–KENZY
Sehari setelah penjelasan panjang yang kudapatkan, akhirnya aku mulai bisa menerima kalau aku memang bukan manusia biasa. Alasannya, seperti yang dikatakan Ryuu, rambutku benar-benar ikut berubah warna dan kini tampak serasi dengan bola mataku. Yang aneh adalah ternyata aku tidak membencinya. Perubahan warna rambutku entah kenapa membuat wajahku tampak agak bersinar, yang berarti ini juga kemajuan besar karena sebelumnya wajahku selalu terlihat seolah bosan dengan kehidupan.
Dengan penerimaanku akan fakta tentang Kraulis, itu berarti juga sekaligus membuatku mendadak punya stok pertanyaan beratus kali lipat daripada yang biasa aku punya. Bayangkan seseorang yang selalu ingin tahu sepertiku kini menjadi seperti itu. Tentu saja semua orang di rumah jadi agak sebal denganku. Walaupun bibi Lim dan Ryuu pintar menyembunyikannya, tapi Reese dengan senang hati menunjukkan padaku kebenaran yang ada.
Meski begitu, diantara semua hal yang mendapat perhatian lebih dariku, ada dua hal yang hampir menyita seluruh isi otakku saat ini. Althra dan ulang tahun Ryuu.
Aku hampir saja melupakan ulang tahun Ryuu yang kini hanya tinggal sehari lagi. Niatku untuk membuat surprise party untuknya jadi berantakan karena sakitku kemarin, dan ditambah lagi penjelasan itu. Sekarang aku jadi harus berpikir ulang bagaimana sebaiknya aku merayakan ulang tahun Ryuu tanpa kue tart super besar yang harusnya sudah selesai kupesan sejak empat hari lalu. Karena kurasa menjadi vampir tidak akan membuat Ryuu membenci pesta kejutan, sudah kuputuskan untuk tetap melaksanakannya meski sekarang otakku buntu dengan ide.
Dengan pikiran yang masih berkelana dalam lautan ide di kepala, kulangkahkan kaki menuju balkon kamar. Di rumah sedang tidak ada orang selain bibi Lim yang sibuk mengerjakan design gaun pesanan pelanggannya. Sebenarnya ia bersikeras untuk menemaniku di kamar selama Ryuu dan Reese pergi ke Greendeal, tapi untunglah aku berhasil meyakinkannya bahwa aku butuh beberapa waktu menyendiri memikirkan semua yang sudah terjadi.
Semilir angin membelai wajahku, menerbangkan beberapa helai rambut perakku yang kubiarkan tergerai. Kegiatanku memilah ide-ide yang bisa kugunakan untuk mengadakan surprise party untuk Ryuu rupanya tidak menuai kesuksesan. Jadi berkali-kali aku hanya mendesah frustasi.
"Kenzy?" suara bibi Lim otomatis membuatku menoleh ke pintu kamar, tempat wanita paruh baya itu berdiri.
"Ya, ada apa bi?" tanyaku.
"Pesananku baru saja diantar."
Bibi Lim melangkah memasuki kamar sambil sebelah tangannya membawa tas belanja yang sering ia bawa ke butik kalau ada pesanan gaun yang sudah jadi. Aku menatap tas kertas itu, bertanya-tanya apa yang sekiranya ingin bibi Lim berikan padaku.
"Aku tidak tahu apakah ini akan berguna sweetheart, tapi mungkin kau menginginkannya?"
Bibi Lim menaruh tas itu di atas pagar balkon, di depanku. Sambil melirik sekilas pada bibi Lim yang memasang ekspresi khawatir, aku meraih tas dan mengintip isinya. Sesuatu seperti tumpukan benang halus berwarna merah-strawberry tertangkap oleh mataku.
"Wig?" tanyaku heran ketika mengeluarkan benda tersebut dari dalam tas, menatap bibi Lim dengan pandangan tidak mengerti.
"Kau terlihat sangat takut waktu rambutmu berubah, jadi mungkin... hm... begitulah..." bibi Lim menjalaskan dengan gugup, mungkin takut aku tersinggung. Astaga, wajahku pasti benar-benar payah saat itu, sampai-sampai bibi Lim berpikir aku ingin menyingkirkan helai perak ini dari pandanganku.
