–ALTHRA
Perjalanan ke pack membuatku sangat gusar. Tidak kusangka keterbatasan dalam menempuh perjalanan jauh, bisa membuatku sefrustasi ini. Sudah dua hari berlalu sejak aku dan Roudan berangkat, tapi kami bahkan belum sampai ke Perbatasan Kedua. Kalau saja aku sudah bisa berubah kedalam wujud Lychan, maka aku pasti akan bisa terhindar dari semua hal mengenaskan ini. Aku hanya perlu berlari dengan kecepatan penuh lalu akan sampai dalam satu setengah hari di kawasan bangsaku.
"Harusnya aku tetap menolak usulmu!" dengan marah kulempar ranting pohon yang ada di dekatku pada Roudan. Dia berpaling menghadapku dengan senyum bersalah, tahu bahwa aku sedang sangat tidak ingin dibantah –untuk alasan apapun, oleh siapapun.
Bayangan wajah Kenzy yang masih sangat pucat saat terakhir kali kutemui dua malam lalu di kamarnya, lagi-lagi menghatam ingatanku dengan berbagai cara yang amat menyakitkan, menghantuiku bahkan tanpa aku perlu memasuki alam mimpi. Aku pasti sudah gila karena bisa-bisanya meninggalkan gadisku begitu saja padahal aku tahu dia sedang sakit keras.
Shit! Apa yang sebenarnya terjadi?!
Sudah tidak terhitung berapa kali kupaksa otakku untuk mengulang kembali adegan aneh –sekaligus membuatku ngeri luar biasa– empat hari lalu yang menimpa gadisku, menganalisis setiap kemungkinan yang terjadi, mengobrak-abrik isi kepalaku sendiri untuk memutar kembali ingatan mengenai pelajaran wajib para manusia serigala yang pernah kuterima dulu tentang mate. Tapi kenyataannya tetap tidak ada penjelasan atau kesimpulan apapun yang bisa kutemukan.
Kenzy berasal dari Greendeal. Untuk hal itu aku bisa memastikannya. Tapi kenapa fakta ini bisa luput dari tiga tahun pengamatanku?
Selepas beberapa saat hanya berjalan dalam diam, Roudan menyikut pinggangku pelan. Aku menggedikkan kepala, memberi isyarat bahwa aku memperhatikan dan siap mendengar apapun ocehan sang tukang mengeluh.
"Menurutmu Kenzy salah satu dari kita?" pertanyaan membuatku terdiam cukup lama.
"Dia bukan Lychantrope kalau itu maksudmu," kataku. "Tapi sudah pasti dia juga berasal dari Greendeal."
Pembicaraan yang baru saja dimulai langsung terhenti begitu saja, perbatasan gerbang sihir tepat berada di hadapan kami. Segera saja kuulurkan tangan ke depan dan garis sihir yang semula tidak tampak, langsung muncul di permukaan tanah terus menjalar hingga ke atas, membentuk sebuah pintu gerbang yang bersinar. Kami melangkah masuk dan seperti biasa, sensasi berpindah tempat yang sangat memusingkan terjadi.
"Ini bagian yang selalu tidak kusuka." Roudan mengacak rambutnya.
Meski belum pernah merasakan sendiri bagaimana Perubahan itu, sedikit-banyak aku paham apa yang membuat Roudan kesal. Sebagai makhluk darat, serigala senang dengan tanah keras yang berada di telapak kakinya, mencintai segala bentuk kehidupan dan kepastian yang kokoh. Jadi melewati sebuah gerbang semu yang membuatmu merasa melayang tanpa pijakan, pastilah memberikan ketidaknyamanan tersendiri baginya.
"Jangan protes sekarang. Kita harus melewati ini lagi segera setalah urusan dengan Lachlan selesai." Kuingatkan dia sambil mulai berlari melintasi sisi barat Greendeal yang baru saja dihadirkan secara magis hanya dengan melewati salah satu gerbang sihir pembatas. Wajah gadisku tiba-tiba saja terbayang dalam kepalaku dengan sangat jelas. Aku merindukannya dan lebih dari segala hal, mencemaskannya.
