Pagar besi itu tampak kokoh. Tiga dari empat burung yang hendak terbang melintasi pagar, telah mati begitu saja tanpa sempat tahu penyebabnya. Sedangkan satu burung yang tersisa, menatap terengah pada pagar besi. Kepalanya terkulai lemah pada rerumpatan tempat dia terjatuh beberapa detik lalu. Bola mata sang burung secara mengejutkan berwarna perak. Tatapannya yang terlihat terlalu cerdik untuk sekedar disebut burung gagak kini tampak buram. Sang gagak rupanya tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa sehingga lenguhan panjang mendesis dari sela paruhnya.
Suasana begitu sepi dan kelam, sulit menangkap gerakan apapun kalau-kalau misalnya ada yang datang. Tetapi sang gagak dapat merasakan sebuah langkah tergesa menuju ke arahnya dari arah pepohanan rimbun di sebelah kanan.
"Astaga!" orang itu terhenti di tempat begitu dapat memperhatikan sang gagak dari jarak yang cukup dekat. Sang gagak, anehnya bisa menebak bahwa sosok lelaki–belasan tahun–yang kini sudah berlutut di dekatnya itu sedang berusaha memastikan kebenaran yang terpapar di depan matanya. "Tuan muda Kin?" tanya si lelaki, kedua telapak tangannya tertelungkup di atas paha.
Sebuah cahaya keperakan menguar dari tubuh sang gagak tepat setelah lelaki itu menyebut kata 'Kin'. Cahaya tersebut perlahan menelan tubuh sang gagak, menyembunyikannya dari pandangan. Cahaya itu terlihat seperti melompat-lompat, membungkus sang gagak seperti percikan kembang api yang membutakan. Peristiwa magis itu tak ayal membuat lelaki tersebut ternganga. Dia tidak pernah sekalipun menyaksikan perubahan tuannya sebelum ini.
"Liam." sebuah suara serak tertangkap pendengaran si lelaki bernama Liam. Dia segera menahan beribu pertanyaan yang seketika membanjiri otaknya dan bergegas mendekati cahaya perak yang kini mulai memudar. Tubuh sang gagak tidak lagi ada di sana, digantikan oleh tubuh manusia berjenis kelamin pria dengan bola mata dan rambut berwarna perak. Tuan muda Kin. Begitu sang pelayan memanggilnya.
***
–KENZY
Dalam keadaan seperti apapun, aku benci bermimpi. Mimpiku tidak pernah terasa normal, seolah aku telah melangkah terlalu jauh pada alam bawah sadarku yang ajaibnya menyimpan kemampuan khusus untuk melihat masa lalu dan masa depan. Aku tahu hal itu tidak mungkin, tapi suara tanpa wajah yang berada di belakang kepalaku entah kenapa bersikeras meyakinkan bahwa semua mungkin saja nyata.
Aku meregangkan tangan jauh-jauh ke depan. Tidurku semalam tidak nyenyak, terlalu banyak hal yang telah terjadi terutama pengaruh dari menggunungnya berbagai pertanyaan dan rasa penasaran dalam kepalaku. Belum lagi kunjungan mengejutkan dari sosok itu semalam. Dan sekarang aku harus memikirkan arti dari mimpi misteriusku juga. Belum-belum rasanya sudah melelahkan.
Sembari bangkit dari kasur, aku perlahan mengira-ngira kesehatan tubuhku. Tidak ada rasa pusing yang menyerang, dan aku juga tidak menemukan rasa lemas yang selama tiga hari kemarin enggan beranjak dari tubuhku. Walaupun beban pikiranku bertambah, secara mengejutkan tampaknya aku sudah benar-benar sehat.
Melirik jam beker di samping tempat tidur, aku menyadari bahwa aku telah melewatkan satu hari lagi kewajibanku pergi ke sekolah. Heran juga kenapa tidak ada satupun yang repot-repot membangunkanku. Mungkin mereka semua mengira aku masih belum bisa mengatasi serangan penyakit pertama dalam hidupku.
Yang jelas, sekarang aku sangat butuh mandi. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menyentuh air. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali bercermin. Astaga, aku pasti terlihat sangat berantakan. Dan aku bertemu pemuda tampan itu semalam! Oh tidak.
Tergesa, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Berendam sepertinya pilihan bagus. Pikiran itu mendadak membuatku memutar langkah, bath tub kamar mandi utama lebih besar daripada yang ada di kamar mandi kamarku.
Aku tidak menemukan siapapun dalam perjalanan ke kamar mandi utama, bahkan sepertinya tidak ada seorang pun yang sedang berada di rumah saat ini. Sembari mengangkat bahu pelan, aku berjalan memasuki kamar mandi.
Air hangat memang terapi yang bagus untuk menghapus segala kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung. Kusandarkan kepala perlahan sembari menutup mata, mengingat kembali kilasan mimpiku. Ada seekor burung gagak yang ajaibnya bisa berubah menjadi manusia. Pelayannya, ah aku lupa nama pelayannya. Jadi dia memanggil gagak itu 'tuan muda Kin' kenapa rasanya nama itu tidak asing? Apa aku kenal seseorang yang bernama Kin?
"Kenzy, apa itu kau yang ada di dalam?" sebuah ketukan di pintu kamar mandi menyadarkanku.
