Chereads / Sixthsense (jiwa-jiwa yang merindu doa) / Chapter 3 - Korban kekerasan

Chapter 3 - Korban kekerasan

Ini cerita tentang 'Mereka'

Tiga Sahabat korban dari kekerasan.

"Kayaknya aku yang menemukannya lebih dulu. Kalian berdua nanti saja menunggu giliran ku selesai ... " Seloroh gadis kecil berambut panjang dengan sedikit cemberut.

"Enak saja. Aku yang lebih dahulu menanyakan tentang dia kepada pak tua yang lewat kemarin. Jika aku tidak bertanya, tidak mungkin kalian ku ajak kemari" ujar salah satu dari mereka.

"Kemarin itu aku yang memaksa kau untuk menanyakannya. Mau tanya aja pakai bingung segala. Tanya ya tanya saja" gadis itu kembali tidak mau kalah sambil memainkan ujung rambutnya.

"Kau lihat pak tua itu kemarin? Dia sepertinya sedang tidak enak perasaannya. Mana berani ku tanya tentang orang ini padanya. Disemprotnya aku ini nanti. Lagipula aku tidak melihat kau berusaha sedikitpun untuk berusaha menanyakannya sendiri. Kenapa harus menyuruh aku?

Kali ini kau benar-benar keterlaluan.." Kata anak laki-laki dengan memakai sepatu sebelah.

"Ingat ... Siapa yang dahulu mati dan mengalami hal yang paling buruk diantara kita bertiga. Kau lupa? Pakaiannku basah seumur kita 'hidup'. Kau tidak tahu rasanya dibenamkan dari bak kamar mandi dengan air dingin apalagi dengan tangannya yang besar mencekik leherku. Kau pula tidak tahu bagaimana rasanya saat meregang nyawa dan kau lupa mengingat kebaikan orang tuamu dan bahkan aku lupa berdoa '3 menit' untuk sekedar aku siap di'jemput'" dia menunduk.

Terdengar suara isak tangis dan air mata yang menetes di ujung hidung mungilnya.

"Kau selalu berbicara seperti itu jika itu menyangkut tentang kita bertiga. Kau seolah yang punya reputasi mati yang terburuk diantara kita. Kalian tahu dari kita bertiga tidak ada yang lebih buruk atau tidak ada yang lebih baik menghadapinya. Kita sama-sama menghadapi kehidupan yang tidak mudah. Aku yang dengan kaki patah sebelah pun masih mengganggap ini tidak ada apa-apanya dengan mereka yang mati dengan cara mengerikan diluar sana ..." Tukasnya sembari tangannya merangkul.

"Apa yang lebih buruk lagi yang dialami kita bertiga. Kita mengalami kematian yang sama. Kehidupan yang bisa diambil oleh orang yang kita kasihi sekalipun. Tak terbayangkan sedikitpun aku, kamu dan kita mengalami hal yang begitu tidak terduga seperti ini" sang gadis kecil menghempaskan bokongnya di bangku semen.

Tangannya tak henti digerakan membentuk sebuah bola dengan jari jarinya.

"Aku tidak ingin berdebat lagi tentang siapa diantara kita yang mengalami kejadian paling dramatis sepanjang hidupnya. Jika diteruskan kita akan berputar ke arah yang sama dan tidak menemukan solusi ..."

"Solusi ...? Apa yang kau harapkan dengan kau menceritakannya kepada orang ini? Kurasa dia pun tidak bisa membantu banyak ... " Ujar gadis kecil dengan suara parau.

"Membantu atau tidak memang tidak ada pentingnya. Setidaknya kita tidak berputar kearah yang sama dan terus menyalahkan orang tua kita. Itu saja"

Ketiganya kembali membisu dan diam. Tak ada yang berani menyanggah atau menyalahkan satu sama lainnya. Menunggu.

"Kukira mereka bisa menjadi orang tua yang baik untukku. Awalnya memang aku tidak memaksakan mereka sayang kepadaku. Aku pasrah karena keadaan. Tak ada yang bisa memaksa aku lahir dari keluarga macam mereka. Tidak terpikir aku bisa memilih untuk lahir di keluarga siapa ... " Yang tengah memulai ceritanya.

Aku berusaha menyimak.

Mereka sepertinya bersahabat sudah cukup lama. Dan tampaknya dari pakaian dan baju yang kulihat, mereka berasal dari rentan waktu dan tingkat sosial yang sangat berbeda. Jangan ditanya tentang kematian mereka. Mereka berakhir sama ... karena di 'kecewakan' (mereka lebih suka menggunakan kata ini ketimbang yang lain seperti 'dibunuh' misalnya). Yang membedakannya hanya cara mereka berakhir bagaimana.

Gadis yang tertua kulihat sekujur tubuhnya basah seperti habis keluar dari sebuah bak mandi. Rambutnya berwarna kuning keemasan menutupi sebagian wajah kecilnya. Kedua tangannya di ikat sebuah tali sepatu hitam dengan simpul yang tidak jelas. Perawakannya lebih tidak bersahabat. Sedikit menyebalkan menurutku untuk anak seusianya.

