–ALTHRA
Rasa tergelitik yang seharusnya kurasakan karena ekspresi syok Kenzy yang luar biasa, tidak bisa mengalihkan perhatianku yang seakan sudah tenggelam terlalu jauh untuk bisa muncul kepermukaan. Saat ini yang menahan akal sehatku agar tidak panik dan membatalkan rencana secara sepihak, selain tangan yang menangkup kedua pipi Kenzy, hanyalah mataku yang terjerat dalam tatapannya yang–meskipun terperangah–menjeratku begitu intim sampai rasanya terlalu pribadi untuk dilihat kedua sahabatku yang sedang bersembunyi di balik semak-semak tinggi sebelah timur kediaman Hutcherson.
Tapi kedatanganku ke rumah Kenzy setelah perjalanan panjang dan melelahkan, adalah untuk membawa gadis yang sedang menatapku ini ikut bersamaku ke Greendeal. Sesuai kesepakatan akhir pada diskusiku dengan Roudan dan Douglas di Hutan Mati. Lebih tepat sebenarnya jika menggunakan istilah "membujuk paksa" seperti yang digunakan Douglas untuk memperhalus situasi yang akan terjadi.
Ide ekstrim yang sudah disesuaikan dengan situasi rumah Kenzy saat ini –pesta cukup meriah yang berhasil mengejutkanku saat datang melihat keadaan satu jam lalu– untuk membawa gadisku ini kabur, sebenarnya mendapat pencerahan dari kumpulan semua kenakalan yang pernah ia sendiri lakukan di masa lalu. Bisa dikatakan versi revisinya dan hampir mendekati kriminalitas kelas berat jika ada sesuatu yang berjalan tidak sesuai rencana.
Pesta selalu dapat memacu adrenalin hingga tahap hysteria, mungkin akan ada seseorang yang cukup teler karena sedikit terlalu banyak memium cocktails gratis dan tidak sengaja memainkan pemetik api di tangannya sambil menimbang pilihan apakah bijaksana menyalakan rokok di tengah pesta kejutan untuk kakak yang diadakan gadis berusia enam belas. Karena kebimbingan sesaat ini, bisa saja ia tak sengaja menyulut api yang mengenai gorden salah satu jendela, karena ia tadi berpikir sambil berdiri di daerah itu.
Kriminal.
Douglas sudah menyuarakan kata-kata itu dengan tajam tadi saat aku belum sempat menemukan suara untuk menimpali susunan kejadian yang Roudan sebutkan seperti para peramal melihat masa depan. Rencana ini jelas akan mendatangkan malapetaka, besar atau kecil, tidak ada yang bisa ditebak apa yang akan terjadi jika bermain dengan api.
Penolakan untuk ide Roudan jelas menarik suara bulat dari aku dan Douglas. Kecelakaan fatal mungkin bisa dihindari dengan menyiapkan pemadam api darurat dan akan ditembakkan jika keadaan sudah cukup panik untuk menyadari ada seseorang yang menghilang. Tapi tak ada yang bisa menjamin ide bar-bar ini akan menuai hasil yang memuaskan. Dan kalaupun rencana itu berhasil, tidak ada jaminan tambahan bahwa Kenzy bisa "dijinakkan" dengan ramuan penghilang ingatan.
Keseluruhan rencana Roudan sama sekali tidak memberikan sedikit ketenangan yang kuinginkan.
Dan masalah paling pelik dari semuanya adalah tidak adanya rencana lain yang lebih baik untuk bisa menggantikan usulan Roudan mengenai cara membawa Kenzy tanpa menimbulkan kecurigaan ataupun resiko dilihat salah seorang tamu. Aku sedang tidak ingin memikirkan tentang ramuan penghilang ingatan yang entah apakah bisa dibuat oleh salah seorang lyracle di pack, mengingat tingkat kemampuan mereka hanya sedikit diatas kata memalukan. Tidak, aku tidak ingin memikirkannya, sudah terlalu banyak tekanan mental dalam rencana dadakan ini.