"Ya," jawabku agak keras.
"Kau tidak apa-apa kan?" suara Ryu yang sarat akan kecemasan mengembalikan rasa penasaran yang selama tiga hari ini terpaksa kuredam.
"Tentu saja. Memangnya kenapa?" balasku sambil menyipit memandang pintu. Segala kecurigaanku sepertinya tidak berlebihan. Memang sesuatu yang sedang terjadi, dan itu pastilah menyangkut diriku. Tidak mungkin hal-hal aneh secara beruntun terjadi begitu saja tanpa ada penjelasan yang tepat menanti dibaliknya. Dan kurasa keluarga angkatku memang tahu sedikit lebih banyak dariku.
"Tidak ada. Kau mandi saja. Kalau sudah selesai, aku dan semuanya ada di ruang keluarga."
Suara langkah kaki yang berjalan menjauhi pintu tertangkap pendengaranku. Jadi, sepertinya Ryu sudah memutuskan akan memberi penjelasan entah apa untuk menjawab pertanyaanku malam tadi. Perasaanku langsung lega, setidaknya hingga aku bisa bertemu lagi dengan Althra, beberapa pertanyaan di kepala akan sedikit berkurang.
Berendam selama kurang lebih sepuluh menit membuat tubuhku segar kembali. Rasanya seperti aku tidak pernah jatuh sakit meski hanya sedetik. Dengan perasaan ringan kupakai setelan kaus bertuliskan YOU GOT IT dan celana pendek kesukaanku lalu melangkah keluar dari kamar mandi.
Karena sikap ketidaksabaranku, tanpa menanggalkan handuk dari kepala, aku langsung melangkah menuju ruang keluarga. Ada suara-suara yang sarat akan ketegangan dari sana. Jelas, setidaknya dua orang sedang berdebat tanpa terlalu hati-hati dengan volume suara mereka.
"Kau tidak lihat matanya yang berubah warna itu? Kita sudah tidak bisa lagi mengkamuflasekan dia, Ryuu!"
"Tidak. Warna matanya akan kembali lagi. Dia sudah mengkonsumsi obat itu bertahun-tahun, tidak mungkin dia akan berubah semudah itu! Lagipula ulang tahun ke tujuh belasnya masih bulan depan."
"Kau harus berhenti membohongi dirimu sendiri. Dengan atau tanpa menjadi tujuh belas tahun, dia sudah memasuki fase. Dan kau tahu itu!"
"Oh diamlah Reese! Kalau bukan karena kelalaianmu, hal ini tidak akan terjadi."
"Jadi kau menyalahkanku?!" "Ya."
"Kalian berdua sudahlah, tolong kecilkan sedikit suara kalian! Kita harus berhenti berdebat dan mulai memikirkan apa yang harus dilakukan sekarang."
"Sudah kukatakan tadi, mom. Kita seharusnya membawa dia kembali ke Kraulume."
"Dan sudah kukatakan juga kalau aku tidak setuju, Reese! Dia dalam bahaya di sana."
"Ryuu, sebenarnya aku lebih setuju pada gagasan Reese. Kalau memang Kenzy sedang dalam fase, maka cepat atau lambat dia akan berubah sepenuhnya. Berada di sini akan labih berbahaya baginya."
Mendengar namaku disebut-sebut, membuatku tersentak. Itu berarti "dia" yang mereka perdebatkan semenjak tadi memang aku. Sepertinya tidak ada yang sadar kalau aku sudah di sini bersama mereka.
"Bisa tolong jelaskan apa maksud pembicaraan kalian tadi?!" kataku sambil berusaha meredam segala emosi yang tiba-tiba saja rasanya ingin meledak keluar. Aku melangkah memasuki ruang keluarga, bisa kurasakan langkahku tidak pasti. Perasaanku campur aduk.
Bibi Lim, Ryu, dan Reese, menoleh tajam ke arahku. Jika saat ini aku tidak berada dalam kebingungan yang membuat frustasi, aku pasti sudah tertawa karena ekspresi syok yang mereka perlihatkan. Tapi sayangnya aku tidak bisa merasakan sedikitpun jejak humor dalam diriku. Jadi, aku menatap mereka tajam.
"Kenzy! Kau sudah selesai mandi?" Ryu melangkah mendekat setelah berhasil menguasai rasa kagetnya, tapi aku segera mengambil satu langkah mundur. Aku sedang tidak ingin dialihkan.
Ryuu berhenti melangkah, menyadari keenggananku untuk kompromi. Dia sudah sangat mengenal sifat keras kepalaku untuk tahu bahwa aku untuk saat ini, tidak akan menerima apapun selain penjelasan. Dia melirik sekilas pada bibi Lim dan Reese. Keduanya tampak pasrah, menyerahkan seluruh keputusan pada Ryuu.
"Kau mau sarapan dulu?" Ryuu mengarahkan sedikit kepalanya ke arah meja makan.
Aku melirik meja yang penuh tudung-tudung kecil yang aku yakin dibawahnya terdapat piring-piring berisi makanan. Aku memang lapar, tapi sayangnya bukan untuk jenis apapun yang disebut makanan. Maka aku beralih lagi menatap Ryuu, mendengus sambil menaikan kedua alis mataku. Ryu terbelalak melihat sikapku. Yah, aku bisa bersikap menyebalkan saat aku ingin. Ryuu harus tahu juga hal itu.
