahnya dengan wajah yang terlihat sangat kusut. Tanpa salam dan senyuman yang biasanya dia lakukan.
"Sayang, kamu udah pulang?" Ayudia tersenyum kepada suaminya.
Azka hanya mengangguk pelan tanpa kata. Dia langsung melangkah masuk ke dalam kamarnya. Kemudian, dia keluar dari kamar mengenakan celana boxer. Dadanya yang bidang terlihat begitu indah berhiaskan seni lukis entik, membentang dari dada kiri hingga dada kanannya.
Saat dia berlalu, di punggungnya pun terdapat lukisan yang sangat menarik. Entah bagaimana justru semakin menambah keindahan tubuh Azka. Dada Ayudia berdesir melihat suaminya bertelanjang dada, berkeliaran di dalam rumah.
"Yu, mana anak-anak?" Azka menolehkan wajahnya.
"Mereka main di taman." Ayudia mendekat. Dia mengecup ringan bibir suaminya. Meski enggan, Azka tetap membalas kecupan istrinya.
Azka membiarkan Ayudia mengecup pipi serta lehernya penuh kasih sayang. Terasa begitu lembut dan menyejukkan perasaannya.
"Kamu kenapa, Sayang?" Ayudia menyentuh pipi Azka.
"Gak papa, cuma ada masalah aja sama pekerjaan." Azka tersenyum hambar meninggalkan Ayudia.
"Amar ... Amir! Ayo Nak kita berenang!" seru Azka memanggil kedua putranya.
"Pa ... Pa!" Amar dan Amir berlarian dengan langkah kaki mereka yang kecil.
Azka menceburkan dirinya ke dalam kolam renang. Menyusul Amar dan Amir. Mereka berdua melemparkan tubuh kepada sang ayah yang telah menanti di dalam air.