"Aku merindukanmu," bisikku, mengulang lagi dua kata itu tanpa mengindahkan perasaan malu yang menggerogoti. Akan kuhadapi candaan Roudan nanti jika saatnya sudah tiba. Untuk saat ini, yang kuperlukan hanya sedikit kejujuran pada gadisku ini sebelum melakukan sesuatu yang akan merubah segala hal diantara kami.
"Ka... kau... kau sudah gila ya?!" histeris Kenzy sambil melangkah mundur dengan tergesa, melepaskan diri dari tangkupan kedua tanganku.
"Sebenarnya bisa dikatakan begitu."
Kulangkahkan kaki ke depan berusaha menempatkan Kenzy dalam jarak dimana aku bisa merengkuhnya setiap saat. Kali ini ia tidak mundur menjauh, tapi juga tidak membalas tatapanku. Matanya melihat kearah lain dengan gugup, sementara pipinya perlahan dijalari semburat merah. Kurasa semburan pengakuanku membuatnya salah tingkah. Selain cantik ternyata Kenzy bisa terlihat sangat menggemaskan.
Dentuman musik dari arah rumah tempat pesta diselenggarakan, kembali terdengar memecah keterdiamanku dan kecanggungan Kenzy. Sepertinya keputusan untuk bersikap jujur pada gadis itu bisa dikatakan salah kaprah. Well, apa yang kupikirkan? Kenzy jelas bukan jenis gadis yang bisa dirayu dengan sepatah-dua patah kata seperti yang dengan bodohnya kulontarkan beberapa saat lalu. Sekarang aku tidak tahu bagaimana caranya memulai kembali pembicaraan kami yang sempat tertunda karena kedatangan kakak angatnya, dengan cara normal.
Sambil berusaha menenangkan diri, kualihkan tatapan pada semak-semak tinggi tempat Roudan dan Douglas berada. Tanpa perlu memastikan, aku tahu mereka sedang menahan tawa melihat kebodohanku yang tidak biasa.
"Bagaiamana kalau kita berbincang sedikit?" suara Kenzy membuyarkan niatku untuk melayangkan tatapan mematikan pada kedua sahabatku yang sedang bersiap menyusup ke dalam pesta, mengingat aku hanya meminta waktu lima belas menit sebelum rencana dilaksanakan.
Kenzy mendadak tidak lagi terlihat seperti gadis pemalu yang lugu dengan wajahnya yang bak kepiting rebus. Ia sekarang bahkan terlihat agak misterius. Segaris senyum tipis yang bermain di sudut bibirnya, bukan jenis senyum ramah tapi bukan pula sinis, lebih pada senyuman yang memberi efek bahwa ia mengetahui rahasia terbesarmu dan berencana menggunakan itu untuk memancing kebenaran yang ia inginkan. Dimana kurasa untuk kali ini aku tidak menilainya terlalu tinggi.
Beberapa jam lalu aku sempat merasakan bahwa ada sesuatu yang penting telah terjadi dengan Kenzy selama kepergianku ke Greendeal. Sekarang aku tahu bahwa memang telah terjadi sesuatu. Auranya berubah, kusadari dengan sangat terlambat. Terakhir kali aku menemuinya saat ia masih terbaring sakit, auranya tidak sekuat dan sehangat ini.
Sebelum mengikuti langkah Kenzy menuju gazebo di sudut taman, kualihkan lagi tatapanku pada Roudan dan Douglas yang masih bersembunyi, menggeleng singkat sebagai tanda bahwa belum saatnya menjalankan rencana. Ada sesuatu disini yang harus kupastikan lebih dulu.
"Sebenarnya aku agak kurang nyaman dengan sesuatu," kata Kenzy memulai. Ia mengangkat sebelah tangannya ke udara lalu jari telunjuknya menelusup pada helai merah strawberry yang menjuntai melewati bahunya. Salah satu dari beberapa hal yang kini menjadi sesuatu yang menggangguku, rambutnya terkesan tidak alami. Rambut abu-abu kebiruannya yang aneh jauh lebih kusukai.