"Baiklah, kita sama-sama tahu kau tidak bisa dialihkan. Tapi kumohon kau baru saja sembuh, kau butuh sarapan Ken." intonasi Ryuu seperti membujuk seorang bocah yang sedang merajuk.
"Aku tidak akan makan apapun sebelum dapat penjelasan. Sikap kalian semua aneh sejak aku sakit. Aku bukan anak kecil yang tidak peka Ryuu. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang besar yang kalian sembunyikan dariku. Dan aku butuh tahu mengenai itu sekarang!" Tekanku dengan suara bergetar penuh amarah.
Keluarga Hutcherson kembali bertukar pandang. Gurat kecemasan di wajah mereka tidak menyurutkan tekadku. Kuputuskan tiga hari berkubang dalam banyak tanda tanya sudah lebih dari cukup.
Ryu berdeham pelan, tampak pasrah. Akhirnya. Dia melirik sekilas pada sofa untuk satu orang di ruang keluarga. Segera saja aku melangkah dan duduk. Kusengaja menata kedua tanganku bersidekap di depan dada.
"Reese, tolong bawa cermin kesini."
Aku tidak tahu apa maksudnya Ryu minta dibawakan cermin. Walaupun aku memang belum sempat bercermin setelah mandi, kuduga ini tak ada hubungannya dengan penampilanku. Jadi aku diam saja saat Reese melangkah keluar ruang keluarga dengan wajah cemberut.
Tidak sampai dua menit Reese sudah kembali bergabung dengan sebelah tangannya memegang cermin oval seukuran wajah yang biasa ia bawa ke sekolah. Ia memberikan cermin itu padaku yang kuterima saja dengan ekspresi bingung. Heran apa hubungannya penjelasan yang akan diberikan Ryuu dengan cermin yang kini ada di tanganku.
"Coba lihat wajahmu di cermin Ken," Ryu mengangguk kearah cermin yang memang hanya kupegang dengan lagak tidak peduli.
Mengikuti instruksi Ryu yang–mau bagaimana pun kupikirkan–sangat tidak berhubungan dengan keadaan saat ini, kuarahkan cermin Reese ke wajahku. Keluarga Hutcherson otomatis tanpa dipandu, memandangku dengan waswas.
Oke, dramatis sekali. Sayangnya tidak ada yang salah dengan wajahku.
Rambutku, yang baru saja terbebas dari gulungan handuk, masih berwarna abu-abu kehitaman yang aneh. Pipi chubby ku terlihat sama seperti saat sebelum aku sakit. Tidak ada yang berubah dari bibirku yang ketebalan bagian atas dan bawahnya agak tidak kompatibel. Hidungku tetap mungil dan mancung, walaupun kalah jauh dari mancungnya hidung Reese. Mataku masih...
Seketika mataku terbelalak lebar.
Mataku... mataku!
Kemana perginya warna abu-abu kehitaman pada iris bola mataku?! Bola mata yang balik menatap terbelalak dari cermin itu dipernuhi warna abu-abu nyaris perak terang. Aku yakin kalau aku berjalan dibawah cahaya matahari, bola mataku akan terlihat perak sepenuhnya.
Ini... sial. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
"R...Ryuu, mataku,"
"Itu warna asli bola matamu."
Aku menatap Ryuu seolah dia baru saja menyampaikan lelucon terburuk dalam sejarah, tapi Ryuu menatapku balik dengan tatapan paling seriusnya. Aku beralih menatap bibi Lim dan Reese bergantian, keduanya hanya memasang wajah prihatin seolah perubahan warna bola mataku secara ajaib, mengindikasikan bahwa aku baru saja terkena penyakit mematikan.
Kualihkan kembali wajahku pada cermin, memastikan kalau peristiwa tadi bukan hanya sekedar tipuan cahaya. Iris perak masih balik memandangku. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa takut.
"I...ini tidak benar kan?" setelah beberapa saat hanya terdiam sambil menatap ngeri pada bayanganku di cermin, aku kembali menatap Ryuu. Memberikannya pandangan menuntut yang biasa kupasang kalau penyakit keras kepalaku kumat.
Ryuu menghela nafas. Dia bangkit dari sofa yang ia duduki lalu berjalan mendekatiku. Ia berlutut di lantai, tepat dihadapanku. Matanya menyiratkan kekhawatiran besar sekaligus pasrah. Aku sama sekali tidak bisa memikirkan apa kiranya arti dari semua ini.
"Kau sebenarnya bukan manusia biasa Keniezy Quelle. Kau adalah Lightsaver dari Greendeal."
Tangan kanan Ryuu meremas pelan kedua tanganku yang entah sejak kapan bertautan di antara kedua lututku. Pikiranku rasanya mendadak kosong. Aku tidak tahu apa yang harus kupukirkan setelah mendengar perkataan Ryuu barusan.
Tergesa, aku mencoba memfokuskan diri dalam mengingat bulan dan tanggal. Benar, hari ini memang bukan hari ulang tahunku, jadi tidak mungkin mereka sedang mengerjaiku kan? Tapi lalu apa?
