Chapter 3 - Pria Misterius

–KENZY

Ini hari kebebasanku!

Tidak ada Reese yang selalu bersikap seolah ia adalah pengasuhku, bahkan Floe juga kebetulan sekali tidak bisa pulang bersamaku–rumah kami searah–karena ia ada janji kencan dengan pacar barunya. Apa lagi keberuntungan yang bisa ku dapat selain ini? Dan aku malah sempat-sempatnya berpikir mimpi anehku semalam akan membawa kesialan.

Well, ini jelas kebalikannya. Bukan berarti aku tidak senang pulang bersama Floe, hanya saja aku jarang bisa memiliki waktu untuk berjalan sendirian seperti ini.

Sembari bersenandung pelan, kulangkahkan kakiku meninggalkan gerbang sekolah dengan berbelok ke kiri bukannya ke kanan. Untuk merayakan keberuntunganku yang langka, aku akan mengambil jalan memutar. Kapan lagi aku dapat kesempatan mengunjungi pusat belanja dan taman kota sendirian.

Keluarga Hutcherson sebenarnya agak terlalu protetif padaku dalam banyak hal. Jangankan berjalan-jalan diluar, mereka bahkan hampir tidak pernah membiarkanku di rumah seorang diri. Jika Reese kebetulan sedang ada urusan, maka Ryuu akan minta izin cuti pada perusahaannya agar ia bisa menemaniku. Dan jika mereka berdua tidak bisa melakukannya, bibi Lim lah yang akan mengorbankan waktunya dengan tidak membuka butik hari itu melainkan tetap berada di rumah.

Aku sudah pernah berusaha meyakinkan mereka bahwa aku cukup tangkas mengurus diriku sendiri tanpa harus menyusahkan. Tapi tetap saja mereka bersikeras untuk tidak mempercayai ucapanku. Agak menyedihkan juga mengingat hanya aku yang diperlakukan seperti bayi berpopok basah sedangkan Reese yang bisa dibilang sebaya denganku, tidak sekalipun kulihat merasa perlu mereka–bibi Lim dan Ryuu–jaga.

Areal pusat perbelanjaan tengah kota yang dipenuhi berbagai jenis toko aksesoris, pakaian, dan lain-lain, menarik perhatianku. Aku sudah sering mengunjungi areal ini, tapi tetap saja toko berisi barang-barang dengan harga selangit itu menarik perhatianku. Dibanding Ryuu dan Reese, memang hanya aku yang memiliki ketertarikan lebih pada fashion seperti bibi Lim. Kami sudah seperti ibu-anak kandung jika sudah berbincang mengenai baju-baju.

Cukup banyak pejalan kaki yang berlalu lalang di jalan mengingat bagi sebagian orang, ini adalah jam pulang kerja. Aku terus melangkah sambil mengagumi beberapa baju di etalase toko. Ingin rasanya aku melangkah masuk dan membeli beberapa, tapi kemudian aku teringat aku tidak membawa uang lebih, jadi aku hanya terus berjalan tanpa benar-benar mengalihkan pandanganku dari toko-toko itu.

Aku mulai bersenandung lagi ketika melewati toko akaesoris kamar saat tiba-tiba tubuhku limbung ke belakang. Aku tahu aku akan terjatuh karena aku menabrak sosok itu cukup keras, jadi aku kontan menutup mata. Tapi tidak ada trotoar yang terasa menyentuh bokongku, melainkan sebuah tangan melingkar erat di pinggangku, mungkin bermaksud menahan tubuhku yang limbung. Dan memang berhasil.

Aku mencengkram lengan sosok itu–yang kemudian kuyakini adalah lelaki karena lengannya yang berotot–sambil membuka kembali kedua mataku. Tatapanku sejajar dengan pundaknya, jadi aku perlu menengadahkan wajahku jika aku ingin mengucapkan maaf sekaligus terima kasih.

Tatapan itu memenjaraku seketika.

Iris peraknya sangat memperdaya. Tidak ada yang lebih penting daripada terus menatapnya untuk mengurai seberapa dalam misteri yang harus dipecahkan agar dapat mengetahui rahasia pesona itu. Jantungku bergemuruh. Aliran darahku kacau, berdesir dan mengalir deras. Nadiku berdenyut hebat. Kurasakan wajahku memanas.

Sangat panas. Terlalu panas.

Aku tidak merona.

Aku sakit.

Aku tahu aku sakit. Kepalaku mendadak terasa seperti disiram air dingin yang membekukan, dan perlahan pandanganku buram.

Aku benar-benar sakit.

