Maafkan aku kalo ceritanya ambyar
☆Happy Reading☆
Ria yang sedang tertidur lelap, perlahan-lahan menunjukan tanda akan membuka mata. Badannya merasakan dinginnya lantai. Lalu Ria melirik jam, kemudian termenung.
Beberapa detik kemudian matanya membelalak.
"AJAIB!!" Ria berteriak sehingga seisi rumah mendengar suaranya. Ah.. ralat, sekomplek mendengarnya.
Tidak hanya sampai disitu kegaduhannya Ria pun berlanjut. Ria dengan semangat turun ke bawah, sambil tak henti-hentinya menyeruhkan kata 'Ajaib'.
"AJAIB!! Perfeckto, amazing, sugoi. Apalagi ya, ahhh.... bolla, yang penting gue happy." racau Ria.
(maaf kalo tulisan di atas salah, kalo ada yang tau. Kasih tau ane ya ^^)
Hal yang sama terjadi ketika dia menuju ruang makan. Bahkan dia berlari seperti anak kecil yang kehilangan permennya.
"Bibikkk... ak-" ocehan Ria terhenti ketika sampai diruang makan.
Hal selama ini ia hindari selama ini, ada di depan matanya. Dia dengan tenang menyeruput kopi. Dengan aura dingin yang terus menyeruak keluar.
Ria yang berlari seperti anak kecil mengerem mendadak, badannya hampir menabrak meja, kalau tidak segera ia tahan dengan tangan.
'Mampus gue ada papa' batin gue.
Dengan badan yang tak hentinya gemetar, keringat yang muncul di pelipisnya, sehingga badannya hampir lemas jatuh kebawah. Menganbil tiga langkah mundur secara perlahan. Setelah memastikan ia berada di jarak yang aman, Ria langsung berbalik badan, berlari menjauh.
"Bibik...!!!" sambil berteriak. Lalu kembali bertingkah seperti biasa, seakan tak terjadi apa-apa.
Melihat tingkah menggemaskan anak satu-satunya itu, Renald tersenyum tipis. Sangat tipis, nyaris tidak terlihat
'Menggemaskan, seperti ibumu. Kau tumbuh dengan baik, Nak' guman Renald, yang tidak lain adalah papanya Ria. Renald kembali ke aktifitas paginya.
Di tempat lain, Ria sedang menuju kolam berenang. Karena tempat lainnya sudah dia obrak-abrik.
"Bik...??"
"Iya neng, bibi di sini"
"Bi Arni di mananya??"
"Di kolam neng, sini aja"
Ria kembali berlari memuju tempat yang di beritahu Bi Arni tadi. Setelah hitungan ke tiga puluh, Ria telah melihat keberadaan Bi Arni.
Lonjakan kesenangan menyeruak keluar bagai bom yang siap meledak kapan saja.
"Bibi tau nggak!!" kata Ria sambil mendekat kearah ibunya itu.
Berbeda dengan ekspresi Ria yang semangat. Ekspresi bi Arni yang awalnya tersenyum, lalu ekspresinya berubah.
"Neng-"
"BI INI BERITA YANG HARUS BIBI DENGER POKOKNYA" Ria memotong ucapan bi Arni. Ria yang awalnya berjalan, sekarang menambah kecepatannya. Yang artinya dia berlari.
"Neng, dengerin bibi. Itu li-" terlambat, Ria sudah tercebur ke kolam dengan tidak elitnya.
Kaget?? Pasti. Ini berita buruk. Ria sendiri itu memang tidak bisa berenang. Apa lagi dirinya, yang hanya pernah sekali beranang, itupun di empang belakang rumah di desanya.
Karna tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Tak ada pilihan lain yang bi Arni pilih. Ia segera berlari ke arah dapur dimana 'tuan rumah' nya berada.
Tak di sangka tuannya malah santai menyeruput kopi .
'Perasaan kopinya dari tadi nggak habis-habis ya? Apa tuan minumnya per-tetes. Hm, bibi harus melakukan penelitian. Nggak boleh kala ama neng Ria.!!' segera dia mengeluarkan notesnya, dengan semangat yang berkobar 45.
Bi Arni yang di pintu dapur, juga mengeluarkan pulpennya.
"In- fes- ti- ga- si, ru-mah- tang- ga, Nel- van, ke-" Bi Arni mengeja begitu fasih, notesnya.
"Hm... infestigasi ke berapa ya?? Ah, ke-47 tahun ini. Iya-iya" bi Arni mengangguk-angguk merasa dia pintar.
"Tunggu, perasaan ada yang ketinggalan ya, apa ya?" bi Arni berfikir keras. Lalu terdengar suara teriakan keras dari luar.
"BIH!!"
Teringat dengan sesuatu, bi Arni nepok jidatnya sendiri. Lalu menghampiri orang yang seharusnya ia panggil dari tadi.
"Tu-, tuan" bi Arni memanggil tuan rumahnya dengan takut-takut.