Roudan berlari menyusulku dengan mudah. Dia bisa saja berlari lebih dulu atau berubah kedalam wujud serigalanya, tapi kulihat tidak ada tanda-tanda dia akan melakukan hal itu. Sebenarnya aku agak berterimakasih dengan kehatian-hatian Roudan dalam menjaga perasaanku. Meskipun aku mengatakan bahwa aku tidak peduli dengan keterlambatan perubahanku, toh pada akhirnya aku memang merasa iri pada saat teman-temanku dalam wujud makhluk berbulu lebatnya.
Dibanding yang lain, Roudan memang termasuk lychan yang jarang berubah kecuali pada saat bertugas menjaga perbatasan atau berpatroli. Dia lebih sering menghabiskan waktu berlatih fisik denganku. Walaupun tidak pernah mengatakannya, tapi aku tahu hal itu ia lakukan karena ingin menjagaku. Sebagai calon Alpha, menjadi salah satu sosok yang paling tidak berdaya adalah sebuah malapetaka tersendiri bagiku. Daripada yang lain, akulah yang lebih sering diincar bahaya. Jika kupikir-pikir lagi, mungkin inilah alasan kenapa Lachlan bersikeras aku menemukan mate dengan segera.
"Jadi, menurutmu Kenzy itu keturunan apa?" Roudan melompat ringan menghindari dua pohon besar tumbang yang berhimpitan dengan posisi aneh. Pertanyaannya tidak kugubris untuk beberapa saat. Memikirkan beberapa hal untuk dapat melontarkan jawaban yang mungkin mendekati jawaban sebenarnya, sambil mulai mempercepat langkah, efek alami dari pengetahuan mendasar bahwa jarak pack semakin dekat untuk dapat memanggil perasaan terikat purba yang sudah mendarah daging dengan sebutan rumah.
Kami tidak menemukan keganjilan selain hawa suram sementara bergegas melewati Hutan Mati. Wilayah barat Greendeal tidak seramai wilayah utara yang menampung berbagai macam ras dan klan yang dalam suatu waktu hidup berdampingan tapi juga saling menghancurkan. Wilayah barat sudah seperti sebuah kerajaan besar dibentengi dinding beton menandakan tingkat posesif besar atas status kepemlikan. Dimana kerajaannya terdiri atas gabungan kumpulan makhluk setengah manusia bertemperamen tinggi serta para penyendiri yang lebih suka berkutat dengan cairan rumit di atas kuali. Bentengnya sendiri berupa pagar makhluk berbulu dan bertaring, hasil perubahan sekejab dari para pemarah tersebut.
"Siapa selain kita yang memiliki suhu setinggi itu?" balasku akhirnya membuka kemungkinan tambahan jawaban untuk beberapa nama yang sudah terpatri dalam kepalaku. Stymphalia, Goblin, Dragon, Phoenix, Kraulis. Siapa lagi? dua yang pertama jelas tidak mungkin. Gadisku terlalu baik untuk terlahir dalam garis keturunan terkutuk semacam Stymphalia, dan dia terlalu cantik untuk disebut Goblin. Aku juga tidak yakin ada darah Dragon mangalir dalam tubuh Kenzy mengingat Dragon terkenal sebagai makhluk goa yang hampir selalu tidak pernah meninggalkan kediamannya. Phoenix, lain cerita, makhluk itu bahkan rasanya tidak pernah ada.
"Kraulis?" perkataan Roudan seperti menyuarakan pikiranku yang sedang sibuk menganalisis. "Tapi bukannya Kraulis sudah tidak ada lagi?" lanjut Roudan tanpa menunggu tanggapanku. Berspekulasi sendiri.
"Althra! Roudan!"