Aku harus melakukan sesuatu. Karena kalau tidak, aku akan menggigil hebat sebentar lagi atau lebih parah, pingsan. Tidak ada seorang pun di sini yang ku kenal yang bisa mengantarku jika aku pingsan. Tapi kakiku terlalu lemas untuk bisa berdiri sendiri, dan tanganku tidak bisa digerakkan, ada sesuatu yang membuatnya bertahan mencengkram lengan itu.

"M-ma... ng... apa kau baik-baik saja?"

Aku lebih dari benar-benar sakit.

Aku harus pulang. Tapi kemana aku harus pulang? Pulang adalah istilah menuju tempat dimana kau merasa nyaman dan aman. Bola mata peraknya yang berpendar, lebih dari sekedar rasa nyaman. Dan tangan kokohnya yang melingkar di pinggangku seolah menjeritkan kata aman.

"Kau tidak baik-baik saja." tandasnya ketika aku masih berusaha mengusai pikiranku. Jika tubuhku tidak mau dikendalikan, maka setidaknya pikiranku harus tetap waras.

Dia mendekapku lebih erat, membetulkan posisi tubuhku yang sedari tadi bersandar lemas ke belakang menjadi sepenuhnya bersandar pada tubuhnya. Wanginya adalah aroma paling nikmat, seolah aku berdiri di tengah taman dengan berbagai jenis bunga beraroma semerbak. Tanganku yang masih berada di lengannya, terasa dialiri energi positif yang meluap-luap.

"Aku akan mengantarmu," bisiknya di telingaku. Suaranya bagai belaian merdu angin musim semi. Seperti untaian nada dari alunan jari-jemari yang bermain di atas piano tua. Tegas tapi lembut, dalam tapi penuh kerinduan.

Satu detak keras dari jantungku membuatku sadar bahwa di luar fakta aku terpesona, aku memang sakit.

Paru-paruku terasa membesar dan bolong disana-sini secara mengejutkan hingga rasanya oksigen yang kuhirup lolos begitu saja, membuat nafasku terengah. Namun anehnya pandanganku yang buram kini menjernih dan seolah masih bisa lebih aneh lagi, aku melihat lebih banyak cahaya daripada yang seharusnya. Saat pandangan mataku kemudian berangsur normal, angin berhembus meniup helai rambut peraknya.

Satu detik. Hanya satu detik yang kubutuhkan untuk sadar bahwa dia adalah sosok itu.

Satu detik berlalu dan kegelapan akhirnya merenggut kesadaranku. Pria itu menggumamkan sesuatu dengan suara panik tapi aku tidak bisa menangkap apa yang ia katakan.

***

Saat aku bertanya pada Floe bagaimana rasanya jatuh sakit sampai harus istirahat penuh di tempat tidur selama beberapa hari, aku tidak bercanda dengan mengharapkan suatu hari aku akan merasakannya juga, mengingat seumur-umur aku tidak pernah terserang penyakit apapun bahkan untuk sekedar flu ringan.

Sekarang setelah aku mengalaminya sendiri, harusnya aku tidak se-iri itu pada Floe. Sakit ternyata sangat tidak enak. Seluruh tubuhku lemas dan rasanya seolah aku tidak akan bisa bangkit lagi dari tempat tidur yang mulai membuatku tidak nyaman ini.

Sudah dua hari berlalu sejak kejadian itu. Aku masih bertahan dengan kebohonganku pada bibi Lim, Ryuu, dan Reese bahwa aku hanya terserang demam. Mereka tentu saja tidak percaya, tapi melihat betapa tidak bertenaganya aku saat itu, tidak ada yang tega memarahiku dan menanyakan lebih lanjut. Aku tahu mereka belum menyerah sampai aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa aku bisa ditemukan pingsan di depan pintu rumah dan tidak siuman hingga nyaris 24 jam.

Alasan sebenarnya aku mengelak adalah karena aku belum mendapat ide cerita apapun untuk penjelasanku. Tidak mungkin aku menceritakan yang sebenarnya pada bibi Lim, Reese, ataupun Ryuu. Mereka akan menganggapku mengidap kelainan mental jika nekat berterus terang. Apa yang terjadi waktu itu sama sekali tidak bisa diterima logika. Aku jelas dalam keadaan sehat sebelum bertemu dengan pria itu. Aku bahkan dalam mood yang sangat baik. Jadi sungguh tidak masuk akal jika aku tiba-tiba sakit dalam artian medis. Tapi lebih tidak masuk akal lagi jika semua yang terjadi ada hubungannya dengan hal mistis atau supranatural.

