Tangan hangat perlahan melingkari pinggang dan kepalanya, membiarkan kepala Ria terbenam didadanya. Menghiraukan seragamnya yang mulai basah begitu saja.
Ria tak melawan, ia menerima perlakuan orang itu. Untuk kali ini, biarkan Ria melimpahkan seluruh emosinya sekarang, untuk kali ini saja.
Hal itu terus berlanjut dalam keheningan pagi, mata hijau yang masih memperhatikan punggung rapuh perlahan berkilau, dan berlinang. Ia menutup matanya, diikuti embun yang perlahan membasahi pipinya.
Biarkan begini saja dulu, biarkan emosi mereka larut dalam dinginnya kelas di pagi itu.
Hening, masih berlanjut. Elusan pelan di punggungnya mulai terasa. Awalnya kelihatan kaku, lama-kelamaan mulai terasa lembut. Begitu lembut, seakan takut hal itu dapat mengganggu Ria.
Rasa kantuk mulai menjalari mata Ria. Matanya yang memang sudah lelah, di tambah lagi suasana pagi yang cukup dingin. Sayup, terdengar suara gumana parau. Suara gumanan itu kurang jelas, tetapi Ria mengabaikannya.Mata Ria terlalu berat untuk menjawab, lalu tertutup dan sisanya, hanya terdengar dengkuran kecil halus milik Ria.
***
Elusan lembut dari punggung Ria mulai melambat. Lambat laun berhenti dengan perlahan. Iris mata hijau pekat itu mulai terbuka, pandangannya menajam. Mengungkapkan emosi yang dalam dari mata elangnya. Seakan ingin mengecam siapa saja yang menatapnya.
Buku-buku jarinya mulai mengeras, saat ia seakan ingin memakan siapapun yg menggangunya saat ini.
"Hm ... " tangan kecil yang mencengkram baju seragamnya menguat, lalu si pemilik tangan rapuh itu memperdalam pelukannya. Ingin merasakan kehangatan dari bantal (?) Nya lebih dalam.
Amarah sang empu pemilik baju itu menyurut, dan tereda. Ia kembali mengelus pelan, tetapi bukan di punggung lagi. Elusan itu beralih ke pucuk kepala Ria dengan lembut, selembut ia mengelus kaca amat tipis. Takut jika ia mengelus sedikit saja lebih kencang akan menghancurkan kaca itu.
Ia menunduk, dengan satu tarikan nafas cepat ia berguman, "takkan ku biarkan kau terluka lagi".
"Tak akan," gumannya lagi.
Setelah mengatakan itu, ia mengangkat Ria ala bridale style menuju arah UKS sekolah. Dengan langkah yang tak terlalu cepat namun juga tak terlalu lambat. Sekolah yang masih amat sepi karena ini masih terlalu pagi untuk sekolah. Keheningan hanya disertai langkah kaki yang menggema di seluruh koridor.
Langkahnya terhenti, ia mulai masuk keruangan dengan warna yang dominan putih itu. Irisnya menjelajah mengawasi seluruh isi ruangan, lalu beralih ke tubuh mungil Ria yang ada di pangkuannya. Setelah memastikan Ria tak terganggu, ia menyibak tirai dengan tubuhnya. Lalu ia meletakkan tubuh Ria ke ranjang, lalu menyelimuti Ria.
Ia beranjak dari tepi ranjang menuju ujung UKS.
Ada kotak P3K disana, "sial, aku harus memakai yang mana?," ia berguman kecil.
Setelah terdiam lama di depan kotak P3K, akhirnya ia mengambil kapas, alkohol, pinset, dan betadin. Mendekat lagi ke arah Ria mengambil posisi duduk di kursi yang memang sudah ada di sana.
Ia menarik pelan tangan kanan Ria, ia pertama membersihkan luka Ria. Lalu mencabut serpihan kaca dari tangan Ria akibat luka tadi. Mengingat ini, rahangnya mulai mengeras lagi.
Betapa bodohnya ia. Kenapa ia bisa lalai sampai sampai bunga kecilnya terluka?
Ia memberikan betadin di luka Ria dengan cepat. Lalu beranjak meletakkan alat yang dia gunakan, kembali ke tempatnya. Gerakannya cepat, secepat ia sekarang yang telah tiba di depan pintu UKS, menghela nafas dan sekali lagi mengalihkan pandangannya memastikan keadaan Ria lalu ia menghilang di balik pintu.
*TBC*
Aduh maaaf, singkat. Tapi aku double up kok aman ^^