Seruan keras dari kejauhan yang sarat akan kegembiraan itu, seketika memutuskan pembicaraanku dan Roudan. Seorang pemuda berlari kearah kami, cengiran lebar di wajahnya menyambut langkahku dan Roudan yang tanpa sadar ternyata telah memasuki kawasan luar pack utama. Sebuah lolongan serigala memecah kesunyian hutan. Bisa kuartikan bahwa itu adalah pemberitahuan untuk semua orang di pack bahwa aku telah kembali.
"Hei sobat!" tanganku menyambut rangkulan Cave. Dia terkekeh senang sambil menepuk punggungku beberapa kali. Kupaksa membalas senyumnya.
"Kalian pulang lebih cepat! Aku merindukan kalian, tidak ada yang menarik di pack setiap bokong kalian jauh dari sini," katanya sambil tertawa renyah. Cave adalah teman dekatku yang lain.
Setelah melapaskan pelukannya dariku, Cave ganti memeluk Roudan dengan tawa renyah yang sama. Diantara kami memang Cave yang paling bersikap seperti tanpa beban, mengalahkan sifat Roudan yang easy going. Dimata Cave, dunia adalah tempat untuk bersenang-senang, tidak ada waktu untuk bermuram durja.
"Jadi hanya kau yang menjemput?" tanyaku dengan volume suara yang sedikit dikeraskan. Aku tahu ada seseorang yang berdiri dibalik bayang-bayang pepohonan, mengawasi kami.
"Aku selalu heran kenapa lychan yang belum pernah berubah sepertimu, bisa punya insting setajam itu." Douglas berjalan keluar dari tempat persembunyian. Dia mendengus sedikit, seolah kesal tapi terus berjalan menghampiriku, Roudan, dan Cave.
"Kau memang harus sering-sering diingatkan bahwa aku adalah calon Alpha pack utama," kataku sambil menaikan kedua alis mata dengan tatapan tajam. Segaris senyum terlihat di wajahnya yang datar.
"Apa kabar, Al?" Douglas meninju pundakku pelan lalu menarikku dalam rangkulannya. Bila Cave adalah sosok paling penuh keceriaan di dunia, maka Douglas adalah sebaliknya. Dia cenderung tampak bosan dengan sekelilingnya dan sangat irit bicara kecuali mungkin saat sedang bersama kami. Selalu terlihat serius menanggapi segala hal. Dalam beberapa kesempatan, banyak orang dalam pack sering mengatakan sifatku dengannya mirip satu sama lain.
"Tidak terlalu baik. Kau?" tanyaku.
"Seperti biasa," Jawabnya sambil mengangkat bahu sekilas. 'Seperti biasa' baginya berarti tidak ada masalah dalam pack, keadaan aman dan terkendali. "Dan apa maksudmu dengan tidak terlalu baik? Kau terlihat sehat dimataku."
"Ini tentang Kenzy." Roudan menimpali sebelum aku sempat berkata apa-apa. Alis Douglas dan Cave langsung terangkat tinggi, meminta penjelasan lebih.
"Aku tidak ingin menjelaskannya dua kali, sebaiknya kalian ikut aku saja menemui Alpha," putusku. Douglas dan Cave langsung mengangguk. Keduanya masih dengan wajah penasaran, tidak sabar ingin mendengar kabar tentang Kenzy.
"Alpha pasti sudah menunggumu. Ayo!" Roudan menganggukkan kepalanya ke arah depan, dan aku tahu dia benar. Dengan lolongan tadi, Lachlan pasti sudah tahu aku berada disini. Dia akan berubah cerewet jika aku tidak segera menemuinya. Menunggu adalah hal yang paling dibencinya sejak dulu.
Pack seketika gaduh saat satu persatu teman-temanku menyadari keberadaanku yang sudah memasuki kawasan mansion utama. Beberapa menit kuhabiskan dengan terdorong kesana kemari, dirangkul atau sekadar menerima tepukan ringan "selamat datang kembali" di pack. Dengan enggan harus kuakui, ternyata memang tidak akan pernah bisa menghilangkan kerinduan akan suasana heboh ini meski sekalipun tidak pernah kuperlihatkan.
