Tangan mungilnya kembali di lipat. Berulang kali dia membunyikan jarinya. Cepat sekali. Walaupun sudah tidak bunyi. Dia gugup.
"Kau, tahu aku sedang gugup?" tanyanya tanpa melihat wajahku.
"Iya," ujarku dengan sedikit jeda.
"Mamaku, tidak sayang aku lagi. Aku sendiri sekarang. Bagaimana ini?" katanya pelan.
"Aku, bingung Kak. Mama berulang kali menyebutku dalam doanya tetapi aku tidak merasakan lega sedikitpun. Bahagia pun tidak. Kenapa aku tidak merasakan apa-apa dengan doa mama kali ini?" tukasnya, sambil mengusap bulir bening mengalir di kedua pipinya.
Kita terdiam lama. Aku berusaha mencari sela untuk memulai percakapan pagi ini.
"Rasanya, sudah berbeda, Kak."
"Memang, apa yang kau rasakan sebelumnya?" tanyaku walau sedikit tidak penting.
"Bukannya, semua doa itu baik. Apa bedanya?" tanyaku lagi.
"Ya berbeda. Bagi mereka yang mengucapkannya mungkin terasa sama dan hanya ucapan sepintas lalu aja. Tapi bagiku dan kami itu sebuah untaian kata penuh makna. Sejuk." Aku melihat senyum sedikit tersungging di sudut bibirnya.
"Lalu, kenapa kau, ngerasa beda dengan yang sekarang?"
"Entahlah, aku merasa sekarang jauh lebih kosong ketimbang beberapa hari kemarin. Aku, tidak merasakan Mama yang kukenal."
Dia membetulkan kaos kakinya yang sedikit turun. Duduknya manis sekali. Celana pendek yang mungil membuatnya imut dan lucu. Ada sesuatu di saku celananya. Benda terlihat bulat dan keras.
"Kakak, mau?" ujarnya sambil mengeluarkan dua buah permen strawberry dan coklat.
"Mau, emang yakin mau kasih ke aku?" ledekku.
Dia tersenyum kecut seolah aku tahu apa yang di pikirkannya.
"Aku, mau yang merah. Aku suka strawberry. Boleh buat aku?"
"Permen, enggak bagus buat gigi. Kata Mama nggak boleh banyak-banyak. Kakak kan masih 'ada'. Masih sehat. Jangan, ya ..." rengeknya.
Aku tertawa lepas.
"Huhuu, bilang aja nggak boleh dikasih."
Dia tersenyum dengan gigi rapinya.
"Aku, tadinya punya tiga permen. Satu sudah aku berikan kepada seorang nenek yang kangen dengan cucunya. Dia, menangis terus. Aku tidak tega. Aku kasih aja satu. Hehe ... Kakak masih mau?" tanyanya lagi.
"Enggak, terima kasih. Kamu simpan aja"
"Beneran? makasih ya, Kak ...." ujarnya bersemangat.
Tawaku kembali lepas.
"Aku, hanya becanda, sayang."
"Kakak, buat aku khawatir."
"Kenapa, khawatir sekali? itu hanya permen biasa, yang aku pun bisa memberikan kepadamu. Kau, mau berapa?" pancingku.
"Iya. Maaf, Ini permen dari Mama. Ini sengaja aku sisakan dua, kalau aku rindu bisa kumakan. Sebenarnya Aku ingin memakannya satu sekarang. Tapi aku tidak tega padanya. Aku, rindu Mama," netranya kembali berkaca.
"Aku mengerti. Begitu rasanya jika mendapat hal yang tidak bisa semua orang memberikan. Rasa tulus tidak bisa diukur. Rasa permennya mungkin sama saja. Yang berbeda adalah cara bagaimana itu di berikan."
"Iyaa, Kak," matanya berbinar bahagia.
Senyumnya kembali cerah seperti sinar matahari. Aku merasakan kehangatan yang luar biasa.
Dia kemudian pergi. Dengan senyum mengembang.