"Kau tidak cocok jadi pelawak Ryuu," kupaksa tertawa meski bahkan aku sendiri tidak yakin apakah tanggapanku tadi sesuai dengan situasi. Astaga, kepalaku rasanya mau pecah.
Ryuu menghela nafas lagi, yang kali ini membuatku kesal, harusnya aku yang menghela nafas seperti orang lelah begitu! Apa maksudnya coba aku bukan 'manusia biasa'?! aku tahu aku orang yang–sepertinya–punya tingkat kesialan paling tinggi diantara semua manusia yang pernah ada, tapi itu bukan berarti menjadikan aku bukan manusia kan!
"Kenzy, aku tidak sedang berbohong. Kalau bisa, aku ingin menyimpan fakta ini selamanya. Tapi keadaan sudah berubah drastis, jauh dari yang kami perkirakan. Kau adalah seorang lightsaver. Mata perakmu itu adalah tanda pertamanya. Kau..."
"Tidak tunggu tunggu, kumohon berhenti! Aku...aku benar-benar tidak suka lelucon ini Ryu!" nafasku memburu, kengerian di mataku pasti tampak jelas. Tapi tidak ada yang mengalahkan horror yang seolah berbisik dari belakang kepalaku. Berbisik membenarkan perkataan Ryuu dengan semangat.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba aku merasa sangat marah. Marah karena Ryuu masih menatapku dengan pandangan yang sama; serius, khawatir, pasrah. Marah karena tidak ada yang berteriak mengatakan bahwa mereka baru saja berhasil mengerjaiku. Marah karena horror dibelakang kepalaku masih terus meneriakan bahwa aku harus berhenti menipu diri.
Aku menepis tangan Ryuu lalu berdiri dengan kasar. Kepalaku terasa berat. Sayangnya sebelum aku bisa melangkah, Ryuu sudah menangkap pergelangan tanganku dan kembali mendudukanku di sofa.
"Kenzy, please, dengar dulu penjelasanku sampai selesai. Ini semua berhubungan erat dengan sakitmu tiga hari kemarin."
Kalau penjelasan dari penyakitku kemarin ada hubungannya dengan aku 'bukan manusia biasa', rasanya aku rela dibohongi tentang apapun. Atau sekalian saja tidak usah menjelaskan apa-apa padaku. Aku memang sempat berpikir tentang hal-hal mistis, tapi penjelasan Ryu ini sama sekali tidak pernah terbayangkan di otakku.
"Please Kenzy, dengar dulu semua penjelasan Ryuu." Aku menoleh menatap Reese yang baru saja angkat suara. Bibi Lim yang berdiri di sebelahnya, mengangguk kecil, ikut memohon padaku.
Aku menunduk menatap nanar jari-jemariku. Mati-matian berusaha menenangkan diri. Berkali-kali kuhela nafas dengan keras, berharap rasa kalutku berkurang. Dan kalau beruntung mungkin aku bisa sedikit menekan perasaan takut yang masih menyelimuti hatiku.
Dari sudut mata kulihat bibi Lim dan Reese masing-masing beranjak dari posisi mereka yang sedari tadi masih berdiri. Keduanya duduk bersebelahan di sofa seberangku. Ryuu beranjak dari lantai dan kembali duduk di sofa single yang tadi ia duduki, tepat di sebelahku.
"Jadi, apa?" suaraku tercekat di tenggorkan. Aku tidak pernah sekalipun merasa sekalut ini sebelumnya. Tapi siapapun yang berada diposisiku pasti akan bereaksi sama kan. Tiba-tiba saja kau tidak bisa lagi memanggil dirimu manusia!
"Begini, aku akan menjelaskannya padamu. Tapi aku mohon dengarkan dulu semua baik-baik, jangan potong penjalasanku sebelum aku selesai, hm?" aku memikirkan permintaan Ryuu sebentar. Aku yakin aku tidak akan bisa diam tanpa menginterupsi penjelasan Ryuu nantinya.
Kalau bisa aku masih lebih memilih dibiarkan tanpa diberitahu lebih lanjut. Tapi aku tahu dengan pasti, kalau aku masih bersikeras menutup mata dan telinga dari semua penuturan Ryuu mengenai fakta yang selama ini keluarga Hutcherson tutupi, lambat laun aku akan frustasi sendiri dan pada akhirnya akulah yang akan mengemis-ngemis minta penjelasan.
Jadi aku menutup kedua mata sejenak sembari menghela nafas untuk kesekian kalinya sebelum kembali menatap Ryuu. Kali ini dengan pandangan ingin tahu.
"Oke, aku siap untuk yang terburuk," bisikku dengan suara gemetar.
"Jangan khawatir, aku pribadi tidak menganggap yang akan kau dengar ini adalah hal terburuk." Reese terkekeh sambil memainkan kedua alis matanya, tapi aku terlalu tegang untuk sekedar merasa terhibur. Untuk kali ini rasanya jejak humor dalam diriku benar-benar sembunyi entah kemana, hilang dari pandangan.
"Jadi seperti yang tadi kukatakan, kau adalah seorang Lightsaver, Kenzy. Kau tidak lahir di London –seperti yang selama ini kau tahu, tapi di sebuah desa bernama Kraulume yang berada di Greendeal Empire."