"Selamat datang kembali, son!" suara Lachlan seketika membuat Valisa segera melepaskan pelukannya dan bergegas menggeser posisi agar aku bisa melihat Lachlan dengan leluasa. Pria tua itu membuka kedua tangannya lebar-lebar sambil tersenyum kebapakan. Yeah, disetiap kesempatan dia selalu berhasil membuatku merasa terharu.
"Hai Dad, apa kabar!" bisikku pelan sambil mengahambur perlahan dalam pelukan Lachlan. Ia menepuk punggungku ringan dan terkekeh, "Aku seperti yang kau lihat son. Nah, ayo kita masuk dan mendiskusikan apapun yang ingin kau ceritakan, di dalam. Kau tidak pernah pulang secepat ini sejak tiga tahun lalu!" katanya dengan cengiran menggoda yang–dalam keadaan normal–pasti akan membuat wajahku panas. Tapi mengingat perasaanku sebagian besar masih berkubang dalam kecemasan mengenai Kenzy , aku tidak terlalu terpengaruh dengan ucapannya.
Bersama Roudan, Douglas, dan Cave, aku mengikuti Lachlan memasuki mansion utama.
Sosok mom yang terlihat anggun dengan gaun panjang berwarna peach kesukaannya, menyambut langkahku melewati ambang pintu ganda. Seperti Lachlan beberapa saat lalu, tangan mom terbuka lebar-lebar lengkap dengan senyum menenangkannya yang selalu berhasil membuatku merasa menjelma kembali jadi bocah lima tahun yang tidak bisa lepas dari ibunya. Tapi perasaan ini bukannya tidak kusukai, malah sebaliknya.
"Hai mom." Kubawa wanita yang telah melahirkanku itu ke dalam pelukanku. Satu tangannya mengusap kepalaku dengan lembut. Sepertinya kebiasaan mom yang selalu memperlakukanku seperti anak kecil haus kasih sayang dimanapun dan kapanpun, tidak akan pernah bisa berubah.
"Kau tidak terlihat baik-baik saja," tandas mom seketika saat ia menempatkan tangannya masing-masing di kedua pipiku dan matanya menilik wajahku. Dan sepertinya mom akan selalu menjadi orang yang tidak akan pernah bisa kubohongi.
"Yeah begitulah." Kulepas kedua tangan mom dengan perlahan dan mundur selangkah. Tatapanku jatuh pada Lachlan, "Kurasa kau perlu memanggil beberapa orang Dad."
***
Ruangan tanpa jendela yang hanya diisi satu meja batu panjang dengan belasan kursi itu terasa agak sesak. Tempat duduk paling ujung ditempati, seperti biasa, oleh Lachlan, di sisi kanannya duduk berjejer Beta Vazques, dan para penasehat –aku mendesah lega saat tidak mendapati wajah si tua Pirkis diantara pria keriput lainnya. Aku sendiri sebagai "sang penerus" duduk di sebelah kiri Lachlan, seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Lalu diikuti Roudan, Douglas, dan Cave.
Perdebatan sudah berlangsung kira-kira dari setengah jam lalu sejak aku selesai menceritakan secara detail apa yang terjadi pada Kenzy, lengkap dengan analisa kasarku mengenai status darahnya. Hawa panas memenuhi ruangan tertutup itu seperti tungku besi yang ditaruh di atas bara api. Rupanya kabar yang kubawa cukup ampuh untuk menjadi penyebab perang aura yang sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan segera mendingin.
Beberapa dari para penasehat yang hadir, bersikeras untuk segera melakukan Tes Darah pada Kenzy, yang dalam hal ini langsung kutolak mentah-mentah. Kesampingkan rasa merana yang seketika melandaku saat membayangkan Kenzy harus menanggung rasa sakit jika menjalani tes itu, Tes Darah tidak akan pernah menjadi pilihan pertamaku untuk dilakukan pada siapapun dengan alasan apapun. Tes brutal temuan Pirkis tersebut malah seharusnya tidak pernah ada.
