Dia ingin aku bercerita tentangnya. Tentang aborsi.
Tangan mungilnya bergerak mengikuti irama. Diangkat keatas diayunkan kesamping. Gemulai laksana mengikuti angin. Tangan tangan kecil yang tampak mempesona. Seolah mengajak aku berdansa.
"Aku hari ini senang," ujarnya sambil terus menari.
"Kenapa begitu senang."
"Entahlah, yang aku tahu sekarang aku merasakan senang."
Dia seorang gadis kecil. Usianya kutebak sekitar 4 tahunan. Rambutnya hitam sebahu dan dia memiliki senyum bak bulan sabit. Indah sekali. Matanya bulat dengan bulu mata lentik di kedua sisinya. Ketika dia tersenyum. Kuyakin dia mengalami kematian yang bahagia.
"Aku senang. Kau tahu kenapa aku senang?" ungkapnya.
"Tidak. Ayo beritahu padaku," tanyaku antusias.
"Aku senang, karena aku tidak perlu merasakan yang kalian rasakan."
"Maksudmu?"
"Iya. Tuhan terlalu sayang padaku. Sehingga dia tidak membiarkan aku hidup. Coba jika aku hidup, aku akan merasakan apa namanya penderitaan."
"Yeah ... Tuhan punya rencana sendiri."
"Tapi, aku tak habis pikir mengapa mereka berbuat seperti itu kepadaku. Apa salahku pada mereka. Aku, tidak pernah berbuat jahat pada mereka," katanya lugas.
"Tak pernah sedikitpun niatku ingin membuat mereka sengsara. Tidak sedikitpun. Kau tahu itu?" tanyanya.
"Aku, tidak pernah tahu ... yang kutahu mereka lakukan hanya untuk menyelamatkan mereka saja. Tapi, rasanya tidak begitu. Menyelamatkan hanya untuk satu kali kesempatan ku kira. Selebihnya, mereka akan di dera rasa bersalah yang tidak berkesudahan," ungkapku sambil membetulkan letak bantal.
"Yah, itu yang harus dia tanggung. Tapi rasanya sedikit sekali yang merasakan hal itu. Walaupun sedikit demi sedikit terluka jika mengingatnya. Rasa bersalah itu tadi," jawabnya kembali.
"Kau tidak khawatir sedikitpun tentang mereka?"
"Apa yang harus aku khawatirkan? Tidak sedikitpun. Apakah mereka mengkhawatirkan aku ketika aku diambil secara paksa oleh gunting tajam? Apakah mereka khawatir apa yang aku rasakan ketika tangan orang dewasa menarik tanganku dan memutuskannya? Tidak Tidakkkk sedikitpun!" Airmatanya mulai membasahi matanya yang kecil.
"Mereka bisa tidak merasakannya. Dokter pun berkata 'semua akan baik-baik saja ketika kau bangun'. Mereka tidak merasakannya. Tetapi kami. (Kali ini dia mengatasnamakan 'kami' ). Tidak satupun kami dibius. Kami merasakan semua ... Sakit ...," ujarnya lirih.
Aku menatap wajahnya iba. Terkuak sudah apa yang disembunyikannya.
"Lalu ... maaf bukankah kau ... maaf, sudah tidak ada ketika saat mereka ...." Aku tidak melanjutkan.
"Kalian pasti berpikir demikian. Kami tidak! Kami merasakan semua ... Kami berpikir 'siapa mereka yang menarik kakiku', 'mengapa mereka begitu kejam', 'hey... Aku hidup!" Tangisnya meledak.
"Tak ada yang pedulikan kami. Tak ada yang menanyakan kepada kami 'semua akan baik-baik saja' ... Kami, tidak diberi kesempatan untuk sekedar bertanya kepada Mama kami. 'siapa mereka Ma'."
"Aku, sempat berpikir. Maksudku. Aku dan teman-temanku. Kami adalah mahluk kecil yang paling dirindukan. Kami mahluk kecil yang dinantikan oleh anggota keluarga yang lain. Kami mahluk kecil yang akan merangkak di perut wanita yang disebut 'Ibu'. Tetapi, kami salah. Kami tidak diharapkan oleh siapapun. Kami tidak dirindukan, oleh siapapun. Kami tidak dinantikan oleh keluarga kami yang lain ...." ungkap sambil meremas ujung roknya yang berenda.