Aku bergidik. Pemikiran mengenai dua hal tadi membuatku mendadak jadi ngeri sendiri.

Bagaimana kalau memang itu yang sebenarnya terjadi? Aku terkena semacam kutukan aneh!

Tidak tidak tidak. Kubantah pikiran itu cepat-cepat. Selama ini aku tidak percaya dengan hal-hal seperti itu, jadi kenapa juga harus sekarang aku jadi begitu konyol.

Menghela nafas pelan, aku beralih menatap jam dinding di seberang tempat tidur. Sudah pukul tujuh malam. Rupanya aku sudah tidur terlalu lama. Sebentar lagi seseorang pasti akan datang untuk mengantar makan malamku. Dan benar saja. Pintu kamarku terbuka lambat-lambat. Mungkin siapapun itu yang berada dibaliknya, mengira aku masih tidur.

"Oh kau sudah bangun rupanya, Ken!" Ryuu melangkah memasuki kamar setelah sempat terkejut melihatku duduk bersandar pada bantal-bantal yang telah kususun tinggi. Aku tersenyum. Awalnya ingin meyakinkannya kalau kondisiku sudah lebih baik, tapi bahkan tanpa cermin pun aku tahu senyumku terlihat menyedihkan.

Ryuu tidak membalas senyumku. Dia hanya berjalan ke arahku dengan langkah gontai. Kulihat wajahnya kusut seolah ada sesuatu yang sangat serius sedang terjadi. Aku tidak mau memikirkan bahwa sesuatu yang serius itu ada hubungannya dengan keadaanku.

"Sudah mendingan?" tanya Ryuu dengan suaranya yang terdengar sangat frustasi. Ryuu meletakkan nampan makanan yang dibawanya ke atas meja nakas di samping tempat tidurku. Tangannya kemudian terangkat membelai lembut kepalaku beberapa kali sebelum akhirmya ia duduk di pinggir tempat tidur. Mata ambernya menatapku sedemikian rupa. Aku mengangguk sedikit tapi kemudian tertangkap olehku sesuatu yang berbahaya dalam tatapan Ryuu, "Tidak terlalu," jawabku jujur akhirnya.

"Kau tahu kau berhutang penjelasan padaku, Keniezy." Dia menghela nafas pelan. Aku sadar bahwa sebentar lagi aku akan mulai membeberkan semuanya. Aku tidak pernah bisa berbohong pada Ryuu. Apalagi jika ia sudah memanggil nama depanku dengan lengkap begitu.

Kini ganti aku yang menghela nafas. Mungkin memang sudah seharusnya aku jujur, setidaknya pada Ryuu. Dia yang terlihat sangat panik saat pertama kali aku membuka mata. Rambutnya acak-acakan seolah sudah terlalu sering diremas sembarangan. Mungkin memang benar itu yang dilakukannya selama aku tidak sadarkan diri.

"Sebenarnya kalau bisa, aku tidak ingin menceritakan ini. Aku benar-benar tidak yakin dengan apa yang terjadi Ryuu," kataku memulai. Ryuu tetap diam, memberi isyarat bahwa dia sudah tidak bisa bertoleransi lagi.

Aku ikut diam sesaat. Memikirkan ulang semuanya. Aku teringat pesta kejutan yang telah kurencanakan untuk merayakan ulang tahun Ryuu. Usahaku mematuhi peraturan dan bersikap baik akan jadi sia-sia jika aku tetap tidak menjelaskannya sekarang. Aku bisa melihat Ryuu sudah berubah seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja jika aku tidak mematuhinya. Dia benci sekali kalau aku sudah main rahasia-rahasiaan.

Akhirnya aku menghela nafas lagi sebelum mulai menceritakan segalanya. Aku tidak terlalu hebat dalam menggambarkan bagaimana perasaanku yang sebenarnya saat hal aneh itu terjadi, tapi Ryuu tampak mengerti dengan baik setiap penjelasan yang keluar dari mulutku. Anehnya dia bukannya menatapku seolah aku sudah mulai gila, tetapi ekspresinya malah terlihat tegang. Semakin aku berusaha menjabarkan dan menggambarkan detail yang terjadi, semakin kaku bahasa tubuhnya dan matanya memancarkan ketakutan mendalam.

"Ryuu...?" tanyaku ragu-ragu saat melihat tangannya mengepal erat. Menghentikan sementara ceritaku yang baru sampai pada kejadian dimana mataku dipenuhi cahaya.

Ryuu berdiri dengan tiba-tiba, bersamaan dengan cahaya silau yang mendadak jatuh ke dalam pandanganku. Aku mengusap kedua mataku perlahan sebelum membukanya kembali dan mendapati Ryuu terbelalak kaget menatap ke arahku.