Kuraih kedua tangan bibi Lim ke dalam genggamanku, menatapnya dengan seksama, "Bibi, aku baik-baik saja. Sungguh. Hanya sedikit terguncang diawal, tapi sekarang aku sudah bisa menerimanya. Ini takdirku. Jadi, bibi jangan khawatir. Aku sebenarnya malah penasaran ingin segera pergi ke Greendeal."
Bibi Lim membawaku ke dalam pelukannya yang seketika kubalas dengan erat dan lembut.
"Kalau begitu bibi keluar dulu, sweety."
Sepeninggal bibi Lim, kubalikkan kembali tubuhku menghadap ke depan, bersandar pada pagar balkon. Posisi kamarku yang menghadap langsung ke taman belakang, benar-benar menguntungkan. Tidak ada pejalan kaki yang perlu kukuatirkan ataupun panasnya matahari yang menyengat.
Tiba-tiba saja sebuah ide menghampiri kepalaku secara mengejutkan.
Aku segera berlari meninggalkan kamar setelah sebelumnya menutup pintu menuju balkon. Sembari tersenyum senang, aku turun dari lantai dua, berjalan ke ruang kerja bibi Lim. Suara mesin jahit modern milik bibi Lim terdengar sampai keluar.
"Bibi?" panggilku setelah berada tepat di depan pintu. Tidak sampai sedetik, pintu sudah terbuka dan kepala bibi Lim menyembul keluar.
"Kenzy, ada apa?" tanyanya dengan wajah yang langsung berubah panik.
"Tenang bibi, tidak ada yang terjadi. Aku hanya lupa memberitahukan sesuatu padamu tadi."
"Oh syukurlah, kau mengagetkanku sayang. Jadi apa yang kau lupakan?"
"Aku berencana mengadakan pesta ulang tahun untuk Ryuu!" kataku dengan berapi-api.
***
Kediaman keluarga Hutcherson sekarang penuh sesak. Terima kasih pada otakku yang brilian, hanya dalam beberapa jam aku berhasil menghubungi semua teman-teman kantor Ryuu yang aku tahu cukup dekat dengannya untuk datang ke pesta ulang tahun Ryuu malam ini.
Aku sudah mendapatkan persetujuan bibi Lim mengenai hal ini kemarin, dan darinya jugalah aku tahu bahwa Ryuu dan Reese akan pulang hari ini. Dengan senyum puas kutatap ruang keluarga yang sudah kusulap dengan berbagai pernak-pernik khas pesta hingga memberi kesan cukup mewah.
Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam, yang berarti sebentar lagi Ryuu akan segera sampai di rumah sesuai janjinya. Dengan sigap aku berlari kecil menyelip diantara para tamu untuk mendekati Floe yang baru saja keluar dari pintu dapur tempat orang-orang dari jasa catering berada. Dia memang kuminta membantu mengurus hal-hal yang berhubungan dengan makanan.
Jadi begini, setelah lima hari tidak datang ke sekolah, berkubang dalam status sakit, akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan Floe kemarin sore. Sahabatku itu rupanya juga baru saja sembuh dari sakit, jadi dia meminta maaf padaku karena tidak pernah datang menjenguk. Penjelasan panjang lebarnya waktu itu langsung saja kupotong dengan cerita mengenai pesta ulang tahun yang ingin kuadakan untuk Ryuu. Dia menawarkan diri untuk membantu, dan begitulah bagaimana pesta yang cukup meriah ini bisa terlaksana hanya dengan sehari pengerjaan.
"Florent!" panggilku sambil melambaikan tangan kearah Floe yang segera bergegas mendatangiku dengan wajah sumringah.
"Kau benar-benar gila Quelle! kukira kau hanya bercanda waktu mengatakan jumlah makanan yang harus disediakan untuk malam ini, tapi ternyata? Astaga! bagaimana kau bisa menghubungi semua tamu-tamu ini dan membuat mereka bersedia datang?!" ucapan Floe yang bertubi-tubi serta pertanyaannya, berhasil memancing kekehan lolos dari bibirku.