"Tentang apa?" tanyaku, semakin merasakan desakan batin untuk mengonfirmasi status darahnya.
"Ini," jari Kenzy beralih menelusuri rambutnya dari puncak kepala. Alis mataku terangkat tinggi, berusaha mengerti arah pembicaraannya yang tidak biasa. Tapi sebelum aku sempat menanggapi, ia menarik rambutnya dengan gaya yang dramatis walaupun sayangnya untuk beberapa detik ia gagal menutupi kegugupannya. Helai merah strawberry yang ternyata rambut palsu tersebut terlepas dan berganti dengan abu-abu keperakan yang mengagumkan. Dia mengecat rambutnya? Tidak, warna itu terlihat lebih alami daripada warna rambutnya yang lama.
"Aku juga tidak nyaman dengan ini," lanjut Kenzy sambil ganti mengangkat tangan kanannya yang bebas ke udara. Jarinya mengarah pada bola mata, langsung kusadari ia berencana melepas lensa kontak yang sedang ia pakai. Pertanyaannya adalah kenapa ia terlihat begitu siaga? Seperti menunggu sesuatu dariku. Seperti menunggu sesuatu terjadi.
Dia mengharapkan aku menyerangnya?! Tapi kenapa...
Oh Sial, "Apa yang membuatmu meninggalkan Greendeal?" tanyaku seketika, potongan-potongan puzzle yang telah bersemayam di kepala selama seminggu ini perlahan seolah menyatu membentuk pola. Tidak ada lagi keraguan bahwa ia berasal dari Greendeal, dan ia sadar bahwa aku juga berasal dari tempat yang sama.
Tanpa sadar pandangan mata kami yang sama-sama menunjukkan keingintahuan tinggi, beradu dan menahan satu sama lain untuk tidak mengalihkan tatapan. Perak itu langsung membuatku teringat akan sesuatu, dulu sekali aku pernah menatap warna magis yang sama. Tapi dimana?
"Ja... jadi kau benar-benar dari Greendeal?" tanya Kenzy tajam, ada kerutan halus muncul diantara kedua alisnya. Apa ia sedang mencurigaiku?
"Kalau begitu kuanggap tebakanku benar, kau juga dari Greendeal. Apa yang membuatmu menetap disini?" kuulang lagi pertanyaan itu sambil melirik rambutnya yang berkilau tertimpa cahaya bulan. Damn, kenapa ia harus sangat mempesona bahkan disaat aku sedang memusatkan perhatian menunggu jawabannya? Kurasa nenek moyang Lycanthrope dulunya pastilah seorang pujangga, dan darah melankolisnya mengalir di tubuhku.
"Aku tidak harus menceritakannya padamu." Jawaban Kenzy seketika memancing amarahku. Apa dia pikir aku akan melepaskannya begitu saja kalau ia menolak memberitahu. "Jangan memancingku Kenzy," balasku mencoba mengintimidasinya.
"Kau tidak bisa mengancamku di rumahku sendiri tahu!"
"Sebenarnya aku bisa."
Kenzy mengangkat alis matanya tinggi-tinggi, jelas sekali menantangku mencoba dan jujur saja aku akan melakukannya kalau seandainya Roudan tidak tiba-tiba muncul di belakang Kenzy sambil menggeleng kecil. Mengingatkanku. Ia berusaha mengingatkanku agar memakai akal sehat dan bukannya emosi.
"Kau tahu, aku bisa saja menculikmu dari sini tanpa kau bisa berbuat apapun. Tapi aku sedang tidak ingin melakukannya, jadi jangan memancingku."
Begitu menyelesaikan ucapanku, Kenzy tiba-tiba berdiri dan mundur beberapa langkah, menjauhiku dengan tergesa. Tatapan matanya berubah waspada, yang tanpa menunggu waktu langsung membuatku tersentak. "Kau salah satu dari mereka," tandasnya dengan tatapan tajam yang menyimpan benci.
