Chapter 14 - Warga Limbo

"Kita, warga Limbo," kata salah seorang dari mereka. Dengan Matanya yang kecil dan kelihatan sedikit kuyu. Mata yang mengingatkan aku akan seseorang. Iya, dia ....

"Limbo?" ku naikkan alis sebelah. Pura-pura tidak tahu.

"Iya, betul. Belum pernah dengar sebelumnya? kasian sekali. Padahal kita terkenal," ujar gadis dengan poni menutupi seluruh wajahnya.

"Mungkin, nggak ada yang pernah ke dia. Terus, nggak ngenalin diri kalau dia, dari Limbo?" Mereka setengah berbisik.

"Heii ...! aku bisa dengar kalian ngomong apa. Jangan bisik-bisik. Lagian, kalau kalian sesepi ini ngomong pelan aja udah kedengaran."

"Hihi gitu ya. Oh oke ... jadi nggak usah bisik-bisik jadinya hahaha ... " selorohnya.

"Jadi mereka yang ke kamu, nggak pernah ngenalin diri dari Limbo? wah ini nggak benar. Harus diajarin lagi ..."

"Ehh ... emang kalian seterkenal apa?! Sombong banget ...." aku jongkok di depan mereka. Mata kita sejajar.

"Halo. Kita penghuni Limbo!" teriak anak lelaki di barisan paling belakang. Tubuhnya gendut. Kulitnya hitam dengan rambut keriting kecil-kecil.

"Aduh ... dasar gendut! kan tadi udah dibilang, kalau kita anak Limbo? nggak nyimak, ya. Makannya, jangan kebanyakan makan pisang Eyang Yasa, gitulah akibatnya. Pelupa ..." si mata kecil menimpali.

"Eyang Yasa nggak tau, kalau pisangnya suka aku ambil. Beliau pun nggak tahu, aku Landai apa bukan? dia bilang 'Landai ya?' aku jawab aja, 'iya' lalu diberi pisangnya, apa aku salah?" Sembari memainkan ujung bawah kaosnya.

"Ya, tetap aja salah. Boongin eyang kan dosa. Apalagi ngaku-ngaku cucunya. Demi sebuah pisang lagi. Besok, aku ambilin yang banyak. Awas ngaku-ngaku lagi ..." kata gadis berjubah putih, dengan pita kuning di kepalanya menyerobot dengan ketus.

"Eh, ehhh ...tunggu-tunggu. Kalian ngomong apa sih? Eyang Yasa? siapa lagi itu Landai? jangan bikin makin bingung deh," tanyaku penasaran.

"Itu ... Eyang Yasa. Dia menunggu cucunya diatas. Kita sering main ketempatnya. Yah ... seorang kakek yang berharap jika suatu saat cucunya di'panggil' akan mengenalinya. Padahal sih belum tentu ...." cetus gadis berjubah itu

"Berharap, terlalu berlebihan," tambahnya.

"Bukannya, jika sudah disana pasti tidak akan kembali ke keluarga masing-masing, ya? tidak mungkin jika cucunya. emm ... siapa tadi? Lancai atau Landai?"

"Landai Simerapi," sambut anak laki-laki berponi dan berkacamata bulat.

"Ah, iya itu dia," jariku setengah kujentikkan.

"Iya, pasti ..."

"Mereka, tidak akan bertemu!"tukas anak laki-laki berponi itu.

Mereka semua, langsung terdiam. Saling menatap dan berbicara dengan mata. Aku tahu mereka sedang membicarakan sesuatu yang tidak ingin aku tahu.

Aku terdiam, dan tidak berkata apa-apa. Tenggorokanku seolah tercekat sesuatu.

"Yakin sekali, dia tidak bisa bertemu. Kau tahu darimana?" aku berbicara sedikit bergumam.

"Menunggu itu, sesuatu yang tidak menyenangkan. Apalagi jika menunggu yang tidak ada kepastiaannya seperti kami. Daripada memberinya harapan palsu? lebih baik ambil pahitnya. Dia tidak akan bisa bertemu. Titik," tukas gadis berjubah itu dengan soroy matanya yang dingin.

Kelimanya kini kompak menunduk. Mulutnya terkunci.

"Kan, tidak ada salahnya menunggu. Menunggu itu bisa ada dua kemungkinan. antara mendapatkan atau tidak sama sekali. Lebih baik kan fokus yang 'akan mendapatkan'. Ya kan? He ... hee ...." aku tersenyum kecut, walaupun tidak ada yang lucu sama sekali.

"Jangan sok tahu, berbicara seolah kamu mengetahui apa arti menunggu sebenarnya? kita rata-rata menunggu hampir diatas dua ratus tahun hitungan manusia," ujar salah satu dari mereka sambil merapikan lengan bajunya.