"Apa kau sudah lupa seberapa keras kepalanya sahabatmu ini Floe? Kalau aku ingin mereka datang, maka mereka akan datang!" kataku bangga sambil menaikkan kedua alisku keatas dan menepuk dadaku ringan. Floe tertawa mendengar perkataanku, "Kau suap mereka dengan apa, huh?" tanyanya disela-sela tawa.
Pertanyaannya yang penuh curiga hanya kutanggapi dengan tawa lebar. Tidak mungkin kan aku ceritakan bahwa siapapun yang bersedia datang bisa mengajak Reese kencan? yang ada kepalaku akan habis dipukuli Floe dan dia akan segera mengadukanku pada Reese saat ia datang nanti. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.
Sebenarnya aku agak merasa bersalah pada Reese karena menjadikannya seperti hadiah sayembara, tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku mengadakan pesta tanpa para tamu yang sebagian besar susah sekali dibujuk untuk datang. Lalu kebetulan sekali aku mendadak teringat bahwa Reese adalah the most wanted girl di sekolah, jadi kurasa pasti sedikit-banyak ada juga kenalan Ryuu yang pernah datang ke rumah yang tertarik pada Reese.
Nah, bukan salahku kalau ternyata ada sebanyak ini yang menaruh perhatian padanya. Meski sungguh aku heran juga, apa yang membuat mereka tertarik sekali dengan Reese? memang wajahnya cantik –sangat cantik malah!, tapi lihat mata dingin dan kesan angkuhnya itu, beuh.
"KENZY!" teriakan Floe yang cukup keras sukses membuyarkan pikiranku yang sibuk kemana-mana.
"Apa apa?" tanyaku panik, takut jangan-jangan tanpa sadar mengucapkan apa yang ada dalam pikiranku keras-keras.
Floe geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Dia mendengus pelan kemudian menunjuk sebuah mobil yang sedang berhenti di depan gerbang. Aku mengenali mobil itu. Dengan tergesa aku mengumpulkan perhatian semua orang dan memberitahu mereka bahwa Ryuu sudah datang, jadi mereka perlu bersiap-siap.
Beberapa lampu yang memberi akses untuk melihat apa yang terjadi di ruang keluarga segera kupadamkan. Dalam hati aku berharap mudah-mudahan Ryuu atau Reese belum sempat memperhatikan jendela ruang keluarga yang memang posisinya agak terhalang dan jauh dari gerbang rumah.
Bersama bibi Lim dan Floe yang masing-masing berada di sampingku, aku meraih kue tart yang bentuknya tidak terlalu berlebihan dari meja ke atas kedua tanganku, memposisikannya sedemikian rupa, lalu berjalan mendekati pintu. Beberapa tamu sudah menyebar memenuhi ruang tengah yang memang sejak awal tidak kuhidupkan lampunya karena akan terlihat jelas dari gerbang luar.
Omong-omong soal kue tart, syukurlah aku tidak jadi memesan tart super besar karena aku baru saja tahu kalau vampir ternyata tidak makan apapun makanan manusia! mereka hanya minum darah. Saat bibi Lim memberitahu hal itu kemarin, aku benar-benar syok. Tapi setelah kuingat-ingat lagi–selama yang mampu diingat otakku yang sangat pelupa ini–aku rasanya memang tidak pernah melihat mereka makan apapun. Setiap jam makan, walaupun keluarga Hutcherson menemaniku, hanya ada satu piring yang disediakan yaitu untukku, sedangkan mereka bertiga selalu beralasan kalau aku terlambat bangun–saat makan pagi, terlambat turun ke bawah–saat makan malam, dan alasan lainnya sehingga mereka terpaksa makan lebih dulu dan membuatku tidak pernah curiga. Oh dan aku baru sadar sekarang, kalau Reese bahkan tidak pernah memesan makanan apapun saat kami duduk dikantin sekolah dengan alasan diet!
Bunyi pintu mobil yang dibanting tertutup membuat kepalaku menoleh lagi ke segala arah, memastikan mereka semua sudah siap dengan peletus kertas hias masing-masing di tangan. Aku mengangguk singkat pada Floe yang langsung menghidupkan lilin-lilin diatas kue tart dengan pemetik api yang dari tadi berada di tangannya.
Klik
Pintu rumah perlahan terbuka.
