Chereads / Sixthsense (jiwa-jiwa yang merindu doa) / Chapter 15 - Dengarkan aku

Chapter 15 - Dengarkan aku

"Aku, senang hari ini." Tangan kurusnya terlihat memegang sesuatu.

"Senang, karena apa?" tanyaku.

"Aku, punya eskrim," jawabnya, sambil membuka bungkusan yang ia pegang sejak tadi di tangan kanannya.

"Bahagia itu mudah, bukan."

"Ya, memang mudah," ujarku.

" Tapi, kadang aku selalu bingung dengan pemikiran orang dewasa. Sepertinya sangat sulit memperoleh kebahagiaan," katanya pelan.

"Yah, kadang-kadang kita memang sulit dimengerti oleh anak-anak seperti kalian. Memang, agak membingungkan. Tapi kalian tahu, kadang kita berpikir untuk kebaikan kalian, tidak lebih," ujarku.

"Yah aku tidak tahu itu. Banyak hal yang tidak kumengerti. Hal-hal yang seharusnya simpel dan sederhana menjadi sesuatu yang sulit," katanya lagi.

"Caranya masing-masing berbeda. Hanya, penyampiannya kurasa," ujarku sambil mengangkat bahu.

Dia bangkit lalu membuka baju dan ku lihat memar di sekujur perut dan punggung. Kemudian, dia menyibakkan rambutnya yang panjang dan menempelkan tangannya disitu. Ada darah segar yang menempel ditelapak tangan yang mungil.

Aku terdiam, tidak berkata apa-apa.

Setelah itu dia menyodorkan kaki kanannya yang terlihat sepintas tidak apa-apa. Namun, kulihat dengan seksama betisnya sedikit membiru. Ini luka lama kurasa.

"Kenapa, dengan kaki kananmu?" Kutanyakan hanya dengan sedikit berbisik pelan.

"Dia, menendangku dengan sepatu lars hitamnya. Ini, tidak sakit. Tenang saja. Aku ingin dianggap sebagai anak yang kuat dan tidak mengeluh. Ini tidak masalah sama sekali," ucapnya sembari tersenyum.

"Kau, terlihat tidak masalah dengan perlakuan mereka? apakah betul?" tanyaku penuh selidik. Masih tidak percaya dia baik-baik saja.

"Tidak masalah sama sekali. Well, walaupun, sedikit keberatan. Sedikit keterlaluan memang. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Membalas mereka pun aku tidak bisa. Karena mereka orang yang kuhormati. Aku, tidak ingin dibilang durhaka dan tidak sopan. Pernah kubilang 'ini sakit' dan kau tahu, mereka tidak peduli. Ini cara mereka menghukum kami."(Kali ini, dia ingin mengganti dengan kami, karena ceritanya menjadi perwakilan cerita mereka yang lain).

"Kami tahu, kalau kami tidak berhak mengungkapkan pendapat. Kau tahu itu kan.?" tanyanya.

"Yah, aku tahu. Sebagian orang tua atau mereka yang lebih tua berpikiran seperti itu. Mengungkapkan pendapat sama dengan membantah mereka. Aku mengerti," kataku setengah mengangguk.

"Dengarkanlah kami. Walaupun, kami terkesan memaksakan kehendak kepada mereka. Kau tahu rasanya jika saat engkau bilang 'sakit' dan orang tuamu berkata 'alasan!' Hahaha ... Aku pernah merasakannya," ujarnya dengan tertawa yang terkesan dipaksakan.

"Waktu itu, memang aku sedikit pusing. Dan mama sedang sibuk didapur dengan adikku yang sedang digendong. Dia berkata kepadaku agar lekas bangun dan segera mandi karena hari sudah siang. Aku berkata, 'aku pusing' dan apa yang di katakannya? dia berkata 'jangan banyak alasan. Cepat turun dan segera mandi' sesudah itu aku tidak mendengar suaranya lagi."

"Lalu, setelah itu?" tanyaku penasaran.

