Semenjak saat itu aku gak berani lagi naik ke atas tanpa ada yang menemani, begitu juga saat ku ceritakan pada suamiku, dia hanya tertawa dan tak pernah percaya. Aku putus asa, engga tau harus gimana.
Sudah tiga bulan aku di rumah ini, kejadian kejadian aneh selalu bermunculan, dari suara salam tanpa wujud, teko yang berpindah sendiri , hingga suara orang lompat lompat di atap setiap pukul dua malam dini hari.
"Hooeeeek.." aku terhenyak, bangkit dan lari ke kamar mandi. Isi perutku serasa di aduk aduk dan muntah gak karuan, badan terasa lemas dan pusing.
"Mama.. mama.. mama sakit?". Teriak suami dari luar kamar mandi.
" Mama gak apa apa , cuma masuk angin pa." Aku ingat kembali, kapan terakhir aku menstruasi.
"Positif....." Bisikku sesaat setelah ku cek dengan tespek, Alhamdulillah...
"Habis muntah senyum senyum sendiri, kenapa ma?" Tanya suami curiga.
"Taraaaa...." Ku tunjukkan alat tes kehamilan pada suamimya. Kulihat matanya yang berkaca kaca..
"Alhamdulillah.." ucapnya penuh syukur dan memelukku.
Hari demi hari kami lalui penuh kebahagiaan, meski tak jarang hal aneh mengganggu kehidupan kami dan semenjak hamil Kami memutuskan untuk tinggal di rumah ibuku sementara waktu, karena suami sibuk dan takut jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak di inginkan padaku.
Dulu sebelum menikah, aku pernah kursus menjahit, bermain benang dan jarum menjadi kegemaranku di kala sepi dan itu aku berlangsung hingga sekarang. Semenjak menikah, suami tak memperbolehkan aku bekerja di luar rumah, akhirnya aku memutuskan untuk bekerja dirumah dengan menerima jahitan.
Penghasilanku lumayan, karena yang aku jahit bukan hanya baju, tapi juga memproduksi mukenah, sajadah , dan seprei. Dan itu harus ku tinggalkan untuk sementara waktu sampai si kecil nanti lahir.
"Ma.. besok kita nengok rumah kontrakan yuk! Sekalian papa mau ke kantor sebentar." Ajak mas Awi di suatu sore akhir pekan.
"Besok kan Sabtu pa, masa mau ngantor ?"
"Iya, ada yang harus di urus ma" jawabnya mengelus punggungku.
"Terus? Mama ?"
"Ehmmm.. dirumah ya, cuma setengah hari kok ma." Aku sejujurnya malas untuk kembali ke rumah kontrakan tersebut, meski tetangga baik pada kami. Tapi penghuni rumah tidak demikian.
Sabtu pagi kami berangkat dari Malang ke Sidoarjo, ku beranikan diri untuk membuka kembali pintu rumah yang sudah sebulan ini kami tinggal.
"Assalamualaikum.." ucap seseorang menyapaku.
"Waalaikumsalam, oh Bu gotot apa kabar ?" Jawabku cipika cipiki.
"Baik Bu, waah sudah besar, berapa bulan?" Pandangannya mengarah pada perutku yang membesar.
"Tujuh bulan Bu, gimana kabarnya?"
"Kabar baik Bu, oh iya.. kemaren ada pesta apa Bu? Kok ramai sekali rumahnya?" Pertanyaannya membuatku terkejut.
"Pesta ?? Nggak ada pesta Bu, saya malah baru saja sampe. Rumah ini sudah berbulan bulan kami tinggal, hanya kadang setiap akhir bulan suami datang untuk bersih-bersih rumah."
"Ibu jangan bercanda." Tukasnya. "Semalam saya melihat dari luar pagar kalau rumah ini ramai sekali Bu, banyak sekali anak kecil. Saya kira ponakan ibu pada datang."
Aku semakin tak mengerti maksud ucapannya, aku tak ingin ambil pusing dan secepatnya pamit untuk masuk ke dalam rumah.
Rumah ini tetap seperti 10bulan lalu saat pertama kali aku menapak kakiku disini. Kusam, seram, dan aura mistis nya begitu terasa.
Ku lihat setiap sudut rumah itu.. "hemmm.." dengusku kesal, kembali ku ambil sapu untuk membersihkannya dan mengelap mesin jahit kesayangan yang ku tinggalkan berbulan-bulan.
Ku duduk di depan mesin jahit, seperti seorang ibu yang rindu akan anaknya, ku elus dan ku bersihkan dari debu debu yang menempel.
Beberapa menit berlalu, aura rumah semakin terasa dingin, aku yang masih duduk membersihkan debu pada mesin jahit ku, terhenyak sesaat ketika aku merasa ada sosok putih tinggi yang mendekatiku dari belakang.
"Mulai lagi.." batinku. Dia selalu datang menggangguku, apalagi saat hamil seperti ini, Indra perasa ku semakin sensitif.
"Siapa kamu?" Tanyaku memberanikan diri.
Namun sosok putih tadi lenyap entah kemana.
Aku kembali membersihkan sisa sisa debu pada kaki mesin jahit.
Kling..!!!
Ku dengar suara notifikasi SMS pada handphone ku.
Novy : mbak, inget kerisnya mbak Fitri dulu?
Aku : ingat.. katamu di pinjam Mila,kan?
Novy : iya.. kata Mila.. di bawa kakaknya.
Aku : kemana?
Novy : di jual.
Aku : hah.. kok dijual, kan ga ikut punya ?
Novy : nah itu, pas aku tanyakan jawabnya di jual. Terus..?
Aku : terus apa? Ngomong jangan mbulet !!
Novy : katanya masnya kecelakaan.
Aku : kecelakaan gimana? Jatuh dari motor ?
Novy : enggak, kerisnya yang dia jual nusuk mata kakaknya Mila.
Aku : hah..?? Kok bisa ? Gak masuk akal.
Novy : aku juga gak tau mbak, Mila cuma bilang gitu.
Aku : Sekarang kemana kerisnya ?
Novy : kata kakak Mila ilang, dia minta maaf.
"Hemmm.." aku mendesah perlahan, masih banyak orang seperti mereka di dunia ini. Tidak ikut memiliki tapi merasa memiliki.