Johar Baru, pertengahan Februari 2017.
Di sebuah ruang tamu.
Kami, berkumpul membicarakan tentang seorang sahabat. Yang telah lama pergi, namun terkadang muncul dan masih menganggap bahwa dirinya masih ada.
"Gue, nggak menyangka ini bakalan terjadi," ujarnya setengah menangis.
"Ya, kan gue nggak tahu bakal begini kejadiannya, Na ...," kata wanita yang barusan kukenal bernama Linda.
"Ya, kan Lo bisa pindahin gue ke ruangan lain. Nggak ke situ Nda ...."
"Harus, kemana gue, tanya? lo nya aja udah nggak sadar terus kesakitan kayak gitu. Gue kudu tega, Na? gue kudu gimana? bawa lo pulang, ditengah kondisi lo ngeluh sakit punggung!" Linda setengah meninggi.
"Emang, gue gak sadar ya, Nda?" kata Inna lemas.
"Kagakkk!! Kalo lo sadar pun gue nggak bakal ngijinin lo pulang. Ya mana tau kalo kondisi lo makin ngedrop. Kan gue gak berharap begini Na ...!"
Linda mengambil tisu dan menghapus ujung matanya yang mulai basah.
"Kita, yang disana kemarin berharap yang terbaik, Na ... berharap lo segera mendapat penanganan dokter. Karena jujur, gue sama yang lain nggak tahu lo sakit apa? gue panik Na ..."
"Kenapa, sampe ke ICU sih, Lin ...," tanya Inna lagi.
Inna masih tidak percaya apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Dia berharap semua hanya mimpi. Mimpi bertemu dengan teman-teman kecilnya. Bertemu dengan keadaan yang berbeda, tapi dengan suasana yang sama.
"Gue, kudu ngomong gimana biar lo ngerti, tindakan yang kita ambil kemarin. 106 hari yang lalu adalah nggak ada maksud apa-apa. Nggak ada niat kita buat lo kayak gini sekarang ...." Linda mulai mengatur napas dan kata-katanya.
"Iya Lin, tapi ...." ujarku sedikit mengerem sebelum melanjutkan.
"Tapi, apa?!" Linda mulai menekan.
Semua terdiam.
Termasuk aku.
Sugeng, Mas Bayu dan yang lain pun terdiam.
Tangan Sugeng, mengusap perlahan paha istrinya--Linda--. Berusaha menenangkan situasi.
"Lin, dia masih syok kali ... masih belum bisa menerima. Pelan-pelan aja," ujarku, membuka suasana canggung yang tiba-tiba terhenti.
"Eh, Rin ... menurut lo yang syok dia doang? yang kaget dia doang?!" Linda nyerocos.
"Gue, sama yang lain nggak ngerasain hal yang sama 106 hari yang lalu. Kaget Na, kaget lo bisa ninggalin kita semendadak itu. Gue, nggak nyangka," timpal Linda sambil memandangi wajah Inna.
"Tapi, di ICU gue sempet bangun nggak, Nda?" tanya Inna pelan.
"Kagak! Lo, tidur terus ... nggak sadar!" Mata linda memerah.
"Iya, Nda sampe sekarang nggak bangun-bangun. Ini yang namanya mati ya, Nda," tukas Inna pelan.
"Nah, itu tau."
"By the way, Nda dan yang lain. Gue kayak mimpi tahu. Gue tuh aneh aja, masih bisa ngobrol begini sama kalian tapi, dalam keadaan yang lain. Coba lo nggak bawa gw ke ICU ..."
"Dibahas lagi. Semua takdir, Na. Kita nggak bakal tahu kejadiannya bakal kayak gini. Gue dan temen-temen masih berharap yang terbaik buat lo Saat itu. Tapi, Tuhan berkehendak lain, kita bisa apa?" Linda menatap Inna tajam.
"Iyaa ... gue ngerti. Cuman gue masih berharap kemungkinan yang lain."
"Apa? masih mau menyangkal keinginan takdir?" seloroh Linda.
"Ih.. Linda, dengerin ya. Gue kayak mimpi tau. Masih belom percaya gue nggak ada. Udah meninggal. Gue belom siap apa-apa. Nggak bisa kayak gini," kata Inna kesal.
"Kalo lo, siap-siap namanya piknik ...." sergah Linda.
"Lagian ya, kalo kagak ada, tuh ratu jurig kagak bakal ada lo di sini," Linda menambahkan sambil melirik ke arahku. Yang sejak tadi diam mematung melihat mereka beradu argumen.
"Ih, gue aneh deh. Masak pas nggak ada malah berasa lebih ringan. Kayak nggak ada beban. Enakkk gitu," ujar Inna dengan tersenyum.
"Dasar gila. Lo nya bisa ngomong gitu, sementara kita ngerasa udah kayak apaan tau pas lo meninggal," selorohku membantu linda.
"Ngerasa apa? sedih ya," tanya Inna.
"Yaaelah, pake dibahas. Ya iyaaalah. Lo nya nggak ada malah kagak sedih. Bego luh," kata Linda keki.
"Gue, emang orangnya ngangenin sih. Kata orang-orang sih gitu. Hehee ...."
Seluruh ruangan tertawa.
"Dasaar! Pake dibuat becanda. Ya, mana ada sahabat meninggal kita enggak sedih," ucapku sambil menahan bulir bening yang mulai berjatuhan.
Suasana kembali hening.
"Lin, Rin kalian sayang gue, 'kan?" Inna berkata sedikit pelan.