Ryuu berhenti sejenak dengan penjelasannya. Kurasa ia ingin melihat reaksiku, dan jujur saja aku tak tahu bagaimana ekspresi wajahku kelihatannya. Tapi yang pasti, baru beberapa kalimat yang Ryu katakan dan rasanya aku sudah benar-benar ingin menyela. Bertanya banyak hal, seperti misalnya Greendeal Empire itu dimananya Inggris, atau kenapa rasanya aku tidak pernah dengar ada desa yang bernama Kraulume.
Untungnya aku berhasil menahan bibirku tetap terkunci rapat saat Ryuu melanjutkan. Sepertinya ia berhasil memutuskan bahwa aku masih cukup waras untuk dapat duduk tenang mendengar penjelasannya.
"Kraulume adalah desa para Kraulis–manusia gagak. Iya benar, manusia gagak. Aku tahu kau sangat bingung Kenzy, tapi biar aku selesaikan dulu oke?"
Nafasku tercekat. Aku tidak ingin percaya, tapi satu kata itu memang sudah sangat familiar di telingaku. Tanpa benar-benar bisa mengendalikan diri, aku mengangguk menanggapi Ryuu.
"Semua Kraulis selalu memiliki mata dan rambut hitam legam seperti yang dimiliki burung gagak pada umumnya. Mereka juga bukan makhluk berumur panjang. Rata-rata masa hidup Kraulis hanya setengah masa hidup manusia biasa, jadi mereka berusaha menambah daya hidup dari kekuatan magis sungai Muzhics. Inilah kenapa Kraulis cendrung tidak pernah jauh dari rumahnya, dari desa mereka, Kraulume."
Ryuu berhenti lagi, tapi meski aku tidak mengerti apa yang berusaha ia sampaikan, perasaanku mendadak mulai tidak enak dengan arah pembicaraan ini.
"Lalu suatu hari tiba-tiba saja ada hal aneh terjadi di Kraulume. Seorang bayi keturunan Kraulis lahir dengan mata dan rambut perak, benar-benar peristiwa gempar. Bayi ini awalnya membuat semua bangsa Kraulis takut, mengira kalau si bayi adalah pembawa malapetaka. Tapi kenyataannya malah sebaliknya. Bayi perak ini seperti sungai Muzhics berwujud manusia. Makhluk apapun yang ada didekatnya akan mendapatkan energi positif dan otomatis daya hidupnya akan bertambah. Jadi bangsa Kraulis akhirnya melihat si bayi sebagai anugerah, seolah dia adalah jawaban atas kepunahan yang selama bertahun-tahun mengancam garis keturunan Kraulis. Begitulah mereka akhirnya memanggil bayi perak ini Lightsaver, penyelamat cahaya hidup bangsa Kraulis."
Kupikir aku bisa menebak arah cerita Ryuu saat ia sampai pada bagian bayi perak. Tapi entah kenapa firasatku mengatakan, bahwa fakta dengan menjadi seorang Lightsaver berarti aku berumur panjang, sepertinya bukanlah apa yang dimaksudkan Ryuu untuk kutangkap sebagai inti cerita.
Kalau memang begitu adanya, maka Ryuu tidak akan kembali lagi memasang ekspresi khawatir itu dan bibi Lim serta Reese pasti sudah berhenti menatapku prihatin. Jadi kuputuskan sepertinya aku tidak perlu bersorak kegirangan kalau aku akan berumur panjang –terlepas dari masih tidak percayanya aku dengan cerita Ryuu.
"Tahun-tahun berlalu dan akhirnya hal aneh itu terjadi lagi, Lightsaver kedua lahir selang sepuluh tahun kemudian. Para Kraulis masih belum bisa memutuskan kenapa hal ini terjadi sampai pada sepuluh tahun dan sepuluh tahun berikutnya Lightsaver ketiga dan keempat lahir. Hal ini tentu saja membuat bangsa Kraulis merasa diberkati. Tidak ada lagi ancaman kepunahan dengan adanya sungai Muzhics dan para Lightsaver yang kian bertambah jumlahnya setiap sepuluh tahun sekali."
"Tapi rupanya ini bertolak belakang dengan pendapat bangsa-bangsa lain yang ada di Greendeal, mereka merasa terancam. Kraulis selalu dipandang sebagai bangsa yang disegani karena mereka memiliki ikatan kuat satu sama lain. Mereka pekerja keras yang terlahir cerdas. Yah, lebih kurang sama seperti bagaimana manusia mendeskripsikan burung gagak diantara ras burung elit lainnya."
Mengenyampingkan perasaanku yang tidak enak, aku mengerti apa maksud Ryyu. Burung gagak memang selalu dikatakan sebagai salah satu burung terpintar yang punya kerjasama baik dengan sesama jenisnya.
Tapi sekarang yang lebih menarik perhatianku adalah mengenai bangsa lain yang ada di Greendeal. Aku tiba-tiba sudah punya beberapa gambaran horror sendiri di otakku mengenai apa artinya itu.
"Jadi para bangsa Greendeal lain yang merasa terancam ini, lebih tepatnya para Goblin, Ogre dan Wendigo, membuat aliansi untuk memastikan bahwa tidak akan ada yang dapat mengancam mereka di masa depan kalau-kalau perang terjadi."