"Ada apa Ryuu? Kau mulai membuatku takut," tanyaku, curiga dengan tingkah Ryuu yang tidak biasa. Aku tidak pernah melihat ekspresi seperti ini sekalipun di wajahnya. Ada sesuatu yang tidak beres disini.

"Ryuu, apa Zyzy sudah ba..." kalimat Reese yang baru saja bergabung di dalam kamarku terpotong sebelum mencapai tanda tanya. Dia rupanya langsung menyadari bahwa ada yang aneh dengan Ryuu. Reese menatap tajam pada Ryuu yang sudah berpaling padanya. Dia belum melihat ke arahku sama sekali sejak masuk kamar. Tangannya menggapai pundak Ryuu dan aku tahu arti tatapannya. Bertanya-tanya.

"Ambilkan obat Kenzy, Reese!" kata Ryuu dengan intonasi memerintah yang tajam. Reese segera berbalik, lagi-lagi tanpa sempat melihat padaku.

Keanehan ini sudah semakin menjadi-jadi. Sebelum ini, Reese tidak akan pernah mau diam begitu saja saat seseorang seenaknya memerintah-merintah dirinya. Dan seingatku, Ryuu tidak pernah bersikap sekasar itu pada siapapun. Jadi apa yang kulihat saat ini adalah kejadian yang sangat langka.

"Berbaringlah dan tunggu Reese datang membawakan obat dan vitaminmu. Langsung minum, lalu habiskan makan malammu. Jangan meninggalkan kamar sampai aku kembali," kata Ryuu cepat. Dia buru-buru menunduk mencium keningku dan kemudian bergegas meninggalkan kamar sebelum aku sempat protes.

Kuhempaskan tubuhku kembali berbaring di atas kasur. Tingkah aneh Ryuu dan Reese menyita pikiranku. Sifat ingin tahuku rasanya sudah ingin berteriak kencang, meminta seseorang memberikan penjelasan. Aku menutup mata sambil menenangkan diri. Terlalu banyak keanehan yang terjadi hingga membuat emosiku labil. Entah kenapa aku sadar bahwa kunci dari semua ini adalah pria misterius itu.

Aku yakin memang dialah sosok yang sudah menyelamatkanku tiga tahun lalu. Rambut peraknya begitu familiar. Sudah ratusan kali aku melihat rambut itu dalam mimpi-mimpi anehku. Kini sudah jelas bagiku bagaimana parasnya. Seperti dugaanku setiap bangun tidur, pria itu memang tampan. Sangat. Aku tidak menyangka kalau bukan hanya rambutnya saja yang berwarna perak, tapi juga kedua bola matanya. Aku ingat bagaimana rasanya ketika bertukar pandang dengan kedua perak itu.

Tak tertahankan.

Aku jadi penasaran apakah semua orang berbola mata perak memang memberikan efek seperti itu. Tapi rasa-rasanya aku belum pernah melihat ada orang lain yang mempunyai bola mata perak seperti yang dimilikinya.

Dari sudut mata, kulihat pintu kamar terbuka lagi. Reese melangkah ke dalam sambil menatap tajam. Tapi pandangan kaget yang segera ia sembunyikan, sudah lebih dulu tertangkap mataku. Mungkin ini makin menambahkan kaenahan yang jumlahnya sudah menggunung, tapi rasanya ketajaman mataku meningkat drastis. Astaga.

"Hai Reese," Aku mencoba menyapa singkat gadis itu. Aku tahu kenapa ia menatapku tajam. Pastilah sebelum aku sadar, Ryuu sudah memarahinya habis-habisan. Aku jadi merasa bersalah padanya. Yah, ini memang salahku. Dia sudah memperingatkanku untuk langsung pulang, jadi aku akan menjelaskan hal ini nanti pada Ryuu supaya ia bisa minta maaf pada Reese.

"Tidak bisakah kau sehari saja bersikap patuh? Harusnya kejadian tiga tahun lalu menjadi peringatan bagimu!" Aku tidak terkejut dengan omelan Reese yang mengungkit peristiwa itu. Aku sudah sangat mengenal dirinya, termasuk sikap hati-hati yang sangat bertolak belakang dengan diriku yang cendrung teledor.

"Maafkan aku Reese. Aku tahu Ryuu pasti heboh kan?" aku menatapnya memelas. Begini-begini aku cukup bertanggung jawab atas seluruh masalah yang bersumber dariku. Reese menjentikkan jari telunjuknya ke keningku. Itu pertanda. Dia sudah memaafkanku. Semudah itu. Harus kuakui aku agak iri dengan sifat mudah-memaafkan-nya.

