Anak kecil itu menyeringai kepadaku. Sedikit tersenyum dan tetap saja tidak ada manis-manisnya. Sorot matanya terlihat tak bersahabat, sedikit cekung dibagian atas mirip mata kucing yang kelelahan. Rambutnya kuning dengan aksen sedikit poni yang sengaja dibuat berantakan ujungnya. Layaknya anak yang tak terurus.
Tubuhnya tidak terlalu tinggi untuk ukuran anak seumurannya. Sekitar sepuluh tahunan kuterka usianya.
Dia kembali merapatkan tubuhnya di samping kiri wanita di sebelahnya. Sembari sesekali menyembunyikan wajahnya ketika kutatap dalam-dalam matanya. Ayo katakan sesuatu, aku disini. Ucapku dalam hati. Dan dia tidak menggubrisnya.
Tiba-tiba dia bangkit. Ah, dia meresponku akhirnya.
"Apa kau pernah merasa, bosan?" tanyanya.
"Bosan? well kadang-kadang. Bukan bosan sih, sebenarnya tetapi lebih karena jenuh," jawabku sekenanya.
"Ya, sama aja kali. Nggak ada bedanya."
"Beda lah. Bosan tuh seperti udah berlangsung lama sekali, sedangkan jenuh hanya sesekali," imbuhku.
"Tetap saja, terlihat sama. Apa yang bikin beda. Hanya pelafalannya saja yang terlihat lebih bagus. Padahal tidak sama sekali." dia mengucapkannya sembari menatap kosong kedepan.
"Iya, memang sih. Jauh terlihat lebih bagus. Kedengarannya ... hmm ya udah sama aja ...." aku tidak mau berdebat.
"Kenapa, keliatan bingung sekali? Sama. Sudah titik," ujarnya setengah meledek.
Aku mengangkat bahu dua kali sembari menatap wajahnya dari samping. Melihat hidungnya aku jadi teringat seseorang.
"Kalau, sudah jenuh, eh maksudku bosan. Apa yang biasa dilakukan? Makan, tidur, ngobrol, nonton TV atau dengar musik?" Lalu matanya yang bulat menatapku.
Ini bukan pertanyaan selingan sepertinya. Dari raut wajahnya aku bisa sedikit menerka maksud dari berondongan pertanyaan tentang kebosanan ini. Ada sesuatu.
Wajahnya kali ini, sedikit lebih serius dan tidak ada maksud bercanda. Serius amat nih anak. Ucapku dalam hati.
"Kok, bengong."
Deg. Aku kaget.
"Oh, enggak. Kayaknya hampir semuanya bisa dilakukan buat ngilangin bosan dan semuanya itu sepertinya kebiasaanku semua, hahaha," kataku terkekeh.
"Aku tahu. Itu yang biasa manusia lakukan. Hmm ... apa yang kalian sebut? Rutinitas?"
"Yah, semacam itu. Banyak juga kok yang punya aktifitas yang lain. Kau menyebutkan kebiasaan yang biasa aku lakukan dan ya ... sebagian orang lain pun, mempunyai kebiasaan yang sama. Ya, kan?" jelasku.
"Yeah ...." balasnya dengan cuek.
"Lalu, kenapa tiba-tiba menanyakan soal itu?" tanyaku.
"Manusia, memang sudah aneh. Hal membosankan seperti itu dibilang menyenangkan."
"Agak, membosankan memang. Namun, jika ada hal yang lain pasti seseorang mau melakukannya. Tergantung orangnya. Kalau aku tipikal seperti ini."
"Termasuk, tidak berinteraksi dengan orang lain?" tanyanya lugas.
"Emm ... berinteraksi dengan seseorang, membutuhkan waktu dan kondisi yang tepat. Bukannya kita tidak ingin. Sudah dan belum menginginkannya. Mungkin nanti. Kenapa nanya seperti itu?" kataku, sambil menatap lekat bibirnya yang dimainkan kiri dan kanan.
Dia, mengangkat bahu. Sebersit keraguan nampak disana.
"Me time?"
"Ya, seperti itu bisa dibilang. Waktu buat sendiri. Lebih ingin memahami diri sendiri."
Aku tidak mengerti, kenapa dia bisa bertanya tentang hal-hal semacam itu.
Tidak mau tahu sebenarnya.
"Lalu, yang seperti aku disebut apa? apakah me time?"
pertanyaan aneh dan aku tidak sempat mempersiapkan jawaban dengan kemungkinan dia akan puas dengan jawabanku.
"Disebut apa nih, maksudnya?"
"Apa ya, menyebutkannya. Jiwa yang hilang? jiwa yang kesepian? jiwa yang tersesat? jiwa yang berbahagia? itu kadang-kadang. Hehehe ... jiwa yang merindu doa? jiwa yang ber me time seumur hidupnya? atau apa ...."
Aku sedikit tertawa, meskipun tidak lucu sama sekali.
"Sebenarnya, bisa saja di sebutnya seperti itu. Terserah kau menanggapinya bagaimana? lebih ke perasaan saat ini mungkin ya ...
Tapi, itupun tergantung pemahaman ..." tukasku seperti kehabisan kata-kata.
Bagaimana, cara menjelaskannya, ya.
"Iya, bagaimana cara menjelaskannya. Kau pun bingung, kan?" tanyanya.
Aku baru sadar dia bisa membaca pikiranku.
Akupun mengangguk pelan.
"Apakah, seperti ini. Ketika kau di dapur bersama ibumu. Kau tahu, dia sedang membuat kue yang terlezat menurut kabar berita. Tetapi, entah kenapa kau hanya mencium wangi nya dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, di dalam hati kau ingin sekali merasakan kue buatannya dengan gigimu sendiri dan mengunyahnya dengan lembut. Lalu, merasakannya masuk kedalam kerongkongan ... emm enakkk ... tapi, itu katanya. Aku toh, belum pernah merasakannya ...."
Kulihat, mulutnya sedikit membuat gerakan mengunyah. Aku merasakan bahwa dia benar-benar mengunyah sesuatu.
"Jiwa yang menerima sepertinya cocok ... ME NE RI MA ... yah seperti itu ...." aku sedikit bingung dengan kata-kataku barusan.
"Pasti ... berarti aku seumur hidup mengalami apa yang kalian sebut ME TIME. Dimana kehadiranku, tidak dianggap atau di posisi sepertimu mengganggap kehadiran seseorang tidak ada. Untuk sementara waktu kukira dan ...." dia tidak melanjutkan.
"Aku paham. Seperti itu mari menikmati ME TIME. hehe ...." aku memegang bahunya.
"Mau kue?" aku berkata pelan.
Dia tersenyum dan kami pun menikmati me time bersama.