"Karena, aku tertidur kembali. Dan tiba-tiba, air satu ember mengguyur kepalaku dengan kencangnya. Aku tersedak air keran yang dingin. Aku tidak bisa napas dan hidungku terasa panas. Kurasakan tanganku ditarik dari tempat tidur dan aku diseret dengan cepat. Tubuhku menghempas ke lantai dengan kerasnya. Kakiku terantuk pintu dan kepalaku terantuk bangku. Aku masih merasakan rasa air yang panas di hidung. Tak kuasa aku berkata 'stop, aku bisa sendiri'. Aku dimasukan ke dalam kamar mandi dengan sekujur badan yang basah kuyup dengan air." ujarnya sambil mengatur napas.

"Aku, tergeletak di bawah lantai kamar mandi. Sambil mengatur napas dan merasakan pusing yang tidak terkira. 'Aku pusing mama' kataku pelan, sambil menahan sakit kakiku yang terbentur pintu. Kuatur kembali, napasku yang tak beraturan. Sambil, mengumpulkan tenaga untuk segera bangkit dan mengindahkan pusingku. 'Aku segera berusaha bangkit dan segera mandi' pikirku. Mataku berkunang-kunang dan semua menjadi kabur. Dan tak lama, kurasakan kembali rambutku di jambak dan di angkat kemudian di benamkan ke dalam ember berisi air rendaman cucian. Aku kaget, dan tidak mampu berbuat apa-apa. Kurasakan, air ini bau sekali. Ku mencoba berontak dan berusaha menggapai pinggiran ember agar dapat menahan sedikit. Namun, sia-sia. Aku pasrah. Lalu semua hitam." Dia tidak melanjutkan.

"Lalu, apa yang terjadi?!" tanyaku dengan geram.

"Aku tersadar, sudah di tempat tidur dengan selimut dan kompres di kepala. Aku merasa hangat. Walaupun, bau itu tidak bisa hilang begitu saja dari hidung. Bau busuk yang menyengat. Tak apalah. Setidaknya aku sudah bernapas lega dan kembali menghirup udara kamarku yang terasa apek. Aku bersyukur ini bukan saatku mati. Setidaknya tidak saat ini dan entah kapan?." ujarnya melemah.

"Lalu, apa kata Ibumu?" tanyaku kembali dengan tetap menaikkan suaraku. Masih dengan perasaan geram.

"Dia, berkata 'lekas sembuh dan meminta maaf' kepadaku. Dia berkata, ini semua salahku sehingga beliau tidak percaya dengan kondisiku. Ini, memang salahku karena sering. Yah, tidak terlalu sering berbohong sakit jika disuruh sekolah. Tapi, aku bertanggung jawab. Setidaknya aku mencatat semua pelajaran yang tertinggal. Aku tidak lupa pelajaran. Betul kok." Dia meyakinkan aku akan pembelaannya.

"Hahaha. Kenakalan anak kecil kurasa. Kukira Wajar setiap kalian atau aku pernah berbuat hal itu. Tergantung kalian bagaimana mempertanggung jawabkan perbuatan kalian. Itu tetap saja salah."

"Yah, cukup ceramahnya. jangan berkata seperti itu lagi. Aku sudah cukup mendengarkannya."

Aku, menggaruk kepala sambil tersenyum kecut. Dari matanya, nampak dia enggan di nasehati hal-hal yang sama seperti itu. Harus menjadi anak baik, sopan kepada orang tua dan patuh kepada perintahnya. Tidak lebih dari itu. Patuh!

"Orang tuamu sepertinya orang tua kebanyakan. Yang selalu sayang kepada anaknya, dan perhatian. Ingin anaknya menjadi baik dan sopan. Memang seperti itu kan orang tua seharusnya," kataku santai.

"Memang, itu kewajiban kami sebagai anak. Dan kewajiban kami harus patuh kepada segala perkataan mereka karena kami adalah anaknya. Memang, seperti itu. Tetapi, apakah kami tidak boleh di dengar. Kami ingin didengar tentang keseharian kami. Seperti pertanyaan singkat 'Apakah kamu senang hari ini?'" terangnya.

"Sesimpel itukah, pertanyaan yang harus mereka tanyakan kepada anak- anak seperti kalian? sepertinya tidak akan berpengaruh. Atau bahkan terkesan basa-basi dan tidak berdampak ke kalian," ungkapku.