"Aku sudah mendengarnya sekilas dari Ryuu. Jadi apa kau segitu tidak terbiasanya melihat pria tampan sampai jadi terlalu shock dan sakit seperti ini?!"

Oh baiklah, sikap menyebalkannya masih terlalu mendominasi. Aku mendengus, tahu ia tidak serius dengan ucapannya tapi tetap saja sindirannya membuat moodku makin rusak.

"Ini, minum dulu obatmu!" katanya.

Reese menyodorkan sebuah pil berbentuk aneh dan segelas air putih padaku. Aku segera meminumnya, tidak ingin membuat masalah baru untuk Reese. Setelah tegukan air melewati tenggorokanku, dia mengambil obat lain. Itu vitamin yang sudah sering kukonsumsi. Seingatku, sudah dari umur 5 tahun aku meminumnya.

"Reese, boleh aku bertanya sesuatu?" aku memulai. Dia tampak berpikir sesaat, mungkin menimbang apakah kira-kira pertanyaanku akan menyusahkannya. Sesaat kemudian kulihat ia mengangguk kecil.

Aku berdeham pelan. Bisa kurasakan wajahku memanas. Ini akan jadi sangat memalukan mengingat aku bertanya pada orang seperti Reese. Tapi aku tidak bisa menunggu sampai aku bisa bertemu Floe. Bisa saja besok aku masih terlalu lemas untuk berangkat sekolah.

"Apa?!" tanya Reese tak sabar karena aku masih diam.

"Do you think love at the first sight does exist?" tanyaku benar-benar merasa malu. Wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus saking merahnya. Reese melongo menatapku. Tidak kusangka tanggapannya akan se-fantastis itu. Apa pertanyaanku sebegitu cheesy nya.

"Oh jangan katakan kau jatuh cinta pada laki-laki yang kau ceritakan pada Ryuu itu!" Reese menyipitkan mata memandangku dengan ekspresi yang-benar-saja-girl-kau-pasti-bercanda.

Aku mendengus. Yeah, yang benar saja, masa ia curiga kalau orang sepertiku akan menjadi sosok yang sangat melankolis seperti itu. "Aku hanya bertanya, Reese! Tidak ada maksud lain. Dan tidak. Aku tidak senaif itu hingga jatuh cinta karena suatu kejadian aneh yang agak diluar logika. Aku bukan drama queen!"

Aku memutar bola mata dengan gaya dramatis seperti yang seringkali kulakukan saat Floe bersikap terlalu mendramatisir. Tidak kusangka aku akan melalakukan kebiasaan itu di depan Reese. Dia 'kan biasanya selalu bisa bersikap rasional.

"Jadi apa maksud pertanyaanmu itu huh? Kedengaran mencurigakan karena kau menanyakannya tiba-tiba seperti ini, jadi jangan salahkan aku yang mengambil kesimpulan seperti itu."

"Jadi begini, sebenarnya aku penasaran apa mungkin tanpa sadar aku sudah jatuh cinta pada pria itu saat pertama kali dia menyalamatkanku. Karena setelah kupukirkan lagi, bukankah aneh kalau selama tiga tahun ini aku selalu bermimpi tentangnya? Tapi aku yakin rasanya aku tidak memiliki tanda-tanda orang sedang jatuh cinta seperti yang ada dibuku-buku atau film. Makanya aku menanyakan pendapatmu," kataku panjang lebar.

Reese terdiam seperti sedang melamun. Sebal juga jadinya. Masa hanya itu yang bisa dia berikan sebagai tanggapan? Hebat sekali. Aku jadi rugi sudah bertanya hal yang memalukan.

"Kau... apa?"

Pertanyaan Reese yang benar-benar terdengar sangat bodoh itu membuatku tidak bisa bertahan untuk tidak memutar bola mata lagi.

"Tunggu tunggu..." katanya cepat sebelum aku sempat melontarkan komentar sinis apapun. Tangannya terangkat ke depan wajahku, memberi isyarat bahwa ia sedang memikirkan sesuatu dan aku jelas dilarang mengganggu. Astaga. Aku benar-benar salah memilih orang. Rasanya tubuhku jadi makin lelah saja.

Setelah beberapa detik aku diam dan menunggu akhirnya aku memutuskan akan menyuruhnya keluar, tapi tidak jadi saat kulihat matanya melebar horor. Aku sampai membalikkan kepalaku ke belakang, mengira mungkin ada hantu atau semacamnya yang muncul tiba-tiba di belakangku.