Anak laki-laki kedua berumur tidak jauh berbeda dgn yang tertua. Wajahnya terlihat lebih menyenangkan. Walau dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Wajahnya bulat dan memerah seperti buah plum yang sudah masak. Tak sedikitpun wajah kekhawatiran disana. Sekilas dia tampak biasa saja. Biasa saja maksudnya disini, dari tubuhnya sesehat itu aku aku tak menemukan luka satupun ditubuhnya. Yah aku berpendapat dia meninggal karena penyakit dalam yang di deritanya. Tapi tunggu, apa itu di kakinya. Astagah! Kaki kanannya patah. Lepas dan benar-benar terpisah. Ada apa dengan kakinya?

"Kau baik-baik saja?" Kutanya pelan.

"Aku? Tidak pernah sebaik ini sebelumnya. Apalagi bertemu dengan kau." Ujarnya.

Gadis berwajah judes itu menyelak.

"Kenapa kau bertanya seperti itu. Bertanya 'apakah kau baik-baik saja?' Kukira itu pertanyaan paling bodoh yang pernah ku dengar. Apakah patah kaki nya sudah menunjukan dia baik-baik saja. Hah? Apakah di pukul dengan tongkat di kakinya bisa membuatnya jera. Hukuman. Kalian orang tua selalu berkata itu untuk hukuman. Kami memang jera. Tapi kami dapat merekam semua dengan baik. Dan berharap suatu saat nanti berdalih 'memukul' di perbolehkan" tukasnya.

"Sudah Em, aku tidak ingin membahasnya. Aku sudah menutupnya rapat-rapat. Yang kutahu dengan aku begini tidak merubah apapun. Aku tetap di kenang sebagai anak yang nakal" sambil tanganya menepuk pundak gadis yang dipanggilnya Em.

"Bagaimana dengan dia yang seumur hidupnya tidak berbicara apapun?"

Kulirik Em dengan ujung mataku. Terlihat sekali Em yang geram dengan keadaan mereka sekarang. Berusaha menyalahkan orang yang merawat mereka.

"Dia seumur hidup akan seperti ini. Apa yang bisa diharapkan nya? Dia tiba-tiba bicara bak sebuah mukjijat? Orang tuanya saja yang bodoh tidak bisa mengajarinya berbicara. Tolol. Lalu jika dia tidak bisa bicara apakah itu kesalahan Dia? Sebuah kutukan? Atau ancaman untuk kemajuan bisnis ayahnya. Kau tahu jika boleh memilih dia akan memilih untuk cacat kakinya ketimbang lidahnya kelu sepanjang hidupnya ... " Selorohnya.

Tak disangka dia yang dibicarakan tiba tiba menangis dan tangannya memberi isyarat untuk menghentikan ucapan Em.

"Kurasa dia tidak nyaman kau bicara seperti itu. Dan rasanya dia tidak setuju apapun yang kau katakan barusan" kataku dengan bijak.

"Ah aku tahu sekali apa yang dia rasakan.."

"Sudahlan Em.. Dia berkata 'kau terlalu banyak bicara. Seharusnya kau yang bisu seumur hidupmu'" ujar si pincang mencoba mengartikan.

Em tercekat. Diam dan memutar badannya membelakangi kami.

"Ada percik api kulihat disini. Ops! Hahaha ... " Aku berusaha mencairkan suasana.

"Walaupun saya bisu tetapi saya tidak tuli. Apapun yang dilakukan mereka kepada kami diluar sana. Kami hanya berharap ini tidak terjadi kepada yang lainnya. Bukan hanya mereka yang tidak mau, kau kira kami mau terlahir cacat. Rangkul kami dengan tangan kalian yang kelelahan bekerja. Tangan kalian yang bau masakan dan asap masakan" si tengah berusaha mengartikan bahasa isyarat itu dengan kata-katanya.

"Kau tahu saya mendengar dengan sering mereka bergulat tentang aku si pembawa sial di ruang kerja papa yang berjarak dua kamar dari kamarku. Aku bisu tapi tidak tuli. Berulang kali. Setiap malam. Betapa lelahnya mereka kepadaku. Aku berusaha bicara dengan mereka lewat sebuah buku panduan bahasa isyarat. Aku hanya ingin bilang 'aku sayang mereka' ... Tetapi mereka tidak mau mengerti." Si tengah yang kutahu bernama Jey menyampaikan.

"Lalu apa yang terjadi?" Kutanya dengan pelan.

"Dia lompat dari jendela kamarnya dan membayangkan dirinya malaikat bersayap" Em memotong.

"Oh sorry to hear that.."

"Kami tidak ingin menganggumu lagi. Akhirnya kau selesaikan cerita kami. Terima Kasih Kak. Semoga kami tidak bertambah anggota lagi. Please kami bertiga saja yang mengalami hal-hal itu. Jangan yang lain."

"Sama-sama. Terima Kasih sudah berbagi dengan saya. Semoga saja tidak ada Emily-Emily lain di luar sana. Mendengar yang ini saja aku sudah cukup pusing. Hahaha ... " Candaku.

"Hai maksudmu apa?" Em geram.

Yang kecil si bisu yang bernama Tony melambaikan tangan tanda perpisahan dan mengisyaratkan 'aku serius dengan permintaanku seharusnya dia saja yang bisu bukan aku!' Sambil tersenyum.

"Kak Doain kami yaaaa..." ucap Em kemudian.

Dan mereka pamit..

---------