"Kau tahu. Ingin sekali, rasanya orang tuaku menanyakan hal itu kepadaku. Tapi, mereka tidak pernah menanyakannya. Mereka hanya bertanya sepulang sekolah 'ada PR atau tidak?' lebih penting aku tidak mengerjakan PR atau tidak ketimbang bagaimana aku di sekolah? Ini sungguh ironis. Kau tahu, apakah mereka senang atau tidak? Apakah kau tahu, dia di kantin makan apa? kau tahu, bagaimana senangnya aku, mendapat teman sebangku yang punya mobil remote control bagus, dan akan mengajakku main ke rumahnya besok?" Bulir bening mulai berjatuhan dari matanya.

"Kau tahu, bahwa pak guru wali kelasku punya napas yang bau sekali, dan kegemarannya berbicara dekat dengan murid-muridnya? Kau tau, aku pernah pup di celana dan aku dibantu oleh wali kelasku dipinjamkan celana sekolah bekas? Kau tahu, aku pernah membuat menangis anak gadis di kelasku dengan melemparkan penghapus di kepalanya? Kau tau, Pak Wawan, punya sepeda baru dan mengajak aku dan teman-teman keliling lapangan secara bergantian? Kau tahu, si Adi yang gemuk makanan bekalnya tidak pernah di makan karena dia tidak doyan keju? Kau tau, Rima baru saja mencontek PR yang ku kerjakan semalam bersama ayah, padahal Rima anak terpintar di kelas? Kau tahu, waktu aku piket kita kehilangan sapu dan ternyata sapu di pakai oleh mbok yem pemilik kantin?" tukasnya lagi.

"Banyak sekali yang ingin aku ceritakan. Tapi, mereka lebih mementingkan PR ku dibanding, dengan 'apa aku senang hari ini?'" Sambil menunduk.

"Yah, sepertinya itu benar. Banyak mereka yang tidak mempedulikan hal itu. Mereka berpikir anaknya sudah ditangani dengan baik di sekolah. Hanya seperti itu. Dan tanggung jawab mereka di rumah. Itu saja bukan?" kataku.

"Ada hal yang tidak dapat diukur dengan nilai. Mulai dari perhatian dan merasa dirangkul dalam menjalani hari. Itu yang terpenting. Merasa kita tidak diabaikan oleh mereka di sekolah. Mereka, harus mendengar keseharian kami. Itu saja. Tidak lebih. Merasa dipuji atau dibilang anak baik adalah bonus. Dibilang anak nakal adalah akibat yang kami lakukan. Setidaknya, kami sudah berusaha jujur kepada orang tua kami. Tidak berharap mereka membela di depan guru tentang perbuatan kami. Walaupun, sedikit mengharapkan ucapan pembelaan sedikit saja bahwa kami memang masih anak-anak.

Jika sepertiku sekarang. Maaf dari mereka tidak akan membantu. Aku berulang kali ingin berkata kepada mereka 'aku tidak suka di cubit di paha. Aku tidak suka di pukul kepalaku. Kepalaku, sudah terlalu banyak memar yang sulit untuk sembuh. Aku tidak suka, di bilang anak bandel yang tidak tahu adat. Ketika aku pergi ke rumah teman dan mengambil mangga. Aku tidak suka, dibilang bodoh karena tidak sanggup mengerjakan PR yang menurutku susah teramat sangat. Aku tidak suka, ruangan kosong di sebelah gudang belakang, pengap dan lembab. Aku tidak suka dengan buncis dan susu. Aku tidak suka warna celana yang dibelikan mama. Aku tidak suka bau asap rokok ketika papa sedang berkumpul di ruangan tamu dengan temannya. Aku tidak suka, bau muntah adik. Aku tidak suka warna, dinding kamarku. Aku tidak suka, tasku yang terlalu berat, ini karena mama memasukan semua buku kedalamnya. Aku tidak suka tempat minum yang dibelikan mama. Aku tidak suka air dingin waktu pagi hari. Aku ingin teh manis, bukan susu yang katanya buat aku pintar dan sebagainya. Aku ingin naik motor dengan ayah ketika berangkat pagi. Dan ingin mengatakan kepada bapak satpam penjaga 'itu ayahku' ... Aku ingin ..." dia meneteskan air matanya. Air mata penyesalan. Air mata untuk semua yang hanya memenuhi dada. Air mata untuk semua yang tidak pernah ditanyakan. Air mata untuk semua yang tidak pernah terungkap.