Kali ini Ryyu benar-benar berhenti bicara dan menatapku lekat-lekat seolah takut aku akan mengamuk dan mulai menyerang siapapun dalam radius seratus meter. Tapi yang terjadi adalah aku terdiam. Otakku berusaha mencerna kalimat terakhir Ryyu dari berbagai sudut pandang, berusaha memastikan bahwa aku sudah salah mengartikan kalimat itu.
Tidak mungkin. Tidak mungkin seperti yang aku pikirkan kan? Tolong katakan itu tidak benar! Hatiku rasanya mendadak perih tak terkira. Entah mengapa kedua mataku terasa panas. Selama ini aku tidak tahu kalau mereka itu ada, jadi kenapa aku sekarang rasanya benar-benar terluka.
"Mereka semua..." suaraku tercekat di tenggorokan, tidak mampu menyelesaikan pertanyaanku. Kedua tanganku otomatis terangkat menutup mulutku.
"Diserang tiba-tiba saat sedang tidak dalam masa perang, seberapapun kuatnya mereka, Kraulis benar-benar tidak punya kesempatan." Ryuu, bibi Lim, dan Reese memandangku menyesal.
Tanpa aba-aba air mata mengalir membasahi kedua pipiku. Rasanya seperti ada sesuatu yang penting diambil dengan paksa dari dalam diriku. Dadaku sesak. Pikiranku secara mengejutkan melayang pada kilasan mimpiku tadi malam, seorang pria yang baru saja berubah wujud dari seekor gagak menjadi manusia, terkulai lemah di rerumputan.
Tangisku makin keras hingga terisak. Oksigen seolah menjauh dariku jadi aku kini tersengal berusaha bernafas dengan lancar. Tubuhku langsung saja dipeluk seseorang dengan erat. Mungkin Ryuu, entahlah. Yang kutahu aku butuh menangis melampiaskan sesak ini. Maka aku menangis sejadi-jadinya, melupakan fakta bahwa aku tidak mengenal mereka untuk menjadi sangat terluka. Nyatanya aku memang merasa terluka.
Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu terlewat saat air mata akhirnya berhenti mengalir dari kedua mataku. Tubuhku rasanya lemas tapi bukan lemas seperti tiga hari lalu. Hanya efek samping karena terlalu banyak melampiaskan emosi sepertinya.
"Aku menyesal harus menyampaikannya padamu Ken," Ryuu berbisik pelan tepat di telinga kananku. Jadi memang Ryuu yang memelukku dari tadi. Sambil menggeleng pelan, aku melepaskan diri dari Ryuu lalu mengusap sisa air mata di pipiku. Agak malu juga mendadak jadi begitu cengeng.
"Jadi, kenapa aku bisa ada di sini?" tanyaku setelah berdeham beberapa kali untuk mengembalikan suaraku yang berubah sedikit serak.
"Kami berhasil membawamu pergi dari Greendeal sebelum mereka menemukanmu, sayang." Kali ini bibi Lim lah yang bicara.
Aku memandangnya dengan kening mengerut. Itu maksudnya...
"Kalian semua juga Lightsaver sepertiku?! Atau Kraulis?" kedua bola mataku melebar.
Dari tadi aku tidak menyadari ini. Aku kira mereka tahu cerita ini dari orangtuaku atau semacam itulah. Pihak ketiga. Aku tidak kepikiran sama sekali kalau mereka mungkin saja bagian dari orang-orang yang berada dalam cerita itu. Berarti bukan aku saja yang bukan "manusia biasa" ya?
Dengan cepat aku memandang keluarga Hutcherson bergantian. Mereka masing-masing saling bertukar pandang, mungkin berusaha memutuskan akan menjawab pertanyaanku atau tidak.
"Tidak. kami bukan Lightsaver sepertimu, ataupun Kraulis. Kami memang berasal dari Greendeal, tapi tidak keduanya," Reese menggaruk kepalanya sekilas, yang kuasumsikan bukan karena gatal.
"Jadi kalian apa?" tanyaku tanpa sadar menggunakan konteks yang sebenarnya agak tidak sopan didengar.
Untuk pertama kalinya hari ini, Ryuu terkekeh geli. Dia mengacak rambutku pelan sebelum kembali memasang wajah serius.
Ryuu menarik kalung perak yang melingkar di lehernya lalu mengeluarkan liontin dari dalam kemeja. Liontin unik itu berbentuk seperti sebuah tetesan air sebening kaca, dibagian dalamnya yang berongga terdapat cairan merah kental. Liontin khusus yang hanya dimiliki oleh anggota keluarga Hutcherson.
Aku ikut menatap liontin cantik itu dengan seksama, mengikuti Ryuu.
Aku pernah berkali-kali bermimpi memiliki liontin itu seperti semua anggota keluarga Hutcherson yang memakainya. Aku memang tidak berani minta dibuatkan juga pada bibi Lim, tapi jujur aku ingin sekali benda itu juga tergantung di leherku. Rasanya setiap kali, benda itu seolah mengingatkan bahwa aku adalah seorang Quelle.
"Apa kau tidak bisa menebak cairan merah itu apa, Ken?" Reese memecah kesunyian. Aku beralih menatapnya dan memasang wajah oh-tentu-saja-aku-bisa-menebaknya-karena-aku-bukan-manusia-biasa-kan padanya. Reese seketika mendengus.