Perasaan sakit yang menyerangku, tidak ada bandingannya. Daripada ditatap seperti itu, aku lebih memilih dihajar selusin vampir dengan tubuh diikat pada tiang.
Kenzy mungkin tidak tahu efek apa yang ia hasilkan hanya dengan menatapku seperti itu, tapi Roudan yang masih berdiri beberapa langkah dibalakangnya, jelas mengerti. Ia melangkah melewati Kenzy, tangannya mencapai pundakku dalam beberapa detik. Cengkraman erat di pundak itulah yang membuat tubuhku tetap berdiri di tempat dan bukannya menarik paksa Kenzy ke dalam pelukanku.
"Kau tidak harus menatapnya seperti itu, dia tidak melakukan apapun yang menyakitimu kan!" sayup-sayup kudengar suara Douglas mendesis kasar, rupanya dia sudah bergabung bersama kami tanpa sempat kusadari. Tidak pernah sekalipun, kuakui, bahwa hanya dengan tatapan benci dari seorang gadis, aku bisa menjadi sekacau ini. Kenzy bahkan belum sepenuhnya terikat denganku. Sial Althra, kau menyedihkan!
Beberapa detik tidak ada yang bersuara, sikap protektif berlebihan dari Roudan dan Douglas tiba-tiba membuatku merasa situasi ini sangat konyol, jadi kusingkirkan tangan Roudan dari pundakku dan kulirik Douglas dengan tatapan memperingatkan. Ini pertama kalinya Douglas melihat dan bertemu Kenzy, aku tidak ingin dia salah paham dan malah tidak menyukai pasanganku.
"Sorry," kutatap Kenzy tepat di manik mata. Ia tidak berkata apa-apa, hanya ganti menatapku dan kedua sahabatku dengan tatapan yang sulit diartikan. Tapi syukurlah tatapan benci itu sudah hilang.
"Kurasa ini waktunya kalian pergi dari rumahku." Kenzy mengambil satu langkah mundur dengan kedua tangannya saling menggenggam erat. Bahasa tubuhnya jelas mengatakan bahwa ia serius dengan ucapannya, menegaskan bahwa kami adalah tamu tak diundang yang sudah waktunya ditendang keluar dari pekarangan.
Kewaspadaan yang diperlihatkan Kenzy, mempertahankan logikaku tetap jernih menilai situasi. Tidak pernah sekalipun dalam tiga tahun ini, Kenzy terlihat begitu hati-hati dan penuh perhitungan. Dalam semua sepak terjangnya sebagai troublemaker, ini merupakan hal yang paling tidak kuperhitungkan akan terjadi dimasa mendatang. Yang artinya, situasi kami saat ini jelas lebih serius daripada yang kutakutkan.
"Dengar, sepertinya ada kesalahpahaman disini. Aku tidak datang kesini untuk mengganggumu atau apa, kau tidak perlu bersikap waspada begitu."
"Mungkin tidak, tapi aku memilih sebaliknya." Kenzy melirik sekilas kearah rumah, sepertinya berniat memanggil lagi kakak angkat laki-lakinya, atau mungkin yang perempuan.
"Kenzy, sepertinya ada sesuatu yang harus diluruskan," kuhela nafas sejenak sebelum mengambil satu langkah lebih dekat kearah Kenzy. Dan saat itulah aku menyadari sesuatu yang sedari tadi luput dari perhatianku. Bagaimana bisa aku melewatkan bau busuk dan sensasi merinding ini?!
Dalam sekejap mata, pemilik bayangan yang mendadak jatuh menimpa tempatku berdiri, berdesing cepat membelah udara. Sedetik lagi saja aku terlambat mundur, kuku-kuku runcing dan tajam itu pasti akan menemukan pelabuhannya. Mata merah darah dihadapanku yang memancing turunnya suhu udara secara ekstrim, menjelaskan kenapa selama ini aku merasa tidak nyaman dengan keberadaan kakak angkat Kenzy.