"Hal itu, bisa terjadi karena pertanyaan sesimpel itu kah? 'Bagaimana harimu? Apakah kau senang hari ini?' Ternyata berdampak begitu besar kepada kalian. Dampak, yang tidak pernah diduga hasilnya. Mengejutkan." Aku terperangah.

"Yah, seperti itu. Memang untuk mereka tidak terlalu penting. Tapi, Coba lihat mata kami ketika kami menguraikan apa yang terjadi seharian di sekolah. Mata kami berbicara, seolah kalian kami ajak bersama selama satu harian yang melelahkan di sekolah. Mata kami tidak pernah bohong. Jujur ... Entah kalian sesudah kami bercerita hanya menjawab 'oh' atau 'jadi begitu' kami cukup senang. Kalian tidak membayangkannya bukan?" ujarnya berbinar.

"Iya, setuju. Rasanya, mereka harus lebih berkata yang menarik ketimbang hanya berkata 'oh' atau ' jadi begitu' seperti ... 'Wah senangnya, jadi kalian membayar pak wawan yang punya sepeda baru berapa untuk satu kali putaran dengan sepeda barunya? Atau 'aduh sayang sekali adi nggak suka keju, padahal sehat lho. Kenapa kau tidak bertukar bekal dengan adi yang tidak suka keju dengan bekal buncis yang ibumu bawakan setiap hari?' Atau 'Rima pasti tidak punya ayah yang punya waktu untuk membantu anaknya mengerjakan PR seperti kamu?' Atau 'kenapa, kalian gak patungan membeli sapu baru buat mbok yem, kasihan kan harus menunggu kelas kalian selesai jika ingin pulang cepat. Ya nggak?' Seperti itulah yang ingin ditanyakan. Antusias dan bersemangat. Seperti itu, iya kan??? Betul tidak?? Aku sepertinya mulai pintar menangani anak-anak. Hahaha," ujarku berseloroh.

"Tapi, aku setidaknya senang ayah menanyakan hal itu sekarang. Namun aku tidak bisa menjawabnya. Tapi, aku cukup senang dia sudah pasti bertanya ketika mengunjungiku di tempat aku berbaring terakhir," ujarnya tersenyum.

"Pertanyaan, macam apa? aku tebak pasti, kira-kira pertanyaan meminta maaf seperti 'maukah adek memaafkan ayah?' ya kan? sudah kuduga dia bertanya terus seperti itu. Aku pintar kan?" ujarku bersemangat.

"Bukan." Sembari menggeleng.

"Lalu, apa?" tanyaku penasaran.

"Pertanyaan, seperti 'apakah kamu senang hari ini?'" katanya tersenyum lebar sambil mengedipkan mata sebelah kanannya.

Aku terdiam.

-------------

"Kekerasan dirumah tidak hanya di lakukan oleh orang terdekat dalam lingkaran keluarga. Tapi, sebagian besar dilakukan oleh orang tua kandung. Orang tua, secara tidak sadar menghukum anaknya karena ingin mendisiplinkan anak mereka."

"Itu benar dan hak orang tua. Tidak ada yang salah. Dan sebagian besar dari orang tua yang menghukum anaknya tidak menjelaskan maksud dan dari hukuman tersebut. Hanya, berdalih untuk mendisiplinkan.

Anak berhak tahu kenapa mereka di jewer, atau di cubit, atau sekedar di teriakan dengan kata yang keras seperti 'adek nggak boleh naik ke bangku, nakal!' dan lain sebagainya."

"Berikan alasan mengapa anda harus menjewer, mencubit atau berkata dengan nada keras. Ubah nada suara, suara anda seakan berbicara dengan anak sebagai teman. Kami akan lebih senang jika dia lebih didengar dengan kata-kata halus.

Jika keadaan tidak memungkinkan, hey! Anda sebagai orang tua harusnya memiliki kontrol emosi yang baik ketimbang kami. Jika tidak punya kontrol emosi, lupakan caranya memiliki anak. Nggak usah punya anak. Kami tanggung jawab kalian. Berlakukah sebagai contoh yang baik."

Greg, 8 tahun.

Anak yang mengalami pecah pembuluh darah di otak akibat benda tumpul.