"Isinya darahku, Kenzy." ucapan Ryuu yang seperti melamun benar-benar mengejutkanku.
"Maksudnya?" tanyaku bego.
"Setelah mendengar cerita tentang Kraulis tadi, apa yang terpikir olehmu kalau aku mengatakan sesuatu tentang makhluk yang berhubungan erat dengan darah?"
Aku terdiam. Kali ini benar-benar kehilangan kata-kata, bukan karena berusaha memikirkan jawaban. Entah kenapa satu kata itu langsung muncul di kepalaku tepat setelah Ryu mengucapkan 'darah'.
"Vampir...?"
Wajah melongoku pasti terlihat sangat konyol, karena bahkan bibi Lim pun ikut tertawa bersama Ryuu dan Reese. aku sendiri tidak tahu harus bagaimana menanggapi fakta baru ini. Jadi selama bertahun-tahun aku tinggal bersama keluarga vampire? Dimana aku sendiri juga bagian dari makhluk mitos yang sebelumnya hanya aku pandang sebelah mata? Astaga.
"Uhm... tapi kenapa kau menaruh darahmu di dalamnya?" tanyaku akhirnya setelah tawa mereka mereda. Ketiganya bertukar pandang lalu menggeser sedikit duduk mereka ke depan, kembali terlihat serius.
"Pertanyaan itu sekaligus membawa kita kembali ke topik utama," bisik Ryu.
"Nah, kalau kau memperhatikan, kau pasti sudah mengerti kenapa kami membawamu dari Greendeal untuk hidup di sini kan? Tapi faktanya, kabur dari mereka tidak semudah itu. Semua penghuni Greendeal dapat merasakan kehadiran satu sama lain walaupun tidak sekuat saat merasakan sesamanya. Tapi itu menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk mengambil keputusan bahwa kami perlu menekan kekuatan Lightsaver-mu,"
"Dan kalian juga harus menekan kekuatan kalian?" timpalku takut-takut.
Ryuu menarik tangan kananku lembut lalu menggenggamnya. Ia rupanya tahu kalau aku meresa sangat gelisah. "Jangan coba-coba merasa bersalah karena hal itu! Kami melakukan ini semua bukan karena terpaksa."
Aku ingin sekali mempercayai ucapan Ryuu. Tapi jauh dilubuk hatiku, aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa karena akulah mereka harus bertahan hidup diluar Greendeal, berpisah dengan keluarga mereka yang lain.
Bibi Lim maju mendekatiku, lalu sedetik kemudian ia memelukku erat, "Sungguh Kenzy, jangan salahkan dirimu," katanya tepat di telingaku.
Kurasa aku akan menangis lagi kalau bibi Lim tidak segera melepaskan pelukannya, jadi aku mengangguk pelan dan perlahan menjauhkan diri. Aku menatap wajahnya yang terlihat khawatir, dan karena aku tidak ingin menambah beban lain pada sosok yang selama ini sudah seperti ibuku sendiri, aku tersenyum kecil padanya.
"Liontin ini dilundingi berbagai mantra yang berfungsi sebagai penekan kekautan vampir kami. Kalau kami melepaskan liontin yang masing-masing berisi darah kami ini, perlahan semua kekuatan itu akan kembali."
Ryuu melanjutkan penjelasannya, sementara aku berusaha sebisa mungkin berkonsentrasi penuh supaya dapat mengingat segala hal. Selain semua penjelasan ini terasa sangat menakjubkan, aku juga ingin tahu lebih banyak mengenai Greendeal. Negeri asalku.
Yeah, sulit untuk tidak percaya dengan ucapan Ryu setelah aku mengalami sendiri kejadian aneh kemarin.
"Tapi, aku tidak pakai liontin?" aku tiba-tiba teringat hal itu.
Reese tersenyum mengejek, "Kraulis tidak ada hubungannya dengan darah, Kenzy. Apa kau tidak bisa lihat hubungannya?" katanya yang seketika membuatku mendelik.
"Kau ingat pil yang selalu kau minum? Itu sebenarnya bukan vitamin," kata Ryuu tanpa mengindahkan ucapan Reese yang agak sinis.
Kedua mataku langsung melebar, mendadak sadar apa yang dimaksud Ryuu.
"Itu diberi mantra juga?!"
"Tidak, tapi pil itu berisi ramuan yang kami minta buatkan pada seorang penyihir kepercayaan keluarga Hutcherson."
Mendengar penjelasan Ryuu, seketika aku mencoba mengingat lagi seperti apa rasa vitamin yang biasa kuminum setiap malam itu. Tapi seperti biasa otakku tidak bisa diandalkan pada saat seperti ini. Well, aku sama sekali tidak ingat bagaimana rasanya.
Jadi selama ini aku mengkonsumsi pil berisi ramuan ajaib! Cukup keren juga.
"Begitu. Tapi, kenapa sekarang aku berubah? Tadi malam aku masih minum vitaminnya."