"SURPRISE!!!!" teriakku keras tepat saat Ryuu baru saja menengadahkan kepalanya setelah membuka knop pintu. Letusan kertas hias segera menyambut Ryuu setelah teriakan superku.
"Happy birthday Ryuuu! Make a wish!" kataku antusias saat melihat Ryuu yang masih berdiri terpaku dengan tatapan tidak percaya kearahku, kemudian bibi Lim, dan pada yang lainnya.
"Kenzy..." gumamnya lemah tapi aku tahu aku berhasil membuatnya senang, karena senyum perlahan menghiasi wajahnya walaupun kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri. Aku terkekeh, "Kau masih harus meniup ini!" kataku mengangkat sedikit tart yang sedang ku pegang.
Sambil tertawa kecil, Ryuu meniup lilin-lilin yang ada diatas kue tart. Dia segera menarikku ke dalam pelukan saat kue yang pegang sudah beralih ke tangan bibi Lim, "Terima kasih Ken," bisiknya.
Setelah semua cerita yang kudengar dari keluarga Hutcherson, pengorbanan mereka yang harus rela menekan kekuatan vampir mereka, membuatku sadar bahwa akulah yang harus berterima kasih. Apa yang kulakukan saat ini, sama sekali tidak sebanding dengan apa yang sudah kuterima. Maka sembari mengangguk menanggapi ucapan Ryuu, aku mengeratkan pelukan di punggungnya. Semoga dia tahu seberapa besar aku bersyukur dengan apa yang mereka lakukan untuk menjamin keselamatanku.
Pesta berlanjut di ruang keluarga, seperti yang sudah direncanakan. Ryuu tampak terkesan dengan usahaku menata ulang ruangan yang tidak terlalu besar itu agar berubah menjadi seperti ballroom. Rasanya senang sekali mendapati tangan Ryuu mengusap pelan puncak kepalaku sambil tersenyum lebar.
Sementara Ryuu menyapa teman-teman kantornya, aku menarik Reese yang sedari tadi hanya diam dengan senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. "Kau harus pakai dress pesta juga Reese," kataku saat melihat kedua alis mata Reese terangkat tinggi karena aku tiba-tiba saja memaksanya naik ke lantai dua, meninggalkan pesta.
"Oh Zyzy, kau tahu aku tidak suka segala jenis pakaian semacam itu." Reese mendelik saat mendengar ucapanku. Raut wajahnya berubah kesal, apalagi saat Floe–yang ternyata mengikuti kami meninggalkan pesta–ikut menarik tangan Reese masuk ke dalam kamarku.
Meski cantik dan terlihat anggun, Reese sebenarnya benci sekali mengenakan dress, jadi aku tidak akan mengambil resiko dengan mengobrak-abrik lemarinya berusaha mencari dress. Karena itulah aku sengaja membawanya ke kamarku. Ada satu dress yang sejak kubeli tidak pernah kupakai karena ternyata agak kepanjangan untukku, dan aku tahu Reese yang lebih tinggi dariku pasti akan cocok memakainya.
Setelah berhasil memaksa Reese mengenakan dress, kami segera kembali ke pesta. Kusadari banyak mata yang memandang Reese takjub, membuat senyumku makin lebar. Kuharap dengan ini mereka bisa melupakan janji konyolku soal kesempatan untuk kencan dengan Reese. Selain aku memang agak merasa bersalah pada Reese, aku juga merasa bersalah pada para pria manusia itu. Ya, mereka manusia, dan aku sadar betul tidak akan terjadi hal-hal romantis yang mereka pikir bisa mereka harapkan pada Reese.
Aku mengedarkan pandanganku lagi pada para tamu saat Floe dan Reese terjabak obrolan dengan sekelompok pria, teman se-divisi Ryuu di kantor. Kelopak mataku kontan melebar saat mendapati sosok itu memandang lurus padaku dengan tatapan tajam yang menusuk.
ALTHRA?! Jeritku dalam hati ketika memastikan lagi bahwa penglihatanku tidak salah. Bahwa sosok tampan yang sedang berdiri menyandar pada dinding ruang keluarga, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana itu memang dia. Althra memberi isyarat padaku untuk mengikutinya menjauh dari keramaian pesta. Dengan rasa terkejut yang masih luar biasa serta dada yang tiba-tiba berdegup kencang, entah karena gugup atau apa, aku segera mengikuti langkahnya.