"KAU BERMIMPI TENTANG LAKI-LAKI ITU! SELAMA TIGA TAHUN INI?!" teriakan histeris Reese yang sangat tiba-tiba, kontan membungkam segala protes yang tadi ingin kuucapkan. Aku menatapnya tidak tahu harus menjawab apa. Aku lupa kalau aku tidak pernah menceritakan perihal mimpi itu pada siapapun.

"Jawab aku Zyzy!" kali ini Reese berbicara dengan suara yang lebih rendah. Aku mengangguk, menjawab pertanyaan hebohnya tadi. Heran apa sebenarnya yang begitu mengejutkan. Aku tahu memimpikan orang asing secara terus menerus selama bertahun-tahun memang sangat tidak masuk akal, tapi kurasa hal itu bukan alasan kuat untuk menjadikan Reese bersikap so out of character seperti saat ini.

"Lalu kenapa kau tidak pernah menceritakannya padaku atau Ryuu? atau Florent?"

Baiklah sekarang aku benar-benar bingung. Apa menceritakan mimpi juga adalah suatu keharusan?

"Aku tidak melihat ada poin penting dimana aku perlu menceritakan setiap mimpi-mimpiku pada kalian," jelasku dengan intonasi penuh kebingungan. Reese menghela nafas. Bagiku terlihat sepeti berusaha menenangkan diri. Dan aku jelas tidak tahu kenapa dia harus sebegitu senewennya hanya karena mimpiku.

"Makanlah. Aku perlu mencari Ryuu," kata Reese kemudian. Ia beranjak dari tempat tidurku.

"Terjadi sesuatu 'kan? Aku bisa merasakan kalian sedang menyembunyikan sesuatu dariku," bisikku gusar saat tangan Reese sudah mencapai gagang pintu kamar. Aku yakin dia mendengar perkataanku tapi ia tidak menanggapinya dan hanya berjalan keluar setelah sebelumnya mengucapkan, "Makan dan istirahatlah Zyzy."

Aku sepenuhnya yakin pasti ada sesuatu yang salah. Jelas ada yang mereka sembunyikan dariku, dan aku tidak akan diam saja tanpa mencari tahu. Mereka lupa sifatku seperti apa.

Perlahan aku menjangkau piring berisi makan malamku. Kugeser sedikit sandaran pada tumpukan bantal, menyamankan posisi lalu mulai menyantap makan malam. Rasa penasaran selalu berhasil membuatku menjadi sangat lapar. Aku akan memikirkan cara memuaskan rasa ingin tahuku besok. Untuk malam ini Reese ada benarnya, yang kubutuhkan adalah makan dan istirahat. Otak dan tubuhku yang masih dalam kondisi 'sakit' sudah terlalu banyak kujejalkan masalah.

Aku yakin aku baru tertidur satu atau dua jam saat semilir angin berhembus pelan membelai wajahku, seketika membuatku tersentak bangun. Mataku mengerjap pelan saat kusadari ada sebuah bayangan yang jatuh menimpa tubuhku. Bisa kurasakan kehadiran seseorang di belakangku yang masih dalam posisi menyamping membelakangi jendela menuju balkon.

Kalau ini adalah sebuah kesialan lain akibat mimpi anehku tiga hari yang lalu, maka aku akan mengutuk pria misterius itu habis-habisan.

Angin malam yang dingin berhembus lagi, membuat bulu halus di tengkukku berdiri. Sosok yang kutahu sedang berdiri di beranda pastilah masih berada di sana dan sedang memandangiku. Aku tidak boleh ceroboh dalam situasi seperti ini. Bisa saja dia adalah maling bodoh yang kebetulan sangat beruntung karena menemukan calon korban yang sedang sakit sepertiku.

Aku cukup hebat dalam beberapa bidang seni beladiri, tapi aku tahu dengan kondisiku saat ini, aku tidak akan bisa memberikan perlawanan berarti. Kuakui tubuhku terasa jauh lebih baik daripada beberapa jam lalu. Tapi hal itu tidak mengurangi fakta bahwa kepalaku berdenyut agak menyakitkan, dan untuk beberapa alasan aku membutuhkan bantuan seseorang jika ingin berdiri.

"Aku tahu kau terbangun. Maaf aku tidak bermaksud, tapi jujur saja aku cukup senang karena akhirnya aku akan bisa berbincang denganmu."