Dia vampir. Seharusnya aku tahu. Dan jelas bukan jenis penghisap darah kacangan yang aku dan Roudan kalahkan minggu lalu.
"Seharusnya aku tahu, makhluk apa lagi yang membuatku sangat tidak suka saat pertama kali melihatnya kalau bukan jenismu," katanya, hampir seperti berbisik.
"Aku tidak sendiri kalau begitu."
Sialan, berapa banyak hal yang luput dari pengamatanku selama ini? Tidak satu kali pun aku pernah merasakan kevampirannya walau aku tidak benar-benar ingin berada di sekitar pria ini ketika aku mengawasi Kenzy. Dengan aura sekuat ini, pasti membutuhkan barrier sihir yang sangat hebat sampai aku maupun Roudan tidak menyadari kehadirannya sama sekali.
Gemerisik dedaunan yang diterbangkan angin, menjadi satu-satunya suara. Tidak ada lagi suara musik yang beberapa menit lalu masih sayup-sayup terdengar hingga ke tempat ini. Kutebak, tamu sudah dibubarkan secara paksa. Pertarungan mungkin pilihan yang tepat. Dengan adanya Roudan dan Douglas bersamaku, tidak ada yang tidak mungkin. Tapi kehadiran Kenzy yang kini berdiri merapat pada vampir itu benar-benar sangat mengganggu. Apa hubungan status darah Kenzy dengan vampir? Ia tidak mungkin salah satu dari mereka, mengingat perbedaan suhu eksistensi mereka yang sangat jauh berbeda.
"Kulihat kau menawan seseorang yang tidak ada hubungannya denganmu." Kulirik sekilas Kenzy yang balas melihatku dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Seperti biasa, kalian para Lychanthrope selalu punya masalah dengan pemilihan kata. Menawan tentu bukan kata yang tepat untuk menggambarkan hubunganku dan Kenzy. Sebaliknya, aku yakin kalian tidak memiliki urusan apapun yang berkaitan dengan Kenzy-ku."
Kemarahan primitif itu muncul begitu pekat, seolah menggeliat jauh dari dalam tubuhku yang tidak bisa dicapai siapapun, mengalir deras bersama aliran darahku yang dipompa mesin panas. Otot-otot tubuhku memberontak menuntut pembebasan, tidak seorang pun, tidak ada satupun yang berhak atas Kenzy-ku.
Menggapai makhluk penghisap darah itu bukan masalah besar, hanya butuh satu lompatan. Maka aku melompat, mengulurkan tanganku ke depan. Sosok itu tidak lebih dari batu berkarat yang tidak berharga. Menghancurkannya hanya sebuah kesenangan. Membunuhnya tidak lebih dari kenikmatan kecil. Ia bisa mati kapan saja, tapi mati ditanganku kedengarannya lebih indah. Terkena cipratan darah menjijikannya bukan masalah, aku bisa mencuci jejak kotorannya kapan saja.
"ALTHRA!"
Suara itu bergema di dalam kepalaku. Kenapa terdengar begitu putus asa?!
"ALTHRA...! BERHENTI!"
Tidak, kesenangan ini baru saja dimulai.
Seseorang menahan lenganku hingga terhenti di udara sebelum sempat mengenai sasarannya. Dalam sepersekian detik kesadaran mengambil alih, kusadari bahwa aku hampir saja menempatkan Kenzy, gadisku, dalam bahaya.
Meredam seluruh kemarahan ini begitu sulit. Hidungku mengendus udara, mataku mencari-cari, aku harus menatap matanya. Dia melihatku, rasa takut kental terpancar dari sana bersama kekhawatiran besar. Alisnya bertaut membentuk kerutan berbentuk "v" diantaranya. Wajahnya memberitahuku bahwa semua tidak akan baik-baik saja jika aku terus tunduk pada kemarahan purba ini.