Beberapa penasehat yang tersisa, memilih cara yang agak lebih manusiawi. Daripada harus menjalani Tes Darah yang melibatkan kesakitan fisik dan mental, untuk beberapa minggu kedepan pack mungkin bisa mencoba mengirimkan beberapa lyracle agar dapat mengidentifikasi Kenzy, menggunakan beberapa sihir yang jauh lebih aman. Kali ini bukan aku, tapi Vazques lah yang tidak setuju. Disamping lyracle yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang, agak riskan untuk mengirim lychan yang hanya kuat dalam sihir ramal tetapi lemah dalam pertarungan seperti itu ke dunia manusia. Terlalu beresiko.
"Bagaimana kalau lakukan seperti kesepakatan kita dalam rapat sebelumnya saja, bawa Kenzy ke pack," lanjut Vazques. Tetapi apa yang diusulkannya, menurutku sama sekali tidak membantu.
Lachlan melihat ke arahku, tatapannya menyelidik, mungkin langsung dapat melihat keengganan kental yang kurasakan seperti pada rapat sebelumnya. Tapi ia tidak berkata apa-apa. Selama beberapa menit ia hanya diam, entah sibuk mendengarkan perdebatan yang masih terus berlangsung atau sekedar menunggu waktu yang tepat. Seperti biasa, pikirannya sulit kutebak.
"Baiklah, kurasa semua orang sudah selesai mengutarakan pendapat." Akhirnya Lachlan angkat suara. Ia berdiri perlahan, tubuhnya agak condong ke depan, bertumpu pada telapak tangannya yang menumpu ringan pada meja. Tidak menunggu sedetik, ruangan langsung hening. Aku sendiri, sudah bungkam sejak tadi. Apapun keputusan terakhir Lachlan, kurasa tidak akan ada yang membuat lega.
"Mengenai permintaan untuk melakukan Tes Darah, dengan terpaksa kukatakan kalau aku sebenarnya tidak mengharapkan usulan itu disuarakan di meja ini." Mata Lachlan agak menyala saat mengucapkannya. Hawa panas yang sedari tadi memenuhi ruangan, kini sudah berbalik sepenuhnya. "Untuk lyracle, aku setuju dengan Vazq. Terlalu riskan jika kita mengirim para Oracle muda yang terlalu bersamangat ingin tahu banyak hal itu."
Sial. Kalau begitu hanya tinggal satu kemungkinan.
"Sejauh ini sepertinya tidak ada ide yang lebih baik daripada membawa Keniezy Quelle ke pack. Setelah dia berada disini, kita bisa mengandalkan lyracle tanpa perlu menghadapi resiko yang tak pasti. Bagaimana menurutmu, son?"
Formalitas. Gusarku dalam hati. Tentu saja pertanyaan Lachlan hanya sekedar formalitas mengingat Kenzy adalah mate-ku dan kebetulan sekali kedudukanku di ruangan juga agak lebih tinggi daripada yang lain. Jadi aku punya hak untuk mengutarakan pendapatku terhadap keputusan sang Alpha. Walaupun begitu, aku bisa melihat ketegasan akan keputusan final dari kedua tatapan Lachlan yang menyala.
Damn it! Aku memang seharusnya tidak mendengarkan usul Roudan!
***
Dua jam yang lalu, pikiran bahwa kesunyian mencekam di Hutan Mati akan menggangguku rasanya sangat konyol. Tapi secara mengejutkan ternyata yang terjadi malah sebaliknya.
Di belakangku, Roudan dan Douglas berlari tanpa sekalipun bersuara, menciptakan keheningan panjang yang tak nyaman. Tanpa perlu memastikan, bisa kurasakan keduanya saling lirik cemas atas moodku yang buruk. Sayangnya, aku sedang tidak ingin menjelaskan pada mereka bahwa kemarahanku sebenarnya tertuju pada diriku sendiri.