"Sebenarnya itulah yang sedang kami perdebatkan tadi Kenzy. Harusnya pil itu masih berkerja dengan baik menahan kekuatanmu sampai kau berumur tujuh belas. Yang berarti sampai bulan depan. Lalu kami akan menukarnya dengan dosis yang lebih tinggi, karena fase perubahan biasanya terjadi setelah seseorang mencapai usia kedewasaan. Tapi tiba-tiba saja kau jatuh sakit dan warna matamu mulai berubah. Kami benar-benar tidak mengerti kenapa bisa begitu. Jadi, dua hari kemarin aku kembali ke Greendeal untuk mengumpulkan beberapa informasi."
Aku mengangguk pelan, meminta Ryuu melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja ia berhenti lalu menatap bibi Lim dan Reese bergantian. Mereka bersikap seolah sedang berdiskusi dalam pikiran masing-masing, yang mana kuakui aku curiga jangan-jangan vampir memang bisa melakukan hal itu.
Kucoba mengulang kembali dalam kepalaku penjelesan mengenai vampir dalam novel Twilight yang pernah kubaca. Selain Edward Cullen, tidak ada lagi vampir yang bisa membaca pikiran secara instan. Bahkan vampir elit volturi itu juga harus bersentuhan dulu sebelum dapat melakukannya. Teringat olehku, dalam novel Vampire Academy juga, Lissa si vampire bangsawan hanya bisa berkomunikasi satu arah dengan sahabat dampir yang pernah dihidupkannya. Jadi...
Oh astaga! Kenapa aku jadi membandingkan mereka dengan vampir khayalan yang ada di novel?! Sepertinya otakku mulai bermasalah. Segera kugelengkan kepala sambil memajamkan mata, mengumpulkan kembali konsentrasi yang sempat menguap terbang diantara catatan kecil tentang isi buku-buku fiksi yang pernah kubaca.
"Lalu?" tanyaku akhirnya karena Ryuu tidak juga melanjutkan ucapannya.
"Keterangan mengenai batas kedewasaan itu memang benar. Dan obat ramuan harusnya masih bekerja. Jadi, kuduga perubahanmu ini ada hubungannya dengan pria yang kau ceritakan kemarin malam."
Dua gambaran sosok tampan langsung memenuhi otakku secara bergantian. Yang satu dengan mata dan rambutnya yang berwarna perak, yang lainnya–masih dengan wajah yang sama tapi–dengan mata hazel dan rambut cokelat gelap. Apa perubahan warna mata dan rambutnya itu ada hubungannya denganku?
"Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan, dear, tapi aku masih sosok yang sama. Ini warna asli rambut dan mataku. Jangankan perak, aku bahkan tidak ingat pernah menggantinya dengan warna abu-abu."
Aku ingat Althra berkata seperti itu padaku semalam.
"Entah kenapa, sepertinya dialah pemicu bangkitnya kekuatan Lightsaver-mu dan otomatis menghilangkan efek ramuan. Mungkin malam ini rambutmu juga akan mulai berubah warna."
Akhir penjelasan Ryuu membuat bulu kudukku merinding. Warna perak di bola mataku saja rasanya masih belum bisa kuterima, dan ia berkata warna rambutku juga akan berubah?! Oh tidak, aku benar-benar tidak ingin itu terjadi. Aku memang sempat mengagumi rambut berwarna perak–ingat kan pujian-pujianku pada rambut Althra– tapi itu bukan berarti aku menginginkannya juga! Bagaimana kalau warna itu terlihat tidak cocok dengan wajahku?! Bagaimana kalau perubahan warna itu membuatku jadi tidak kelihatan seperti manusia?!
Tapi aku memang bukan manusia.
Tapi tapi...
ARRGGGHH! Kenapa rasanya sekaranga aku jadi makin frustasi!
"...ZY?! ZYZY?!"
Teriakan Reese serta lambaian tangan kanannya di depan wajahku, berhasil membawaku kabur dari hysteria yang sedang terjadi di dalam kepalaku. Kulihat ternyata ketiga Hutcherson sudah tidak lagi duduk di sofa, melainkan berlutut di lantai di depanku.
"Ya? Maaf, aku..."
"Jangan khawatir, kurasa semua penjelasan ini mulai membebanimu. Sebaiknya kau makan lalu istirahat, Kenzy sweetheart." Bibi Lim mengelus pipi kiriku pelan sambil tersenyum lembut. Aku membelas senyumnya, tapi kemudian aku melihat kearah Ryuu, "Kalau aku..."
"Kalau ada yang ingin kau tanyakan, aku akan menjawabnya. Tapi setelah kau istirahat yang cukup Ken." Ryu memotong perkataanku sebelum aku selesai mengucapkannya.
Kutatap Ryu dalam-dalam, menilai apakah ia serius dengan ucapannya. Jujur saja aku agak takut kalau-kalau nanti ia tidak bersedia menjawab pertanyaanku mengenai pembicaraan panjang kami tadi. Karena rasanya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Mengenai Lightsaver, Kraulis, mengenai kenyataan bahwa ketiga orang yang selama ini membesarkan dan menjagaku adalah vampir.
Banyak sekali.
Mendapati mata Ryuu yang menatapku balik dengan sungguh-sungguh, akhirnya kuhela nafas pelan. Lagi pula sepertinya aku juga sudah tidak bisa lagi meneruskan pembicaraan berat ini karena kepalaku mulai berdenyut dan perutku sekarang benar-benar lapar akan makanan.
"Baiklah," kataku.