Kami berada di taman belakang, tepat di bawah kamarku. Suara musik dari ruang keluarga terdengar hingga kesini, walaupun hanya sayup-sayup. Aku menatap punggungnya lama. Ya, dia masih berdiri membelakangiku setelah tadi menuntunku beberapa langkah di depan sampai ke tempat ini.
"Hai?" sapaku sedikit canggung. Jujur aku masih terkejut melihat sosoknya yang tiba-tiba hadir di pesta Ryuu. Maksudku, darimana dia tahu? Karena saat ini dia jelas memakai pakaian semi-formal, dimana artinya tidak mungkin hanya kebetulan ia datang.
"Sudah kubilang kita akan bertemu lagi kan? Kenzy."
Suara maskulinnya yang memanggil namaku setelah mengambil jeda singkat, membuat darahku berdesir. Aku suka cara dia menyebut namaku. Seperti ia sangat merindukanku, yang mana tidak mungkin benar karena kami tidak punya hubungan apa-apa. Kami bahkan hanya dua orang asing yang baru beberapa kali bertemu, dalam keadaan agak aneh pula.
"Yeah. Jadi, apa kabar?" tanyaku setelah berdeham singkat. Sial, kenapa rasanya aku benar-benar gugup? Apalagi aku teringat statusku sekarang yang tidak bisa lagi disebut manusia. Apa benar pria di depanku ini yang menyebabkan kekuatan Lightsaver-ku bangkit, seperti dugaan Ryuu? Apakah mungkin dia juga berasal dari Greendeal sama sepertiku?
Kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Pertanyaan yang bertubi-tubi datang membuatku tidak sadar kalau Althra sudah berbalik dan kini berdiri di hadapanku. Aku baru menyadarinya saat hembusan nafasnya menerpa telinga kananku.
"Kulihat kau baik-baik saja." Bisikan Althra yang tepat di telingaku segera saja membuatku sesaat tidak bisa bernafas. Sialan, dia mengagetkanku! Apa maksudnya bicara terlalu dekat begitu?!
Tapi sebelum aku sempat beranjak menjauhinya atau sekedar protes, dia sudah lebih dulu melangkah mundur. Kepalaku terangkat, membalas tatapan intensnya, "Kau belum menjawab pertanyaanku," kataku. Meski masih gugup, untunglah kudengar suaraku tidak sampai bergetar.
Althra kembali mengambil satu langkah mundur, tangan kanannya kembali masuk ke dalam saku celana. Sikapnya itu membuat mataku akhirnya menilai detail penampilannya malam ini. Dia memakai kemeja putih gading dengan pola garis-garis maroon yang tampak elegan. Kedua lengan kemejanya yang panjang, digulung hingga batas siku. Dua kancing teratas kemeja dibiarkan terbuka, dengan sebuah dasi maroon yang terpasang longgar. Sebuah jam tangan dari bahan kulit yang terkesan santai dengan campuran warna cokelat dan hitam, melingkar di tangan kirinya.
Ugh. Ini ketiga kalinya aku bisa menatapa wajahnya lekat-lekat, dan tidak bisa kupungkiri, dia memang benar-benar tampan. Apalagi dengan rambut cokelat gelapnya yang sedikit berantakan diterbangkan angin malam, juga mata hazelnya yang terlihat menggelap. Hmm, kuanggap itu tipuan cahaya.
"Seperti yang kukatakan, kulihat kau baik-bik saja." Althra mengulang lagi kata-katanya dengan intonasi seolah-soalah aku harusnya sudah tahu apa maksudnya tanpa perlu dijelaskan. Tapi hey, mana mungkin aku tahu kan!
Sebelum aku dapat menanggapi lagi ucapannya, suara Ryuu tiba-tiba datang dari arah belakangku, kontan membuatku berbalik.
"Kenzy?"
"Sedang apa kau disini?"