"Ya, iyalah. Kenapa lo nanya kayak gitu. Lo kan sahabat gw dari kecil. Sahabat yang kemana-mana berdua. Selalu cerita tentang apapun. Apapun. Kecuali satu. Tentang sakit lo ini lo nggak pernah cerita ..." wajah linda kembali tegang.
"Bukannya, gue udah pernah cerita ya? eh iya gak sih?" Inna berusaha mengingat.
"Kagak. Lo nggak pernah cerita apa-apa. Lo cuma ngeluh punggung lo sakit, pas lo ngajar. Dan ini pun baru-baru ini."
"Gue, nggak enak cerita sama kalian soal sakit gue. Nggak penting juga Lin. Masa sakit gue jadi bahan omongan kita sih, hahaha," ujar Inna setengah tertawa walau tidak lucu sama sekali.
"Bukan begitu. Lo tuh kebanyakan nyimpan semua sendiri. Lo dirumah sama di tempat kerja lain banget. Dirumah sama anak lo bisa galak dan tegas sedangkan di luar rumah bisa ketawa-ketiwi nggak ada beban. Makannya kita nggak curiga sama sekali, lo nyimpen ini semua sendiri," ujarku dalam sekali napas.
"Kagak enak gue beneran dah. Lo kan sahabat gue. Harusnya, kalian ngerti Gue nggak berpikir ini bakal parah sampai ... you know lah, gue gak ada ...." kata Inna.
"Iya, sekarang emang terlambat. Tapi, gue seneng yang tau gue doang dan gak bebanin kalian semua," lanjut Inna menghibur diri.
"Nggak gitu, Na ... semua ada solusinya. Ada jalan keluarnya." Linda tak melanjutkan kata-katanya.
"Solusi? Ini adalah solusi terbaik yang Tuhan kasih sama gue. Walaupun, sedikit rada nggak terima gue meninggal secepat ini. Dan ngobrol dengan kalian dengan cara seperti ini dan aneh," kata Inna lagi.
"Terus, lo gak mikirin anak lo, Na?" tanya Sugeng.
"Anak? emang, gue punya anak, ya?" balas Inna.
"Yah, dia lupa. Punya, Na. Anak lo dua."
"Ah masak? Iya yah? kenapa gue lupa ya? ah biarin aja. Emang kenapa?" Ujar Inna lagi.
Semua yang ada disitu kompak terheran-heran.
"Nda, ntar kalo lo udah mati, lo jadi nggak inget semuanya deh. Ada yang inget ada yang kagak. Baek-baek lo kalo meninggal. Ntar, lo lupa sama laki lo nanti," ujarku sambil melirik pria disebelahnya dan tertawa.
"Astagaaaa! pake diomongin yang kayak gitu. Lupa apa kagak urusan nanti. Yang penting nggak lupa sama sahabat gue. Terutama elo yang doyan manggil demit, jurig dan sebangsanya," Linda berseloroh.
Semua tersenyum.
"Mas Bayu. Kita ngundang kesini buat nanyain nih ke Mas Bayu. Suaminya Inna, kami dengar mau menikah lagi. Padahal Inna baru 100 hari meninggal. Apakah tidak terlalu mendadak. Harusnya menunggu Inna mengijinkan atau tidak. Itu aja mas bayu yang kita mau tanyakan."
"Oh begitu. Saya coba ya bertemu dengan beliau. Jika yang diatas mengijinkan berati memang sudah sesuai dengan yang di rencanakan olehNya."
"Baik, Mas Bayu," ujar Linda.
"Woy! kalian kok diem sih? kenapa? Aneh ya. Ada yang mau pesen tempat gak?" canda Inna.
"Gila, lo Na. Ntar aja kali. Gue belom mau mati. Eh itu suami lo gimana? di ijinin nggak nikah lagi?" tanya Linda.
"Ah, gue sih terserah. Gue, bisa apa juga. Mau ngelarang? siapa gue. Udah mati juga," katanya sambil makan martabak telor.
"Iya, sih. Gue cuma yakinin aja, kalo lo ikhlas apa kagak, kalo dia nikah lagi," tanyanya Linda lagi.
"Lo, masih pake kata 'ikhlas dan nggak ikhlas' sama gue?"
"Iya, maaf ... keceplosan, Na," Linda menggaruk punggung tangannya.
"Hmm... dengar-dengar, dia nikah di Flores ya?"
"Kayaknya, sih. Lo ikhlas 'kan?"
"Iya deh ikhlas. Yang penting pesawatnya jatuh aja," ujar Inna tertawa.
"Yahhh, Inna ...
!! Udah serius juga."
Semua ruangan tertawa.
"Eh, jangan lupa doain gue ya. Gue nggak bisa doa, buat diri gue sendiri. Minta tolong, ya."
Inna merengek.
"Tanpa lo minta, gue dan yang lainnya juga selalu doain lo, Na. Yang terbaik aja buat lo. Di hapuskan salah dan dosanya. Diberikan tempat terbaik. Pokoknya yang baik-baik yaah." Linda tersenyum.
"Makasih, yaa ... eh, Lo kalo doain gue kenapa suka nangis sih, Nda? terharu gue."
"Dih, GR. Siapa yang doain lo sampe nangis" Linda mengelak. Dan kayaknya elakannya gak berhasil.
"Kan gue tau. Lo yang paling sayang sama gue."
Tangis Linda pecah. Dan aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Senyum Inna yang bahagia melihat sahabat-sahabatnya.
"Eh, by the way ... coba lo nggak pindahin gw ke ICU. Gue pasti masih hidup."
"Auuuk, ah setan, lo!"
"Kan gue emang udah jadi setan. Hahaa," Inna meledek.
-----
Untuk sahabat yang kutinggalkan.