"Althra, tenangkan dirimu." Kali ini suara Roudan berhasil menghampiriku, menambahkan kesadaran kecil yang berusaha kupertahankan.
Bisikan konstan Roudan berkali-kali dari sisi kanan, menjaga pikiranku tetap waras. Kegilaan sesaat yang kurasakan tadi, berangsur menjauh. Rasa sakit dari amarah besar beberapa saat lalu, mulai menggerogoti tubuhku, memberitahu bahwa apa yang baru saja kualami adalah sesuatu yang belum pernah kurasakan.
"Kau seharusnya tidak berkeliaran dengan kondisi labil seperti itu." Darah yang mengalir dari lengan atas si pria Hutcherson akhrinya benar-benar mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. Luka berbentuk cakaran itu jelas hasil perbuatanku. Hanya saja, kapan aku mengenainya?
"Hati-hati dengan ucapanmu!" Douglas mengambil satu langkah maju. Tangannya mengepal. Vampir itu tidak bereaksi apa-apa, seolah ia tidak mendengar ucapan Douglas. Ia mengalihkan wajahnya ke samping kanan, dan barulah aku sadar bahwa selain Kenzy, sudah ada dua Hutcherson yang lain bergabung berdiri di belakangnya. Salah seorang wanita, yang lebih muda, melihatku dengan kebencian membara.
"Ryuu bisa mengatakan apapun yang diinginkannya," katanya.
Sebelum Douglas mengambil satu langkah lagi ke depan, segera kuhentikan ia dengan menyentuh ringan kepalan tangannya.
"Apa maksudmu?" kutekankan telapak tanganku ke tanah, berusaha bangkit dengan bantuan Roudan disisi kananku. Berdiri tegak ternyata membutuhkan lebih banyak tenaga daripada yang kubayangkan. Kejadian tadi rupanya berpengaruh begitu besar pada tubuhku. Aku tidak ingat pernah mendapat pengetahuan mengenai hal misterius ini di pack.
"Kau belum sepenuhnya menjadi Lychanthrope bukan? Aku bisa langsung merasakannya saat membuka segelku. Dari apa yang kau lakukan tadi, aku bisa katakan kalau tubuhmu menginginkan perubahan, padahal ini sedang tidak purnama. Kau jelas tidak dalam kondisi stabil. Apa yang dilakukan Lychan muda sepertimu disini? Apa yang kau inginkan dari Kenzy?!"
Tubuhku menginginkan perubahan? Itukah penjelasan mengapa otot-ototku seperti memberontak? Pirkis sialan, ia tidak pernah memberitahu apapun mengenai ini padaku. Atau memang si tua Bangka itu juga tidak tahu?
"Urusanku dengan Kenzy tidak ada hubungannya denganmu. Dan kenapa vampir sepertimu berada disini? Kau tidak terlihat seperti para penghisap rendahan yang biasa kutemui."
"Biar kutegaskan satu hal Lychan muda, apapun yang berurusan dengan Kenzy berarti juga melibatkanku. Dan aku bisa berada dimanapun aku ingin."
Untuk beberapa saat, kami hanya saling melempar tatapan tajam. Kurasa, sepertiku, ia mencoba menentukan langkah apa yang sebaiknya diambil. Kejadian ini benar-benar mengejutkan, tidak hanya status darah Kenzy, kini aku juga harus memikirkan kenapa gadisku sampai berurusan dengan vampir.
Tetesan darah dari luka yang kusebabkan di tangan si vampir, sudah berhenti dan lukanya sendiri sudah tidak tampak lagi, rupanya penilaianku benar, pria ini bukan vampir kacangan. Pikiranku berlomba mencari keputusan tepat yang harus aku ambil untuk tindak lanjut situasi ini. Bertarung dengan tiga vampir dihadapanku, meski sulit, bukannya tidak mungkin menang. Tapi, aku harus mempertimbangkn kehadiran Kenzy yang berada di tengah-tengah mereka.
