Mawar kuncup itu sudah mekar
Aromanya mengharumkan ruang kamar.
Aku tersenyum saat terbangun dari tidur.
Lelakiku tersenyum menyapaku.
"Selamat pagi." Ucapnya.
Aku tersenyum bahagia, lelaki yang 3 bulan ini menjadi kekasihku. Telah resmi menjadi suamiku. Akad dan resepsi pernikahan kami kemarin berjalan dengan lancar.
"Pagi sayang, nyenyak tidur nya?" Tanyaku mengecup keningnya.
"Lelah hilang saat melihat senyummu pagi ini sayang." Ditariknya kembali lenganku, dan di peluknya, rasanya males sekali mau keluar kamar.
"Mas sudah cari kontrakan untuk kita, seperti keputusan kita untuk tidak merepotkan orang tua dan memilih tinggal sendiri jika sudah menikah. Karena mas belum ada dana untuk beli rumah, sementara kita kontrak dulu ya dek?" Elus tangannya pada rambutku.
Entah kenapa ada rasa sedih yang tersirat, sedih akan meninggalkan orang tua, sedih akan meninggalkan adekku dan kampung yang sudah bertahun tahun aku tinggali.
"Mas sudah dapat kontrakan." Ucapnya kembali dan tersenyum.
"Mas kan selama ini kerja di Surabaya, sedangkan rumah mas di Bojonegoro, rumah adek di malang. Jadi mas ambil di tengah tengah."
Aku mengernyitkan kening.
"Dimana mas? Jauh ya dari malang?" tanyaku bawel.
"Sidoarjo." jawabnya menatap mataku.
"Sidoarjo? Yang ada lumpur Lapindo itu ya? Aman kah mas? Bukannya masih aktiv lumpurnya?" Tanyaku bertubi tanpa henti.
"Aman dek, rumah kita jauh dari lumpur, dan juga mas cuti ga bisa lama." Tiba tiba raut wajahnya berubah sedih, senyum yang di paksakan hadir di sana.
"Kapan mas mulai masuk kerja?" Tanyaku memeluknya.
"Lusa, ada rapat di Bali. Maaf mas engga bisa menemani adek saat kita pindah nanti." Di dekapnya tubuhku dan di peluknya erat serta di ciumnya keningku.
"Adik ga usah kerja ya? Bias mas yang kerja, adik cukup di rumah saja, merawat anak anak nanti."
"Ah mas, belum apa apa sudah mikirin anak." Cubitku pada pinggulnya dan aku hanya tersenyum dan mengangguk.
"Heheheh.. kan gak apa apa dek." Gelitiknya bertubi tubi pada tubuhku.
~~~~~~~~~~
Drama perpindahan pun terjadi, ada tangis saat ibu dan adik melepaskan kepergianku. Maklum, kita tak pernah berpisah, bahkan bekerja pun aku memilih pulang pergi, padahal tempatku bekerja dari rumah membutuhkan waktu satu setengah jam.
Suami hanya tersenyum dan memelukku.
"Kita akan sering sering pulang, sabar dulu." Ucapnya menenangkan hati ku dan menuntunku menuju mobil.
Tiga jam perjalanan yang kami tempuh untuk sampai ke rumah kontrakan baru.
Di perjalanan tak henti hentinya suami mencoba membuatku kembali tersenyum, candanya, gurauannya,bahkan dia membelikan banyak coklat untukku.
Katanya " coklat bisa mengurangi stres."
Aku hanya tersenyum dan mencoba ikhlas, toh nantinya aku bisa lebih sering menjenguk ibu dan adikku.
"Bagaimana rumahnya ma?" Tanya mas Awi memanggilku mama, katanya panggilan mama untuk membiasakan anak kita nanti memanggil orang tuanya. Hahahah... Dia begitu antusias ingin segera memiliki momongan. Biar rumah rame dan dia ga merasa kesepian.
"Yakin ini rumahnya ?" Tanyaku ragu.
"Iya, maaf belum di bersihkan oleh yang punya. Nanti pelan pelan kita bersihkan, kita cat ulang sesuai keinginan mama."
Ku lihat rumah kusam berukuran 40/90 dari balik pagar besi yang tak begitu tinggi, cat mengelupas pada dinding dindingnya. Ilalang tumbuh dengan lebat di halaman rumah, sarang laba - laba memenuhi di setiap sudut rumah, tanaman rambat pun memperkuat ke angkeran rumah tersebut.
"Kemaren gimana ceritanya dapat rumah ini pa? Sumpah serem." Ucapku bergidik. Ada desiran aneh yang aku rasa. Kaca kaca rumahnya gelap.
"Hehehe.. gak apa lah ma, susah cari rumah kontrakan dengan harga murah di kota sebesar ini. Ayo kita bersihkan pelan pelan."
Kami memasuki pagar rumah yang sudah berkarat, semakin masuk ke dalam, semakin terasa aura tidak nyamannya.
Ceklek.!
Mas Awi membuka pintu rumah tersebut, debu debu berterbangan, kulihat cahaya matahari menembus samar dari lantai 2.
"Uhuk...uhuk.." udara dalam rumah ini begitu minim, susah sekali rasanya mencari udara bersih. Pengap, menyesakkan dada. Tenggorokan rasanya tercekat.
"Baju baju nya biarin di mobil ya ma, kita bersihkan dulu rumah ini. Ga begitu besar rumahnya, mungkin gak sampai seharian sudah bersih." Mas Awi mengeluarkan peralatan kebersihan dari dalam mobil.
Aku langkahkan kaki menaiki tangga sambil membawa sapu. Ku coba membuka gagang pintu yang berkarat, "astagaaaaa.. ini tak layak di sebut rumah." Gumamku. Begitu sulitnya membuka pintu ini, di dorong, di dobrak pun tak bergeming.
"Sssttt.." aku terkejut karena mendengar sebuah suara, kuhentikan aktivitas ku mencari sumbernya. Ku dengar sumbernya dari bawah tangga, ku turuni tangga dengan masih membawa sapu. Namun saat aku berjalan dan akan membuka pintu kamar mandi.
"Aaaaaaaa.." aku terkejut dan berteriak sekencang-kencangnya.
" Ada apa ma?" Mas Awi berlari menghampiriku membuang kemoceng di tangannya.
"Hahahahhaa... Ngapain kamu disini ma?" Aku merasa konyol, jongkok di sudut pintu kamar mandi dengan tubuh yang bergemetaran sambil menutup mata
"Sama tikus saja takut hahahaha.. wajarlah banyak tikus, kan rumah jarang lama tidak di huni." Ucapnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Aku yang mulai sadar dengan apa yang aku lakukan, langsung berdiri dan melempar sapu ke arahnya. "Kaget tau.. kirain hantu." Dengusku kesal melangkah pergi.
"Hahahah.. mana ada hantu siang bolong." Jawabnya menyusul langkahku.