"Katakan" Renald yang telah mengetahui keberadaan bi Arni sedari tadi, hanya bisa berkata dengan dingin.
"Anu, itu-"
"Jangan buang waktu Arni!!" kata Ranald dengan tegas, jengah melihat tingkah bi Arni.
"Ne- neng Ria nyungsep ke kolam" kata bi Arni cepat, sambil menunjuk ke arah Ria ke cebur, eh.. salah nyemplung, hm.. apa terbang ya.
Terkejut, Renald berjalan cepat ke arah kolam. Sekilas bi Arni bisa melihat wajah kawatir Renald, tetapi langsung di netralisir oleh Renald.
Berjalan dengan cepatnya lansung di ubahnya menjadi lari dengan cepat. Ketika Ria hanya diam tak bertenaga lagi, hanya tersisa tangannya yang takberdaya yang tampak dari atas.
Pandangan Renald menggelap, sambil berlari Renald melepaskan jasnya membuangnya sembarangan, dan langsung menyeburkan diri ke kolam.
Di dalam air, Renald mendekap Ria begitu kuat. Seakan tak ingin kehilangan Ria, atau takut kehilangan orang yang benar-benar mirip dengan istrinya?? Entahlah, hanya ia, author dan tuhan yang tau. Kalian bisa menyimpulkan.
Ria yang lemas, hanya bisa menyandarkan diri ke dada bidang Renald. Walau sejujurnya ia takut.
Dengan kembali tenang, Renald menyeretnya ke pinggir kolam. Setelah sampai di pinggir kolam Renald hanya mengendus dingin.
"Ceroboh" langsung mengelos pergi tampa kata-kata lagi.
Ria hanya bisa mematung, menatap papanya tak berdaya. Perlahan matanya berkaca-kaca, lalu turun setetes air mata membasahi pipi putihnya.
Selanjutnya yang terjadi hanyalah isak tangis Ria yang begitu memilukan.
"he... hua... hikss.. hiks" Ria hanya menunduk menahan tangisannya.
"Non... hiks, udah ya. Jangan nangis lagi, hisk" bi Arni hanya bisa memeluk dengan tujuan menghibur, tapi malah dia juga ikut menangis.
Ia mengerti betul penderitaan Ria. Ia telah merawatnya dari Ria masih kecil.
"Bi, aku-aku di peluk bi .. hiks, ternyata gitu, hiks.. rasanya dipeluk" tangisan Ria pecah, bi Arni yak bisa mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya bisa bungkam dan terus berusaha membuat Ria tenang.
Miris, memang lenyataannya begitu. Ria tak pernah merasakan pelukan seorang ayah. Belayan, kecupan kecil sebelum tidur, banyak yang ia tak pernah rasakan.
Bi Arni sangat ingat.
Ia sering memergoki Ria kecil yang sedang berdoa. Di setiap doa Ria hanya berkata.
'Semoga hari ini Ria diantar papa'
Bukan mainan yang dia inginkan, atau barang berharga lainnya. Ia hanya ingin diantar papanya, sebuah keinginan yang kecil dan tulus. Dari seorang anak berumur 5 tahun.
Mungkin itu tidak berarti, tapi bagi Ria itu sangat berarti. Hal kecil yang sangat berarti.
Harapan itu tak pernah terjadi. Mungkin Ria hanya akan menyerah. Tetapi kenyataannya itu tidak. Ria mengira papanya itu marah padanya.
Ketika Ria memenangkan lomba mewarnai. Ria kecil berlari ke arah papanya. Berharap, jika ia menunjukan itu. Papanya takkan marah lagi padanya. Tetapi papanya malah membuang piala Ria, karna dianggap menggangu.
Kebahagian di peluk ini tiada taranya bagi Ria. Melebihi apapun. Mungkin Ria akan membuat ide gila untuk menyakiti dirinya, agar mendapatkan hal kecil manis ini.
Setelah Ria tenang, bi Arni mengalihkan topik pembicaraan.
"Neng Ria tadi mau ngomong apa?? Hem, sampe nyungsep gitu" tanya bi Arni sambil tak hentinya mengelus rambut Ria.
Perubahan ekspresi Ria sangat terlihat. Ia kembali dengan semangat menyerukan "bi, aku bisa bangun PAGI!!!" Ria meloncat-loncat kesenangan.
Bi Arni hanya nepok jidatnya, tak habis pikir. Cuma karna itu dia sampai nyebur ke kolam??
Tak papalah, dari pada dia menangis terus. Lebih baik begini.
"Neng cuma mau ngomong itu??" bi Arni nepok jidat Rja.
"Udah yah neng, ganti baju gih. Bibi mau siapin sarapan dulu" terkadang bi Arni berfikiran, kalau Ria agak miring, mungkin. Tapi segera ia tepis jauh-jauh fikiran itu. Bi Arni tau, sikap Ria yang begini buat Ria mengalihkan semua masalahnya.
Setelah Ria pergi, bi Arni berguman kecil.
"Lebih baik begini"
☆TBC☆