"Iya, Kak. Hmm ... kita tidak diinginkan," ujar anak laki-laki yang berwajah oval dengan pelan.

"Hmm ... kita warga Limbo, Kak."

Mereka menatapku sembari menunduk.

Aku mulai mengerti arah pembicaraan mereka.

Mereka, ingin aku mendengarkan cerita tentang Limbo.

Aku mengambil kursi dan duduk menyimak. Kubiarkan mereka berdiri dan mematung.

"Oke, Limbo itu sebuah tempat?" tanyaku.

"Iya, tempat. Sebuah tempat, dimana kami dan yang bernasib sama seperti kami tinggal.

Kami adalah mahluk yang tidak diinginkan. Ya kau tahu, karena kelahiran atau karena sebab lain." Dia membersihkan bangku kayu di depanku dan dengan cekatan melompat keatasnya seperti layaknya seekor kucing. Sudah cukup santai sepertinya.

"Maksud kau, kalian adalah korban aborsi?" Pandanganku menyapu setiap wajah. Seketika mereka mengangguk.

"Iya, aborsi atau kelahiran yang tidak diinginkan tepatnya. Tapi, sebagian diinginkan. Hah ... miris 'kan?" Dia menghela napas panjang.

"Sebagian dari kami tidak beruntung. Sebagian sangat-sangat lah beruntung. Ilana contohnya. Gadis kaya, yang sempat dilahirkan oleh ibunya tetapi tidak bertahan lama. Beruntung sudah diberi nama dan rutin mendapatkan doa. Bahkan terus disebut dalam keluarganya. Hmm ... dia mendapatkan tempat terbaik di Limbo dan kebagian tugas yang super enak," jelasnya.

"Oh, oke kalian ada yang beruntung dan sebaliknya. Dapat tempat terbaik dan pekerjaan yang enak. Sepertinya menarik. Lalu, anak yang tidak beruntung bagaimana?"

"Tamtam, anak kaya yang dilahirkan mendadak diumur enam bulan. Secara paksa pastinya. Boro-boro, diberi tempat enak pekerjaan yang bagus pun enggak. Ini karena Tamtam tidak diberi nama oleh Ibunya." Dia menghampiri anak laki-laki bertubuh kurus dengan pipi cekung sambil merangkulnya.

"Semua, gara-gara sebuah nama?" Bibirku meruncing.

"Pengakuan ... bukan sekedar nama. Kami diakui atau tidak berawal dari apakah ibu kami melihat kami ada atau seolah-olah di hilangkan dari 'daftar' keluarga."

"Bagaimana, aku membedakan diantara kalian mana yang diakui atau mana yang tidak?" Pertanyaan bodoh macam apa ini. Aku cepat-cepat menutup mulut dengan telapak tanganku.

"Yang diakui dan bernama berhak atas ikat pinggang tali emas ini." Dia menunjukan ikat pinggang tipis menyerupai tambang yang melingkar dipinggang. Di ujungnya tersemat bandul rumbai emas.

"Wow, keren. Lalu ... bagaimana yang tidak?" Pertanyaanku agak menyinggung Tamtam. Sorry.

"Dia, tidak berhak atas apapun. Tidak ada ikat pinggang ataupun sayap kecil di punggungnya. Namanya pun kita yang memberikan. Jadi, ya gitu deh." Sembari mengangkat bahu.

"Tapi, kau lupa bagian lainnya," senggol Ilana.

"Iya, iya aku tahu. Mereka berhak atas pengampunan dan kebijaksanaan penuh dari Dia. Dengan kata lain, mereka lebih disayang. Huft ..."

"Ya,selalu ada tempat terbaik disisi Nya. Dia memang bijaksana." Tanpa sadar aku tepuk tangan.

"Mulai sekarang, aku adalah teman kalian. Aku akan mendoakan kalian terus," ujarku kemudian.

Mereka pun pergi dengan wajah sumringah.

---

Limbo (bahasa Latin: limbus, artinya: tepi atau batas, merujuk pada "tepi" neraka), dalam teologi Gereja Katolik, adalah suatu gagasan spekulatif mengenai kondisi kehidupan setelah kematian bagi mereka yang meninggal karena dosa asalnya tanpa ditetapkan untuk masuk dalam kutukan neraka. Para teolog abad pertengahan dari Eropa barat menjelaskan bahwa "dunia bawah" (neraka, hades, infernum) dibagi menjadi 4 bagian yang berbeda: neraka terkutuk (sebagian menyebutnya Gehenna), purgatorium, Limbo para Bapa (limbus patrum), Limbo para Bayi (limbus infantium). Namun Limbo para Bayi bukanlah doktrin resmi Gereja Katolik.