Ketidakmampuanku mendapatkan ide lain lebih tepatnya.
Rasanya baru kali ini aku mendapati keengganan dan tekanan mendalam pada batinku selama perjalanan pulang kembali ke tempat Kenzy berada. Sejak tiga tahun lalu, perasaan terpaksa berada di dunia manusia, sudah lama hilang bagai terkena mantra sihir paling ampuh. Sekarang kusadari rupanya mantra itu tidak bersifat permanen, walaupun tidak ada persamaan antara alasanku dimasa lalu dengan masa kini.
Well, bagaimana caranya aku membawa Kenzy ke Greendeal? Menculik gadis itu? memikirkan dampak yang mungkin harus kutanggung setelah perbuatan rendah itu berhasil, membuat tulang-tulangku menggigil. Kebencian Kenzy tidak akan mungkin bisa kuhadapi dengan sikap sok tegar. Tapi apalagi opsi lain yang kupunya selain membopongnya pergi dalam keadaan tak sadar?
Perdebatan pribadi mengenai asal-usul Kenzy, sudah diselesaikan kepalaku sejak kemarin malam. Kuputuskan gadis itu–secara ajaib–juga berasal dari Greendeal. Malangnya, perasaanku tidak mengangsur ringan dengan adanya pemahaman sepihak itu. Gadisku berasal dari Greendeal, tapi tinggal di dunia manusia dengan–gagasan terbaikku mengenai identitasnya yang tertutup rapi–menggunakan sihir pelindung atau beberapa teguk ramuan rumit. Yang berarti secara kasar memberiku kisikan bahwa ia sedang lari dari sesuatu yang berhubungan dengan Greendeal atau sosok aslinya.
Jadi, bagian mana dari hasil rapat kemarin yang menguntungkanku? Tidak ada. Membawa Kenzy hanya akan membuat gadis itu terpaksa berurusan dengan apapun yang sedang dihindarinya. Sial, sial, sial.
"Al, bagaimana pendapatmu kalau kita istarahat sebentar?" suara Douglas tidak memberikan efek yang berarti selain rasa malas untuk menolehkan kepala menatapnya. Meski demikian, aku tetap beralih dari kegelapan pada celah rapat pohon-pohon kering tanpa daun di depan dan melihat ke arahnya.
Tangan Roudan menumpu ringan pada pundak Douglas, beberapa bulir keringat membingkai wajahnya, membuat pria itu terlihat agak lelah. Dan kutebak memang begitu adanya. Jika kuingat lagi, selama perjalanan kilat kami–bahkan sepertinya sejak melawan para penghisap darah beberapa hari lalu– ditambah rapat dan kemudian perjalanan lainnya yang sedang kami lalui sekarang, belum sekalipun kami berdua beristirahat atau sekedar menenangkan perut yang protes selain suapan singkat beberapa sandwich isi daging pada awal-awal perjalanan. Sialan, karena semua amarah dan rasa frustasi ini, kurasa pikiranku jadi agak kacau dan kehilangan sedikit kewarasannya.
Bagaimana mungkin aku tidak sedikitpun merasa lelah atau perlu makan?
"Sorry Dan, pikiranku sedang melayang dan tak mau dibawa turun untuk sekedar berteduh dibawah pohon. Harusnya kau mengingatkanku untuk mengambil satu atau dua tarikan udara segar."
Mendekati salah satu pohon dengan langkah yang agak goyah, Roudan terkekeh padaku, seolah mengatakan bahwa ia juga tak sadar kalau saja fisiknya sendiri tidak mengingatkan. Kubawa kepalaku menggeleng singkat sebelum ikut duduk, mencoba mendapatkan sedikit pencerahan dalam masalah pelik yang menekan batin.