"Tapi, kau tahu itu adalah pilihan yang terbaik yang bisa dilakukan oleh mereka. Tidak ada jalan lain. Tuhan sudah berkehendak," jelasku.
"Jangan, kau libatkan Tuhan dalam hal ini. Apakah mereka berpikir tentang Tuhan akibat yang telah mereka lakukan? Apakah mereka sempat bertanya sebelum sang ular menawarkan buah apel? Tidak. Tidak sediktpun dia bertanya. Apakah mereka yakin Tuhan yang berkehendak hingga kami berada disini? Tuhan terlalu bodoh untuk berpikir demikian. Manusia hanya yang berpendapat demikian untuk menyalahkan Tuhan dan menganggap ini semua RencanaNya. Tuhan tidak merencanakan kami disini, kau tahu itu ... Jadi jangan gunakan hal itu sebagai pembelaan. Kau harus meminta maaf padaNya."
Lidahku tercekat mendengar hal itu. Tidak dapat berkata apa-apa. Rasanya aku salah beragumen. Aku salah melibatkan Dia yang maha agung.
"Iya, maafkan aku berbicara seperti itu," pintaku.
"Jika kalian berada di posisi kami. Kalian akan berkata lain," tukasnya.
"Iya, maaf ... Kalian sudah berada di posisi sulit. Aku tidak bisa berkata-apa lagi. Aku tidak akan gegabah melibatkanNya."
"Oh ya, jangan."
"Hmm ... Lalu kau tahu bagaimana jika mereka. Maksudku. Kejadian ini, karena mereka sudah tidak kuat lagi? Kau tahu tidak semuanya menginginkan hal ini terjadi? Aborsi ... mereka pasti punya pertimbangan bukan?"
"Sebagian alasan hal itu terjadi karena kami tidak diinginkan. Entah mengapa sangat sedikit sekali mereka yang rela menerima keadaan yang seperti itu. Jarang yang mengerti. Yang kami tahu, kami tidak diinginkan. Hanya itu!" jelasnya.
"Okey ... Okeeyy ... Lalu, apa yang harus mereka lakukan untuk menebus rasa bersalahnya?" tanyaku.
"Lho, jangan kau tanya aku. Aku tidak ada hubungannya dengan rasa bersalah yang mereka derita seumur hidup. Kami pun, tidak akan mengungkit apa yang kami rasakan. Mengapa kami harus memikirkannya? Hey ... Asal kalian tahu. Kalian berhak untuk menebus rasa bersalah kalian dengan perbuatan baik dibumi. Aku tidak tahu caranya. Sedangkan kami, kami tidak dapat berbuat seperti itu. Kalian tidak berhak bertanya, kepada kami apa yang harus kalian lakukan untuk menebus dosa kalian. Kami saja yang masih di dalam perut kalian tidak ditanya "apakah kalian mau hidup atau mati? Kalian egois sekali. Kau tahu karma kan? Kalian harus berpikir karma itu ada. Jangan berpikir Tuhan begitu jahat sampai mengutuk kalian. Tidak, tidaaak! Kalian harus menanggung dosa atas perbuatan kalian. Agar kalian mengingat kami. Itu saja. Sesimpel itu."
Aku merinding.
"Kalian, harusnya tahu apa yang harus dilakukan. Jangan bertanya kepada kami. Kami tidak merasakan apa itu penderitaan. Kami bahagia kami mendapat yang terbaik sekarang. Entahlah. Harusnya aku sedih tetapi tidak. Kami berbahagia ... Kalian tidak tahu kan ... " ungkapnya sambil tersenyum kearahku.
"Tidak. Aku tidak menyadarinya.. Lalu karma itu bagaimana?"
Dia bangkit dari tempat duduknya. Kemudian berlalu sambil bersenandung.
"Lalalala ..."
------
Mari berdoa buat jiwa jiwa mungil disana yang hilang karena aborsi.
Buat mereka yang tidak diinginkan. Buat mereka yang berkorban untuk sang ibunda. Buat mereka yang tidak tidak dikenal. Buat jiwa yang sampai sekarang tidak pernah di doakan oleh ibunya.
Tuhan memberkati mereka. Amin
Alfatihah ...
-----
"Say no for abortion, think before you did"