Suara itu mengagetkanku. Aku mengenalinya meski hanya sempat mendengarnya dengan hitungan jari di satu tangan, walau begitu aku sadar betul tebakanku benar adanya. Tapi tidak mungkin kan saat ini dia berada di kamarku? Kugelengkan kepalaku pelan. Berusaha membuat otakku berpikir logis. Tapi kemudian aku ingat. Mungkin saja memang dia yang berada di kamarku. Faktanya, dialah yang mengantarku ke rumah tiga hari yang lalu. Jika hal tidak mungkin itu saja bisa menjadi mungkin, apa bedanya dengan sekarang. Dia pastilah–entah bagaimana–tahu dimana kamarku.

"K...kau... bagaimana bisa kau berada di sini?" Tanyaku akhirnya. Suarku bergetar, tapi aku harus memastikan bahwa sosok yang tengah berdiri di belakang itu bukanlah orang jahat. Jika aku berteriak sekarang, dan Ryuu bergegas datang, maka pria ini tidak akan keluar dalam keadaan baik-baik saja.

"Aku ingin memastikan kondisimu sudah lebih baik sebelum menemui ayahku," katanya tanpa menjawab pertanyaanku.

Ada yang aneh dengan susunan kalimatnya. Apa hubungannya kondisi kesehatanku dengan ayahnya?

"Jadi bisakah kau berbalik sehingga aku bisa melihat wajahmu?" Lanjutnya lagi. Aku bisa mendengar langkahnya yang berjalan semakin dekat ke tempat tidur. Aku perlu segera menentukan apakah aku harus berteriak atau mengikuti ucapannya dan berbalik.

Pilihanku jatuh pada opsi kedua. Aku terlalu penasaran dengannya untuk sekedar berhati-hati. Dengan perlahan kuangkat tubuhku dari kasur, kembali memposisikan diri duduk dengan sandaran bantal kemudian kupalingkan wajahku padanya.

Hatiku mencelos. Bukan dia. Bukan Pria dengan rambut dan bola mata perak yang menolongku tiga tahun dan tiga hari yang lalu. Bukan.

Segera saja aku hendak berteriak, tapi sebelum aku sempat melakukannya, tangan pria itu menutup mulutku. Aku ingin berontak, tapi sesuatu dalam tatapan matanya yang tajam namun lembut menahanku seketika. Ini tidak mungkin. Wajahnya persis seperti yang kuingat. Dia memang pria misterius itu. Wajah yang sama. Tapi dimana rambut dan bola mata peraknya yang seakan menyihirku? Yang kulihat saat ini adalah seorang pria dengan wajah yang sama dengan penolongku, tapi rambutnya berwarna cokelat gelap nyaris hitam dan bola matanya hazel.

"K-kau siapa?!" Tanyaku saat dia sudah menarik tangannya dari wajahku, mungkin dia tahu aku tidak akan mencoba berteriak lagi.

"Konteks pertanyaanmu agak aneh jika itu dimaksudkan untuk menanyakan namaku. Mengingat aku sudah beberapa kali menolongmu." Pria itu terkekeh dan aku merasa aman seketika. Tapi tentu saja itu tidak mengurangi rasa terkejutku mendengar penuturannya.

"Kau bukan orang yang menolongku. Warna rambut dan bola mata kalian tidak sama!" protesku. Tatapannya menajam. Ada kemarahan yang tiba-tiba bangkit dalam diri pria itu. Aku bisa melihat bagaimana ia berusaha keras mengendalikan emosi walaupun wajahnya masih menampilkan cengiran sopan yang sama. Aneh, harusnya dia tak semarah itu karena ucapanku. Kulihat kedua tangannya mengepal erat seperti sedang berperang dengan batinnya sendiri. Kemudian secepat kemarahan itu datang, secepat itu pula tatapan tajamnya sudah kembali menatapku tegas tapi penuh kerinduan.

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan dear, tapi aku masih sosok yang sama. Jangankan perak, aku bahkan tidak ingat pernah menggantinya dengan abu-abu," katanya sembari mendengus seolah aku benar-benar sudah mengatakan sesuatu yang sangat konyol.

"Kalau begitu, boleh aku tahu namamu? Dan kenapa kau bisa tahu dimana rumahku?" kuputuskan untuk mengenyampingkan masalah warna rambut dan matanya sebentar. Aku juga sangat penasaran tentang hal-hal lain yang berhubungan dengannya.

Dia menghela nafas dan kemudian berjalan mundur menjauhi kasur. Hampir saja aku meraih tangannya karena kukira ia akan pergi tanpa penjelasan apapun. Tapi aku melihatnya bersandar pada dinding di samping jendela kamar, di dekat meja belajarku. Dia memperhatikanku sejenak. Kedua tangannya berada dalam saku.