Sebelum pikiranku selesai mengambil keputusan, Kenzy melangkah melewati si pria Hutcherson. Ia melepaskan ringan tangan Hutcherson yang terulur menahannya.
"Apa kau salah satu dari mereka?" tanyanya dengan raut wajah yang begitu sedih, hingga rasanya kesedihan itu berimbas padaku setelah melipat-gandakan diri.
"Kurasa aku bukan bagian dari 'mereka' manapun yang sedang kau bicarakan," kataku.
"Lalu kenapa kau ada disini Althra? Apa yang kau inginkan dariku?" pertanyaan itu ingin sekali kujawab dengan teriakan keras berisi penjelasan mengenai mate. Tapi itu tidak mungkin. Selain para vampir itu, Kenzy bahkan sepertinya tidak punya pengetahuan apa-apa mengenai Lychanthrope, raut wajahnya tampak bingung ketika Hutcherson pria menggunakan istilah itu.
"Kenzy, kurasa kau tidak perlu mengkhawatirkan masalah ini, pergilah ke dalam bersama Reese." Kenzy beralih menatap Hutcherson pria saat mendengar ucapannya. "Sebenarnya aku perlu, Ryuu. Mengingat dialah yang kumaksud beberapa hari lalu."
Hutcherson pria menggapai Kenzy dalam sekali tarikan, tangannya mencengkram lengan Kenzy, yang untungnya tidak dengan kuat, karena aku tidak melihat kesakitan di wajah gadisku. Mereka saling tatap, membuatku agak jengah dan ingin berdiri diantara keduanya, tapi tidak kulakukan. Perdebatan Kenzy dan Hutcherson pria berlangsung dalam bisikan, tapi aku bisa menangkap dengan jelas apa yang mereka ucapkan. Hampir semua berkaitan denganku, dengan kejadian misterius minggu lalu dan juga insiden tiga tahun yang lalu.
Malam semakin larut, aku teringat perintah Lachlan untuk membawa Kenzy ke pack, tapi melihat apa yang sekarang kuhadapi, rasanya dibutuhkan sedikit keajaiban untuk bisa membawa gadisku keluar dari tempat ini tanpa pertarungan. Kulirik Roudan yang balas menatapku seketika, pengertian tercetak di wajahnya, kami jelas harus berbuat sesuatu.
"TIDAK!"
Teriakan tiba-tiba itu membuatku berpaling kembali pada Kenzy dan Hutcherson pria, sepertinya perdebatan mereka terhenti karena sesuatu. Dan sesuatu itu pasti berkaitan denganku. Hutcherson pria sudah berpaling lagi padaku lengkap dengan mata terbelalak serta amarah menyala. Sepertinya memang tidak mungkin menyelesaikan pertemuan pelik ini tanpa pertumpahan darah.
"Ryuu, kau kenapa?" pertanyaan Kenzy tidak digubris pria itu, ia hanya terus menatap kearahku. Gelagatnya mengatakan bahwa ia akan sangat menikmati mencabik-cabik tubuhku, tapi kontrol diri si vampir ternyata lebih kuat dari dugaanku karena ia tidak melakukan apapun selain serangan mental.
Sebuah denting kecil berdenging di telingaku. Tatapan marah vampir itu telah memberitahu otakku sesuatu yang belum sempat kuperhitungkan. Keterikatanku pada Kenzy lah yang membuatnya berteriak. Agaknya ia baru saja sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Sial, setelah semuanya!" si vampir mendesis geram, sebelah tangannya terangkat dan mencengkram belakang leher dengan frustasi. Bisa kukatakan situasi kini berada di pihakku. Semua penghuni Greendeal tahu apa artinya semua ini. Tidak akan ada penyelesaian dengan jalan perdamaian, terutama bagiku.
"Ini diluar dugaan kita semua. Ryuu, sepertinya lebih baik kita bicarakan ini di dalam." Hutcherson tua yang sejak tadi hanya diam, mengambil alih pembicaraan lalu melangkah meninggalkan halaman belakang.