Aku mengikuti arah pandang Ryuu yang jatuh pada sosok Althra. Ketika mataku kembali bertatapan dengan hazel Althra–aku bersumpah bola matanya terlihat jauh lebih gelap daripada sebelumnya, mendadak membuat udara malam di sekitar kami bertiga terasa turun beberapa derajat. Ledakan testosteron yang tidak diinginkan, terjadi tanpa sempat ditahan. Adu pandang sengit yang saling kedua pria itu lemparkan membuatku gugup tak terkira.
"I... ini... dia..." aku tergagap berusaha memberikan isyarat pada Ryuu bahwa Althra adalah sosok yang kuceritakan padanya, yang selalu hadir dalam mimpiku ratusan kali selama tiga tahun ini. Yang dia curigai sebagai penyebab tidak mempannya pil ramuanku. Tapi entah kenapa rasanya lidahku seperti terkena efek beku hingga tidak bisa mengatakan bahkan satu kalimat saja dengan benar. Lalu sebelum aku mulai mencoba lagi, mataku terbelalak saat Althra melangkah sedikit melewatiku sambil mengulurkan tangan kanannya ke depan.
"Althra Knighton," katanya memperkenalkan diri dengan tatapan datar yang angkuh.
Ryuu menyambut uluran tangan Althra, membalas tatapan datarnya dengan tatapan tajam penuh perhitungan. Aku tidak tahu mengapa, tapi rasanya ingin sekali memberitahu Ryuu untuk tidak melakukan hal tersebut. Bukan karena aku membela Althra, tapi entah kenapa kurasa memancing kemarahan pria itu sepertinya bukan hal yang tepat untuk dilakukan saat ini.
Dari hasil pengamatan singkatku saat pertama kali berbicara dengannya, menurutku Althra adalah tipe pria moody-an yang perubahan mood nya sudah mencapai tahap ekstrim. Melihat betapa kakunya mimic wajah Althra saat ini, kutebak dia sedang berada dalam mode berbahaya. Meski aku tahu Ryuu vampir, artinya dia pasti jauh lebih kuat dari Althra, tapi hatiku anehnya berkata sebaliknya.
"Ryuu Hutcherson," suara Ryuu terdengar pelan dan hati-hati, kakak angkatku itu rupanya sedang mempertimbangkan apakah Althra adalah sosok yang harus langsung ia usir jauh-jauh saat ini juga, atau perlu ia kenal lebih dalam lagi sebelum memutuskan.
"Ryuu?" syukurlah aku sudah kembali bisa bicara dengan lancar. Kutatap Ryuu dalam-dalam berharap ia mengerti maksudku. Bukannya aku tidak senang dengan perhatian Ryuu, tapi saat ini aku benar-benar butuh mendiskusikan sesuatu hanya bersama Althra saja.
Ryuu sepertinya mengerti arti tatapanku. Dia menoleh sesaat pada Althra dan minta undur diri meski masih dengan tatapan menilainya. Sebelum berbalik Ryuu menyempatkan diri memberiku kode lewat tatapannya kalau dia perlu sesi bicara–introgasi–yang lebih panjang dengan Althra setelah pesta selesai.
Aku mengangguk ragu-ragu, tidak tahu apakah bisa melakukannya, tapi berjanji dalam hati akan mencoba.
Sepeninggal Ryuu, aku beralih lagi kearah Althra meski tidak langsung menatap wajahnya. Tapi sebelum aku sempat berbasa-basi mengajaknya duduk di gazebo taman untuk melanjutkan bincang-bincang kami dengan lebih nyaman, dia kembali membuatku syok berat.
Kedua tangan Althra tiba-tiba sudah berlabuh di kedua sisi pipiku dan perlahan menengadahkan wajahku ke atas. Kedua hazelnya sontak memenjara mata perakku yang masih dilapisi lensa kontak berwarna hitam. Lagi, kurasakan panas menjalari pipiku saat menyadari tatapannya yang begitu dalam dan mengintimidasi.
Haruskah aku jelaskan kenapa aku merasa terintimidasi dengan mata hazelnya yang menggelap? Sejujurnya aku tidak bisa, karena aku sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Aku merindukanmu."
Huh? Apa?
Apa tadi katanya?
Kedua mataku mengerjap bingung, sementara isi kepalaku rasanya mendadak kosong. DIA BILANG APA TADI?!