"Aku Althra Knighton," katanya singkat tanpa menjawab pertanyaanku yang lain. Aku balas dengan terus menatapnya tanpa menanggapi apapun, sebagai bentuk protes karena pertanyaanku belum dijawab seluruhnya. Dia menghela nafas lagi. Mungkin seketika frustasi mendapati fakta bahwa aku adalah sosok keras kepala yang tidak mau mengalah.

"Untuk sekarang, aku tidak bisa memberitahumu bagaimana aku bisa tahu alamat rumahmu. Mungkin kau harus sedikit lebih sabar mengenai itu."

"Ada pertanyaan lagi?" lanjutnya bertanya. Mungkin ia melihat ekspresiku yang curiga dan penuh selidik. Ryuu selalu bilang keingintahuanku pada segala hal sangat mudah dibaca dari ekspresi wajahku.

"Ya," kataku cepat. "Kenapa kau menolongku tiga tahun lalu, Mr. Knighton?"

"Jangan panggil aku begitu!" tegurnya tajam. Aku bisa melihat amarahnya yang kembali bergejolak, tapi itu tidak berlangsung lama karena ia kemudian melanjutkan, "Itu pertanyaan gampang. Mudah saja, tidak mungkin kan seorang pria gentleman sepertiku membiarkan seorang gadis yang berdiri di dekatnya tertabrak begitu saja." kelakarnya dengan nada sinis yang sedikit angkuh.

Rupanya dia orang aneh yang gampang gonta-ganti karakter. Beberapa detik dia terlihat ramah dan hangat dengan kekehannya yang berat sekaligus merdu. Kemudian ia bisa berubah ganas pada detik berikutnya. Dan kini ia terlihat seperti sosok angkuh yang mati kebosanan.

"Sudah selesai pertanyaannya? Kalau begitu aku pergi dulu. Sebenarnya aku agak diburu waktu."

Aku tersentak kaget saat melihat ia melurusukan diri dan hendak berjalan menuju jendela yang terbuka lebar, "Tunggu!" teriakku pelan, lebih terdengar panik daripada yang seharusnya. Dia berbalik lagi menghadapku, dengan pandangan menunggu yang sabar.

"Apa kau sudah mengenalku sebelum tiga hari lalu saat kita bertabrakan?" aku menilai gerak-geriknya dengan seksama. Dia gugup. Berarti ya, dia sudah kenal aku walaupun aku yakin belum berkenalan dengannya.

"Kita bisa bahas itu lain kali," tandasnya. Aku kontan melongo. Kalau aku tidak salah mengartikan, itu berarti dia memang berjanji akan menemuiku lagi.

"Kita akan bertemu lagi?" tanyaku memastikan. "Tentu saja," tanggapnya dengan tegas seolah baginya pertanyaanku seharusnya tidak perlu disuarakan karena jawabannya sudah pasti hanya satu.

Aku mengangguk kecil. Memikirkan mungkin untuk 'lain kali' itu, aku bisa memaksanya mengaku kenapa dua kali kami bertemu sebelumnya rambut dan matanya berwarna perak sedangkan sekarang tidak. Aku juga harus mendapatkan jawaban dari mana ia bisa mengenalku dan tahu alamat rumahku.

"Kalau begitu aku pergi dulu, Kenzy." Jantungku berdetak lebih cepat saat namaku lolos dari bibirnya. Ada sesuatu yang membuatku ingin ia mengucapkannya lagi dan lagi.

Dia melanjutkan langkahnya menuju balkon kamar. Berbalik membelakangiku ketika mengambil ancang-ancang melompat keluar. Kamarku berada di lantai 2, tapi aku tahu ada tanaman sulur yang bisa dipakai untuk memanjat. Aku sering menggunakan tanaman itu untuk keluar dari kamar tanpa sepengetahuan seisi rumah. Jadi aku tidak merasa perlu mencemaskan pria yang kini melirikku dari balik punggungnya itu.

"Sampai jumpa lagi, Althra," bisikku pelan tapi cukup keras untuk sampai ke jarak pendengarannya.

Dia bergumam sesuatu sebagai balasan ucapanku tapi aku tidak bisa dengar apa itu. Mungkin ia juga mengatakan "sampai jumpa lagi" walaupun aku tidak yakin karena kalimatnya terlihat lebih panjang dari itu. Tapi ya sudahlah, pasti bukan sesuatu yang penting.

Althra –namanya terasa sangat pas untuk kuucapkan– melompat kecil dari pembatas balkon kamar. Bayangannya yang panjang menghilang karena pada saat yang sama bulan yang persis berada di langit arah jendela kamarku, tertutup kumpulan awan.