"Jika bisa, sebenarnya aku ingin beristirahat di luar area suram ini, tapi rupanya kakiku sudah protes berat. Kurasa aku terlalu banyak mengambil kesenangan bermain dengan para batu-es-berjalan itu." Roudan mendesah lega saat beberapa tegukan dari isi botol yang diberikan Douglas, melewati tenggorokannya dengan rakus. Aku hanya mengangkat sebelah alis untuk menanggapi pembelaan dirinya, tapi Douglas bereaksi agak lain. Ia langsung mengarahkan tatapan menusuknya padaku, tanpa repot-repot menanyakan apapun.
"Kami melawatkan beberapa menit menyenangkan bersama mereka saat mengikuti Kenzy pulang. Sebelum kejadian aneh itu," kataku menjelaskan seadanya.
"Kau tidak harus menutupi kesenangan itu."
"Yeah? Memang tidak. Tapi otakku sedang tidak punya tempat khusus untuk mengingat memberitahukannya padamu."
Douglas tetap menatapku tajam selama beberapa saat sebelum akhirnya menghela nafas. Menenangkan diri sepertinya. Teringat akan lelucon pribadaku mengenai Kenzy yang memiliki pengasuh pribadi, aku menemukan kegelian sinis atas fakta bahwa sebenarnya kondisiku tidak terlalu berbeda. Menjadi keturunan dari garis terkuat dalam pack tidak menutup kemungkinan kalau beberapa pihak mendeklarasikan diri secara diam-diam sebagai pelindung apapun yang terjadi.
Dalam duniaku, Douglas lah yang mengambil peran itu. Suatu kali ia malah pernah terang-terangan mengatakannya.
"Kalau ini dapat menenangkanmu sobat, aku dan Roudan masih hidup dan bernapas, meski Dan sepertinya agak tersengal." Douglas tidak terkesan. Aku mengabaikannya dengan mudah. Sudah cukup masalah dengan Kenzy saja yang harus menyita perhatianku, Douglas harus terima nasib dikesampingkan. Bersama Douglas terkadang rasanya seperti memiliki tangan kiri yang lebih aktif bertindak dari pada tangan kanan padahal aku bukan kidal.
"Baiklah, kesampingkan soal vampir. Tindakan apa yang akan kau ambil saat kita sampai di rumah Kenzy? kuasumsikan kau tidak akan buat onar dengan keluarga angkatnya, benarkan?" Jelas aku lupa memberitahu Douglas bahwa selain vampir, aku juga sedang tidak ingin berdiskusi tentang aksi menculik yang disarankan Lachlan dengan santai beberapa jam lalu saat aku meminta masukan pada mom yang kebutalan duduk di sampingnya.
"Biasanya kau selalu bisa menebak moodku, tapi sepertinya aku menilai terlalu tinggi."
"Aku tahu kau tak ingin membicarakannya, dan kau jelas ingin menerjang siapa saja setidaknya sampai sebagian kecil beban pikiranmu berkurang. Tapi yang kau perlukan saat ini bukan ketenangan palsu Al, cepat atau lambat kau akan butuh membicarakannya. Nah, mumpung kau sedang memulihkan diri, aku bisa terhindar dari beberapa pukulan telak jika membahasnya sekarang."
Astaga, untung hanya ada satu Douglas di sekitarku. Kalau lain kali aku menganggap Roudan menyusahkan dan membuat nafsu memukulku bangkit, aku akan mengingat saat ini. Tak kusangka Douglas bisa lebih menyebalkan kalau dia memang sedang berniat mengambil gelar itu dari Roudan.
"Aku akan menghitung ini sebagai hutang pukulan di masa depan kalau-kalau aku kebetulan sedang ingin sarung tinju. Hentikan cengiran bodohmu Dan, kalau tidak kau juga akan berakhir menyimpan hutang itu."
Beberapa menit berikutnya, kami mencoba pendekatan masalah berupa adu pendapat ala komplotan penculik kelas teri. Tidak ada ide yang cukup memuaskan untuk mendapatkan tiga suara setuju. Semakin dan semakin menambah kegusaran yang sudah siap untuk meledak.